Liputan6.com, Banyuwangi - Pekerja Migran Indonesia asal Muncar Banyuwangi, berinisial DR, diduga mengalami kekerasan fisik di negara tujuan tempat dia kerja di Serawak Malaysia.
Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Buruh Migran Indonesia (DPW SBMI) Jawa Timur Agung Sebastian mengatakan, pihaknya sudah mendapat laporan terkait kasus tersebut.
Baca Juga
Kata dia, berdasarkan hasil koordinasi dengan pihak keluarga korban, kekerasan yang dialami korban berupa pemukulan.
Advertisement
Bahkan, handphone dirampas oleh majikannya. Ketika korban hendak komunikasi dengan keluarganya yang berada di Banyuwangi, harus menggunakan HP majikan, dan itupun dipantau langsung oleh majikannya saat telepon.
“Korban juga mengaku diisolasi dan tak boleh keluar rumah. Bahkan diancam tidak digaji jika tak menuruti aturan tersebut”, jelasnya, Jumat (2/8/2024).
Mirisnya lagi, perempuan berusia 20 tahun itu, awalnya dijanjikan akan digaji 1.200 ringgit perbulan. Namun faktanya, meski sudah bekerja selama 4 bulan, gaji yang dibayarkan kepada keluarga hanya 1.500 ringgit. Sehingga terdapat sisa sebesar 3.300 ringgit hak DR yang tidak dibayarkan.
Berdasarkan laporan yang diterima DPW SBMI Jawa Timur dari pihak keluarga, alasan pemotongan gaji tersebut, karena DR sering melakukan kesalahan kerja. Sehingga setiap kali melakukan kesalahan kerja, gajinya dipotong.
“Sistem pembayaran gaji, dilakukan dengan cara ditransfer langsung oleh majikan kepada keluarga korban yang berada di Banyuwangi”, tambahnya.
Diduga Ilegal
Setelah dilakukan penelusuran oleh SBMI Jatim, proses pemberangkatan DR diduga dilakukan secara illegal. Sehingga DR diduga menjadi korban perdagangan orang.
Hal itu diperkuat berdasarkan koordinasi SBMI dengan Disnaker untuk mengecek data DR di sistem, hasilnya menunjukkan bahwa DR tidak didaftarkan sebagai pekerja migran Indonesia.
“Ini menguatkan dugaan bahwa DR menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, sebab itu kami akan segera mengambil upaya hukum,” tegas Agung.
Sponsor yang memberangkatkan DR berasal dari Jember. Sedangkan PT yang memfasilitasi berada di Malang. Korban sempat diminta menyerahkan berkas-berkas seperti KK, KTP, dan surat izin dari desa.
Kemudian DR dijemput ke rumah dan semua berproses dari Jember. Bahkan menurut orang tuanya, anaknya juga pernah menjalani medical check-up yang difasilitasi PT di Malang. Namun keluarga tak mengetahui apakah PT tersebut resmi atau tidak.
Kata Agung, ibu kandung korban RPY (44), menceritakan, anaknya sering menangis ketika telepon, karena merasa tak kuat lagi dan ingin pulang. Korban juga harus memohon ke majikannya untuk meminjam uang, guna membeli perlengkapan mandi seperti sabun dan lainnya.
Agung Sebastian menyatakan, bahwa tim advokasi akan mendamping keluarga korban untuk mencari solusi dan mengatasi persoalan tersebut.
"Kami juga akan mengumpulkan sejumlah bukti untuk melaporkan persoalan tersebut kepada pihak yang berwenang," pungkasnya
Advertisement