Sukses

Jejak Perjuangan ‘Profesor Mangrove’ dari Pesisir Mangkang

Abrasi parah pernah terjadi di pesisir Mangkang Semarang, berkat perjuangan puluhan tahun, 'profesor mangrove' dan warga bisa melawannya.

Liputan6.com, Jakarta - Pagi-pagi sekali sebelum air laut pasang Pak Sururi sudah bersiap di depan rumahnya. Bersama para mahasiswa dari banyak kampus, pagi itu Rabu (24/7/2024), Pak Sururi akan menanam mangrove di pesisir Mangkang, Semarang, Jawa Tengah. Lengkap dengan pakaian dinas dan topi outdoor, dirinya tampak lebih muda dengan tambahan kacamata warna kuning.

Tapi sayang, kacamata itu bukan dalam rangka gaya, dia terkena katarak. Untuk melindungi matanya dari angin, debu, dan pancaran terik sinar matahari, Pak Sururi terpaksa harus menggunakan kacamata, walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya melindungi. Tapi dalam kondisi itu, Pak Susuri masih menyempatkan diri dan tak pernah lelah berbagi ilmu budidaya mangrove dan manfaatnya bagi masyarakat.

"Banyak yang ngira saya profesornya, bukan saya, yang profesor Pak Sudharto, dia yang menemani saya hampir 30 tahun. Tapi kalau dibilang profesor, saya juga profesor, ini kepala saya lebih botak," kata Pak Sururi sambil tertawa.

Hubungan intim Pak Sururi dan mangrove di pesisir Semarang memang sudah terjalin lama. Abrasi parah di sepanjang Pantura membuatnya membuka mata tentang pentingnya pelestarian alam di pesisir. Bersama beberapa orang kawan nelayan dirinya kemudian menyadarkan banyak orang dengan gerakan awal menanami kembali mangrove untuk melawan laju abrasi yang kian parah.

"Tahun 90-97 abrasi parah, baru berhenti itu 2011 saat kami mulai menanam dan lebih dulu dibuati sabuk pantai. Kita juga berterima kasih dengan pemerintah dan juga pihak swasta, termasuk Bakti Lingkungan Djarum Foundation yang banyak berperan," katanya.

Sabuk pantai merupakan struktur pelindung pantai dengan menggunakan teknologi Karung Geotekstil Memanjang, berbahan dasar geotekstil non moven yang diisi campuran air dan pasir. Gunanya adalah untuk menahan laju abrasi. Namun sabuk pantai tak bertahan lama, malah kalah dengan 'sabuk pantai' alami yang disebut mangrove. Dari sini, Pak Sururi makin yakin mangrove adalah masa depan kehidupan pesisir, maka harus dijaga dan dilestarikan.

Jika dihitung-hitung, Pak Sururi bersama warga yang terlibat sudah menanam mangrove hingga jutaan bibit, dari ujung ke ujung pesisir Mangkang. Hal ini sangat berpengaruh untuk menahan laju abrasi yang ratusan meter dari bibir pantai.

"Menanam mangrove itu paling bagus itu 70 persen saja yang hidup. Sisanya akan mati atau terbawa arus. Itu harus disulami terus. Kalau menanam saja tanpa peratawan ya akan mati. Menanam saja semua terus ditinggal semua orang bisa, yang jarang bisa terus merawatnya," kata Pak Sururi.

Atas kesadaran itu, Pak Sururi kemudian mulai menggerakan ekonomi masyarakat dari hasil budidaya Mangrove. Selain menghasilkan bibit jenis mangrove unggulan yang banyak dicari, yaitu jenis rhizopora, hingga memasok untuk sebagian besar wilayah Jawa dan Bali, istri Pak Sururi juga mulai mengembangkan mangrove dan tambak ikan sebagai bahan dasar kuliner, seperti sirop dan olahan kerupuk.

"Kalau kami nanam kami berjuang ke lingkungan. Kami sudah mengarah ke ekonomi, biar hari tua saya, saya bisa dapat pensiun dari hasil pembibitan. Namanya kerja, tidak boleh ada yang sia-sia, kuncinya itu," katanya.

Atas kerja keras itu, Pak Sururi diganjar Kalpataru 2024 pada kategori Perintis Lingkungan. Penghargaan tertinggi bagi para pahlawan lingkungan ini diterima Pak Sururi atas jerih payahnya membudidayakan dan melestarikan mangrove selama hampir tiga dekade di kawasan Mangkang, Jawa Tengah.

Jika menilik kembali sejarah abrasi parah di pesisir Pantai Semarang, Prof Sudharto yang juga Guru Besar Manajemen Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro saat ditemui Liputan6.com menceritakan, awal abrasi di pesisir utara Semarang terjadi mulai dari perbatasan Kendal dan yang paling ujung perbatasan dengan Sungai Bringin.

"Parah panjangnya 1,5 kilometer, jadi sekitar 250 hektare tambak itu rusak," katanya.

Dalam kondisi seperti itu, kata Prof Sudharto, pesisir tidak bisa langsung ditanami mangrove, maka dulu dibangunkan sabuk pantai dari bantuan pemprov 300 meter, lalu dibangun lagi sampai akhirnya 1,3 kilometer sabuk pantai. Lalu dari situ baru diperkuat dengan menanam mangrove.

"Dan ternyata sekarang sabuk pantainya yang rusak, mangrovenya malah tidak, pantainya tidak jadi terabrasi. Itu bukti bahwa mangrove itu sebagai penangkal gelombang itu sangat penting," kata Prof Dharto.

Selain sebagai penangkal gelombang, mangrove juga punya peran penting sebagai habitat dari berbagai biota air, seperti bandeng, udang, kepiting, hingga rajungan, sehingga memudahkan bagi nelayan sekitar untuk memanfaatkannya. Apa yang terjadi di Mangkang bertolak belakang dengan yang terjadi di pesisir Kota Semarang, tepatnya di kawasan kota lama Semarang.

 

2 dari 3 halaman

Apa yang Terjadi di Kota Lama Semarang?

Menurut pandangan Prof Dharto, fenomena yang terjadi di Kota Lama Semarang adalah kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah yang dipicu dua faktor, yaitu pengeboran air tanah secara masif dan beban bangunan yang berlebihan, mengingat di kawasan itu banyak industri, pelabuhan, perumahan dan sebagainya.

"Itu range penurunan muka tanah di kota lama antara 2-12 cm per tahun. Jadi ada penurunan tanah ada kenaikan muka air laut, ketika terjadi kenaikan muka air laut, air itu akan mencari dataran yang rendah, jadi di Semarang itu tanpa ada hujan bisa banyak genangan," katanya.

Dari panjang pesisir pantai Semarang yang 13,7 kilometer, hanya ada tiga titik yang ada mangrovenya, kota lama menjadi satu-satunya pesisir Pantai Semarang yang tidak ada mangrovenya karena sudah ada industri.

"Enam puluh lima persen panjang pantai di Kota Semarang itu dikuasai swasta. Makanya mangrove di Mangkang ini seperti oase di antara padang pasir," katanya.

Selama menemani Pak Sururi membudidayakan mangrove, Prof Dharto menyebut luas lahan mangrove di Mangkang terus berkembang hingga sekarang mencapai luas 2,7 hektare, dengan jumlah spesies mangrove ada 27 jenis. Belum lagi untuk flora, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang belum lewat penelitian.

 

3 dari 3 halaman

Kolaborasi Anak Muda

Pentingnya keberadaan hutan mangrove perlu dikampanyekan kepada generasi muda. Dengan kolaborasi anak muda, masalah lingkungan, seperti permasalahan abrasi di wilayah pesisir misalnya, bisa terselesaikan, berdampak besar dan berkelanjutan. Apalagi mangrove bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat pesisir dan sekitarnya, namun juga bagi semua orang yang ada di bumi.

Dari sisi ekologis, mangrove punya fungsi sebagai pelindung pantai, yaitu penghalang alami yang melindungi garis pantai dari erosi akibat gelombang laut dan badai. Akar mangrove yang kuat dan saling terkait mampu menahan tanah dan mengurangi dampak gelombang, sehingga mencegah kerusakan pantai dan abrasi. 

Keberadaan tanaman mangrove juga menjadi habitat alami bagi banyak spesies, termasuk ikan, burung, dan hewan invertebrata lainnya. Sehingga bisa dibilang mangrove punya peran penting dalam menjaga ekosistem di pesisir pantai. Selain itu, mangrove juga punya kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dioksida dalam jumlah besar, lebih tinggi dibandingkan dengan hutan daratan. Kemampuan ini membantu mengurangi dampak perubahan iklim dengan menyerap gas rumah kaca dari atmosfer.

Tak hanya manfaat ekologis, dari sisi ekonomis, seperti yang diceritakan Pak Sururi, mangrove juga menyediakan sumber daya yang penting bagi kehidupan ekonomi banyak orang, seperti kayu bakar, bahan bangunan, dan produk non-kayu lainnya. Keberadaan mangrove juga mendukung industri yang dihasilkan dari budidaya ikan atau tambak udang. Keunikan tanaman mangrove juga menjadi daya tarik bagi banyak wisatawan, sehingga berpotensi menjadi sumber pendapatan warga lokal melalui ekowisata dan penelitian.

Sementara dari sisi sosial, mangrove punya peran besar melindungi garis pantai dan mengurangi dampak bencana alam. Dengan kata lain, mangrove menjadi benteng terakhir yang berkontribusi pada ketahanan dan keamanan komunitas pesisir. Mangrove juga membantu menjaga kualitas air dengan menyaring polutan dan sedimen.

Hal itu juga yang diyakini konten kreator Jerhemy Owen, anak muda pegiat lingkungan ini, bersama Bakti Lingkungan Djarum Foundation ikut menanam mangrove bersama Pak Sururi dan mahasiswa lainnya. Pemilik akun Instagram @Jerhemynemo itu mengatakan, perlu ada kesadaran anak-anak muda untuk menjaga alam dengan tidak membuang sampah sembarangan di alam.

"Anak muda sebenarnya sudah peduli, tapi mereka bingung caranya seperti apa, cara simpelnya seperti apa. Jadi di video-video aku juga aku jelasin, hal-hal simpel yang bisa mereka kerjain, contohnya misal bawa tambler pas lagi pergi, kita bawa tas kita pas belanja. Kita ngabisin makan aja itu sudah salah satu cara untuk ramah lingkungan. Dari hal-hal seperti itu harusnya kita lebih sadar lagi," katanya.

Meski punya banyak manfaat, keberadaan hutan mangrove kerap menghadapi ancaman serius dari aktivitas manusia, seperti penebangan liar, konversi lahan untuk pertanian dan pembangunan, serta polusi. Maka kolaborasi dengan anak-anak muda, menjadi upaya pelestarian yang dapat dilakukan melalui penanaman kembali, pengelolaan berkelanjutan, pendidikan masyarakat, dan penguatan kebijakan perlindungan lingkungan. Dengan tindakan yang tepat, kita bersama-sama dapat menjaga ekosistem mangrove agar terus memberikan manfaat bagi bumi dan manusia.