Liputan6.com, Berau - Pada awal 2023 silam, satu individu orang utan dipulangkan dari upaya penyelundupan di Sulawesi Utara. Usianya masih dua tahun dan diberia nama Astuti. Terbilang masih kecil untuk orang utan yang hidup sendiri.
Orang Utan Astuti diambil dari induknya saat masih bayi kemudian dijual di perdagangan gelap hewan antar negara. Sebab ada kemungkinan Astuti akan dikirim ke Filipina.
Pengungkapan upaya penyelundupan hewan endemik Indonesia ini setelah 6 bulan sebelumnya Kepolisian Gorontalo menggelar razia acak dan memeriksa sebuah mobil bak terbuka. Hasilnya mereka menemukan Astuti bersama 58 satwa lainnya yang hendak diselundupkan.
Advertisement
Baca Juga
Astuti kemudian dititipkan ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, Manado, Sulawesi Utara. Selama penitipan itu asal usul orang utan mungil ini diketahui setelah uji DNA yaitu Pongo pygmaeus morio, orang utan Kalimantan.
Maka orang utan yang seharusnya masih bersama induknya berlatih hidup di hutan dipulangkan ke Kalimantan Timur. Selanjutnya Astuti menjalani rehabilitasi di Sekolah Hutan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Kabupaten Berau.
“Proses karantina akan dilakukan bagi orangutan bersangkutan, ketika semua hasil baik dan sehat maka akan menjalani serangkaian program rehabilitasi termasuk program sekolah hutan bersama orangutan yang menjalani rehabilitasi. Setelah semua tahapan rehabilitasi dilalui maka orangutan Astuti akan dilepasliarkan kembali ke habitatnya,” kata Kepala BKSDA Kaltim Ari Wibawanto kala itu.
Astuti tidak sendiri. Di Sekolah Hutan untuk orang utan di Labanan ada 10 individu orang utan lainnya. Latar belakang mereka beragam.
Namun nasibnya hampir mirip Astuti yang sudah pisah dengan induknya sejak lahir. Bahkan ada satu individu orang utan yang masuk sekolah hutan dalam kondisi baru lepas pusar.
“Hasil rescue (penyelamatan) terkait interaksi atau konflik di masyarakat,” kata Kepala BKSDA Kaltim Ari Wibawanto menjelaskan asal-usul 11 individu orang utan di Sekolah Hutan Labanan, Kamis (18/7/2024).
Namun kini Nasib sekolah hutan itu di ujung tanduk setelah aktivitas tambang batu bara ilegal semakin dekat dengan sekolah hutan. Padahal status kawasan tersebut adalah hutan dengan tujuan khusus yaitu hutan penelitian.
Upaya rehabilitasi orang utan bukan pekerjaan mudah. Bahkan terbilang sulit.
Sebagai gambaran, orang utan terlama di Sekolah Hutan Labanan saat ini adalah Ambon yang masuk pada 2015 silam. Lebih 9 tahun di pusat rehabilitasi tak menjamin sifat liarnya kembali.
Kini Orang Utan Ambon sedang dalam proses untuk mendapatkan pulau buatan sebagai rumah berikutnya. Untuk mengembalikan ke habitat alaminya dirasa sulit karena kehilangan sifat liar.
Proses rehabilitasi orang utan di sekolah hutan adalah upaya mengembalikan sifat liar agar bisa bertahan hidup di hutan. Karena kebanyakan orang utan yang masuk di sekolah hutan sudah terpisah dari induknya sejak bayi. Sehingga perlu dilatih kembali dengan pengawasan ketat, baik dari sifat, pakan, hingga lokasi.
BKSDA Kaltim mulai memikirkan memindahkan sebagian orang utan ini ke tempat baru untuk dilatih sifat liarnya. Kondisi KHDTK Labanan yang mulai memprihatinkan membuat opsi pemindahan menjadi salah satu pilihan.
“Memindahkan hanya salah satu opsi terbaik,” kata Ari.
Mengenal Labanan
Berdasarkan laman Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Lingkungan Hidup (BBPSILH) Samarinda, kawasan ini ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan nomor SK. 64/Menhut-II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian.
Luasan tersebut saat ini hanya 4 ribu hektar. Kawasan Hutan Labanan memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
“KHDTK untuk Hutan Penelitian Labanan merupakan miniatur hutan hujan tropis dataran rendah dengan keragaman biodiversitas yang sangat tinggi,” tulis laman tersebut.
Berdasarkan data kompilasi hasil eksplorasi yang telah dilaksanakan di kawasan ini, lebih dari 58 famili (150 genus) flora, 23 jenis mamalia, 89 jenis burung, 40 jenis Herpetefauna, berbagai jenis fungi serta ekosistem gua dapat dijumpai dan dijadikan obyek penelitian dan pengembangan yang sangat menarik.
Tak heran jika KHDTK Labanan sangat cocok untuk upaya rehabuilitasi orang utan. Sayangnya, nilai konservasi yang tinggi itu tak sejalan dengan upaya menjaga kawasan.
Kepala BBPSILH Samarinda Ivan Yusfi Noor yang membawahi KHDTK Labanan enggan berkomentar lebih jauh saat ditanya soal aktivitas tersebut.
“Mohon maaf, mas. Saya tidak bisa memberikan informasi terkait hal ini,” katanya melalui aplikasi pesan instan, Selasa (23/7/2024).
Ivan tak menampik jika KHDTK berada di bawah lembaga yang dipimpinnya. Dia pun meminta untuk bertanya langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Pertanyaan bisa langsung ditujukan ke Jakarta,” tulis Ivan.
Advertisement