Sukses

Asal Usul Candi Sukuh, Warisan Sejarah Autentik di Karanganyar

Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java

Liputan6.com, Jakarta - Candi Sukuh adalah salah satu kompleks candi Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasi Candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07 37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111 07, dan 52’65’’ Bujur Barat.

Lokasi Candi Sukuh berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Candi Sukuh ditemukan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta.

Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian.

Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928. Bentuk bangunan Candi Sukuh secara umum mirip dengan peninggalan suku Maya di Meksiko atau peninggalan Inca di Peru.

Struktur ini juga mengingatkan pengunjung pada bentuk piramida Mesir. Kesan kesederhanaan inilah yang menginspirasi arkeolog terkenal Belanda W.F. Stutterheim, 1930.

Ia mencoba menjelaskan hal ini dengan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pematung candi Sukuh bukanlah seorang pemahat batu, melainkan seorang tukang kayu dari desa, bukan keraton.

2 dari 2 halaman

Penjaga Pintu

Candi ini dibangun agak terburu-buru sehingga kurang rapi. Ketiga, situasi politik saat itu tidak memungkinkan untuk membangun candi yang besar dan megah ketika keruntuhan Majapahit sudah dekat.

Batu candi itu berwarna agak kemerahan karena batu yang digunakan adalah batu andesit. Pada candi ini diteras pertama terdapat gapura utama.

Gapura ini terdapat sebuah sengkala memet dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta aban wong atau raksasa gapura memangsa manusia, yang masing-masing memiliki makna 9, 5, 3, dan 1.

Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 (Saka) (1437 Masehi). Gapura pada teras kedua sudah rusak.

Pada bagian kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala yang biasa ada, tetapi dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi.

Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak terdapat banyak patung-patung. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang berarti Gajah pendeta menggigit ekor dalam bahasa Indonesia.

Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa panel berelief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.

 

Penulis: Belvana Fasya Saad

Â