Sukses

Deretan Tradisi Pemakaman Unik di Indonesia, Momen Duka yang Jadi Daya Tarik Wisata

Beragam tradisi pemakaman yang dimiliki Indonesia merujuk pada kepercayaan dan tradisi turun-temurun di masing-masing daerah. Selain sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi jenazah, tradisi pemakanan juga memiliki nilai filosofi tersendiri.

Liputan6.com, Yogyakarta - Keragaman tradisi di Indonesia juga tertuang dalam momen duka pemakaman. Beberapa tradisi pemakaman di Indonesia bahkan menjadi daya tarik wisata tersendiri.

Beragam tradisi pemakaman yang dimiliki Indonesia merujuk pada kepercayaan dan tradisi turun-temurun di masing-masing daerah. Selain sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi jenazah, tradisi pemakanan juga memiliki nilai filosofi tersendiri.

Momen duka yang kemudian juga menjadi daya tarik wisata ini sekaligus menjadi bentuk pelestarian budaya. Semakin banyak dikenal, maka tradisi itu akan semakin mengakar dan tak akan tergerus zaman.

Mengutip dari kemenparekraf.go.id, berikut deretan tradisi pemakaman unik di Indonesia yang sekaligus menjadi daya tarik wisata:

1. Mangokal Holi

Tradisi mangokal holi merupakan tradisi pemakanan yang ada di Pulau Samosir. Masyarakat yang tinggal di pulau yang berada di tengah-tengah Danau Toba percaya bahwa memindahkan tulang tengkorak leluhur merupakan bentuk penghormatan.

Itulah bentuk tradisi dalam mangokal holi, yakni dengan membongkar makam keluarga yang telah lama meninggal. Mereka kemudian menempatkan tulang-tulang di sebuah tugu.

Masyarakat setempat percaya bahwa tradisi ini mampu mendekatkan arwah leluhur ke Sang Pencipta. Tradisi mangokal holi juga bertujuan untuk menyatukan jasad seluruh anggota keluarga di dalam sebuah tugu yang indah.

2. Mumifikasi

Suku Asmat di Papua memiliki tradisi mumifikasi, yakni mengawetkan jenazah layaknya mumi. Namun, tidak semua orang bisa dijadikan mumi.

Biasanya, mumifikasi hanya dilakukan kepada mereka yang memiliki kedudukan tertinggi, seperti kepala suku atau panglima perang Suku Asmat. Dalam prosesnya, tubuh jenazah akan diolesi ramuan alami tertentu, kemudian diletakkan di atas perapian untuk melalui proses pengasapan secara perlahan.

Setelah beberapa tahun, jenazah yang telah melalui proses mumifikasi akan berubah warna menjadi hitam. Saat itulah, jenazah akan dipajang di depan rumah adat Suku Asmat. Saat ada acara atau ritual penting, jenazah tersebut juga akan diikutsertakan dengan cara didudukkan menghadap ke banyak orang.

 

2 dari 3 halaman

3. Ngaben

Tradisi pemakaman ngaben menjadi salah satu tradisi yang cukup populer. Tradisi milik umat Hindu Bali ini bertujuan untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal.

Untuk melakukan tradisi ini, diperlukan beberapa upacara adat, salah satunya membangun lembu kayu sebagai tempat jenazah prosesi ngaben. Puncak prosesinya adalah ngeseng sawa atau pembakaran jenazah.

Lembu kayu tersebut juga turut dibakar. Konon, hal itu bertujuan untuk membingungkan arwah agar tidak kembali ke dunia. Setelah proses pembakaran selesai, dilanjutkan dengan prosesi nganyut, yakni menghanyutkan abu jenazah ke laut sebagai simbol bersatunya kembali jiwa dengan alam.

4. Rambu Solo

Rambu solo merupakan tradisi pemakaman di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tradisi ini dipercaya sebagai penyempurna kematian.

Selain itu, rambu solo juga merupakan bentuk penghormatan sekaligus pengantaran arwah menuju alam roh. Namun, tradisi pemakaman Rambu Solo ini harus melewati proses upacara adat yang cukup panjang, salah satunya berkurban hewan (babi atau kerbau) berjumlah puluhan hingga ratusan.

Jumlah hewan yang dikurbankan menyesuaikan strata sosial jenazah. Tak heran jika upacara adat ini bisa digelar selama 3-7 hari. Jenazah baru boleh dikubur di tebing batu tinggi (lemo) setelah upacara adat selesai.

 

3 dari 3 halaman

5. Tiwah

 

Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah juga memiliki tradisi pemakaman unik yang disebut tiwah. Tradisi ini dilakukan setelah jenazah dikubur selama beberapa tahun, sehingga hanya menyisakan tulang-belulang.

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju, tiwah dapat mengantarkan roh nenek moyang ke tempat asal ruh atau Lewu Tatau bersama dengan Ranying, sosok dewa tertinggi dalam kepercayaan masyarakat Dayak. Umumnya, tradisi pemakaman Dayak Ngaju digelar selama tiga hari sampai satu bulan penuh.

Prosesi tradisi pemakaman unik tiwah dimulai dengan membangun sandung rahung untuk menyimpan tulang. Kemudian, kerbau diikat di dekat sandung rahung untuk jadi kurban. Mereka percaya, arwah akan melakukan perjalanan menuju Lewu Tatau sambil diiringi prosesi pengurbanan kerbau dengan cara ditombak.

(Resla)