Liputan6.com, Jakarta - Selama beberapa tahun belakangan, amonia (NH3) memiliki peran kunci dalam industri pupuk dan rantai pasok dunia. Sementara itu, menurut data LCDI Bappenas, sektor pertanian memiliki kontribusi emisi gas rumah kaca 13% terhadap total emisi gas rumah kaca di Indonesia.
Proyeksi emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian terhadap emisi gas rumah kaca di Indonesia pada tahun 2030 diperkirakan sebesar 478.503,66 Gg CO2eq. Salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbon tersebut adalah mengganti pupuk yang berbahan amonia berbasis bahan bakar fosil (yang disebut amonia abu-abu) dengan amonia hijau.
Dalam tataran kebijakan, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengusulkan amonia hijau sebagai salah satu sumber energi baru.
Advertisement
Rencananya usulan tersebut akan dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) pada pertengahan tahun 2023 lalu kendati belum secara spesifik menyebutkan tentang kegunaannya dalam pemupukan.
Namun demikian, besarnya potensi pasar ekspor untuk green ammonia serta kebutuhan pemenuhan target dekarbonisasi telah menarik minat perusahaan pupuk terbesar di Indonesia untuk mulai berinvestasi pada produksi ammonia hijau tersebut. Tetapi hal ini bukan nir-tantangan.
Pasalnya, saat ini ekosistem amonia bersih masih belum terbentuk sehingga investasinya membutuhkan ‘capital expenditure’ (CAPEX) yang besar untuk membangun pabrik dengan kapasitas relatif besar, mengembangkan teknologi elektrolyzer serta menemukan dan mengembangkan pasar.
Sadar akan besarnya tantangan tersebut, Tri Ligayanti, seorang PNS dari Kementerian Perindustrian yang juga lulusan terbaik Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Angkatan 21A (2021) melahirkan sebuah gagasan berupa strategi untuk melakukan hilirisasi teknologi produksi amonia hijau berkelanjutan.
Gagasan tersebut dia tuangkan dalam disertasi yang telah diuji di depan dewan penguji yang diketuai oleh Tri Edhi Budhi Soesilo, Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia pada bulan Mei lalu.
"Harapan saya agar strategi yang saya susun ini mampu mengatasi kelangkaan pupuk di daerah terpencil dan mengurangi jejak karbon produksi dan distribusi pupuk,” urainya melalui sebuah keterangan tertulis, jelasnya.
Selain itu, menurutnya optimalisasi pemanfaatan EBT domestik juga dapat menghindari paradox of plenty yang sering disebut juga kutukan sumber daya. Komersialisasi amonia hijau skala besar membutuhkan dukungan dari sisi teknik, ekonomi dan politik, sedangkan dari pemasaran baru terbatas pada orientasi ekspor ke negara maju yang telah meletakkan landasan dekarbonisasi energinya dengan jalur amonia berkemampuan daya beli tunggi (premium buyers).
"Di sinilah potensi terjadinya paradox of plenty, sekali lagi Indonesia dapat kehilangan potensi pemanfaatan amonia hijau untuk kebutuhan dekarbonisasi domestik," ujar Ligayati.
Potensi EBT
Ia menyebut strategi paling feasible untuk mengembangkan amonia hijau di Indonesia adalah dengan memanfaatkan potensi produksi energi terbarukan (EBT) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
"Potensi EBT ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku dan energi produksi amonia hijau dengan skala produksi kecil, terdistribusi dan terhilirisasi menjadi pupuk sederhana," lanjut PNS yang mendapat predikat summa cum laude dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) itu.
Strategi tersebut, lanjut Liga, telah melalui lima kelompok riset, yakni uji coba produksi amonia skala kecil dengan katalis Nikel pada reaktor katalitik dingin, uji coba produksi dan aplikasi tablet pupuk NP pada tanaman jagung manis, survei persepsi petani Gunungkidul tentang kebutuhan pupuk, pemetaan industri amonia di Indonesia, dan survei persepsi dari Kementerian, pakar, serta praktisi industri amonia.
Tak hanya itu, dia pun mampu menyelesaikan penelitian tersebut dalam waktu yang relatif singkat berkat kolaborasi dengan berbagai pihak terkait.
"Saya bekerja sama dengan Laboratorium Lingkungan SIL UI, RnD PT Luas Birus Utama, dan RnD PT Syngenta Indonesia Cikampek Station, petani Gunungkidul, dan pelaku industri pupuk," katanya.
Direktur Industri Kimia Hulu, Kementerian Perindustrian Wiwik Pudjiastuti berharap hasil kajian tersebut dapat membantu memberikan Solusi kepada petani kecil yang sebelumnya sering terganggu dengan kelangkaan pupuk subsidi.
"Sekaligus membantu Pemerintah untuk mencapai target pengurangan emisi dari sektor lahan (pertanian termasuk didalamnya) sebesar 58,3% pada Tahun 2024," katanya.
Advertisement
Bantu Petani
Sementara itu, dari sektor industri, Senior Vice President PT Pupuk Indonesia Rozikin Busro mengapresiasi riset yang telah dilakukan oleh Liga tersebut.
"Apa yang dilakukan oleh beliau mampu memberikan pandangan baru tentang produksi amonia hijau yang berkelanjutan sehingga implementasi konsep ini dapat membantu industri pupuk mengurangi jejak karbon dan memastikan ketersediaan pupuk di daerah terpencil, sekaligus meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi," sebutnya.
Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Tri Edhi Budhi Soesilo menyampaikan riset ini sangat relevan dengan isu lingkungan dan industri saat ini.
"Kami di UI siap untuk mendukung kolaborasi ini bersama dengan pihak industri agar dapat dikembangkan dan dimanfaatkan oleh para petani,” sambung Edhi.
Sebagai informasi, amonia hijau (green ammonia) dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Hal yang membuat amonia jenis ini lebih ramah lingkungan adalah jejak karbonnya yang tergolong rendah dari sisi produksi maupun distribusi. Maka dari itu, amonia hijau diproyeksikan bakal menjadi bahan baku pupuk andalan di masa depan.
Dikutip dari laman The Royal Society, amonia hijau dapat dibuat dari hydrogen yang dihasilkan dari elektrolisis air dan nitrogen yang dipisahkan dari udara. Gabungan kedua unsur tersebut lantas diproses dengan metode Haber-Bosch yang dijalankan menggunakan tenaga listrik dari energi terbarukan.
Di dalam proses itu, Hidrogen dan Nitrogen direaksikan dalam temperatur dan tekanan tinggi sehingga menghasilkan Amonia (NH3). Dari sisi teknologi, proses Haber Bosch membutuhkan energi lebih banyak karena beroperasi pada temperatur tinggi.
Oleh karena itu, dibutuhkan penghiliran teknologi produksi amonia menggunakan reaktor katalitik dingin (Non-Thermal Plasma), ditunjang katalis lokal dan skala kecil. Hal ini selaras dengan teori Small is Beautiful yang digaungkan oleh ekonom E.F Schumacher pada tahun 1973.