Liputan6.com, Cirebon Keputusan Yayat Supriadi untuk menunda pembayaran PBB Kota Cirebon bukan tanpa alasan. Ia bersama puluhan warga Kota Cirebon yang lain dengan sabar mendaftarkan Judicial Review Perda nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi ke Pengadilan Negeri (PN) Cirebon.
Bersama perwakilan warga dari 5 Kecamatan lain di Kota Cirebon, Yayat menyatakan keberatan terhadap kebijakan Pemkot Cirebon yang menaikkan PBB hingga 1000 persen.
"Tahun 2023 bayar pajak Rp 389 ribuan, tahun ini kena pajak Rp 2.377.000 dapat stimulus 25 persen jadi Rp 1.783.000, sebelum masuk grup ini saya ajukan keberatan dan dapat diskon 50 persen tapi dikisaran bayar Rp 900 ribuan, saya masih tetap keberatan, kalau bayar yang Rp 900 ribu juga tahun depan sya tetap bayar Rp 2,3 juta," kata Yayat ditengah proses pendaftaran Judicial Review di PN Cirebon, Jumat (2/8/2024).
Advertisement
Ia mengaku tidak sanggup membayar karena kenaikannya terlalu tinggi. Yayat sendiri merupakan warga Kota Cirebon yang sehari-hari kerja sebagai buruh harian.
Ia bekerja sebagai buruh tukang las yang digaji Rp 100 ribu sampai Rp 125 ribu per hari. Rumah berada di jalan Ahmad Yani 45 lokasinya di pinggir jalan dibawah fly over.
"Padahal tidak semua warga yang rumahnya di pinggir jalan itu mampu. Penghasilan saya masih tidak tetap, saya sebagai tukang las. Anak 2 sekolah semua, perekonomian sulit, beras mahal, sekolah bayar pajak naik," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Yayat mengungkapkan pernah menyampaikan keberatan langsung ke kantor Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Cirebon. Petugas BKD, kata Yayat menyebutkan bahwa harga NJOP rumahnya mencapai Rp 1,2 miliar.
Namun, Yayat tetap bersikukuh menunda pembayaran PBB karena kondisi keuangan.
"Tetangga saya sudah di dua lantai mau dijual Rp 650 juta saja belum laku. Ini saya dihargai Rp 1,2 miliar waktu saya ke BKD saya bilang yasudah saya jual sama bapak saja, saya sempat gitu, saya pergi. Saya bilang tetangga sebelah saya mau dijual Rp 650 juta belum laku sementara saya dihargai Rp 1,2 miliar saya bilang gak usah nambahin deh saya kasih rumahnya, dan mereka diam saja tidak bicara," katanya kesal.
Kondisi serupa dirasakan Suryapranatha warga Siliwangi Kota Cirebon. Menurutnya, kondisi ekonomi yang sedang tidak baik hingga menurunnya daya beli membuatnya merasa terbebani dengan biaya PBB naik.
Ia mengaku kenaikan pajak yang ditetapkan Pemkot Cirebon tidak adil. Tahun 2023 lalu ia membayar PBB Rp 6,2 juta, namun tahun ini pembayaran PBB rumahnya naik mencapai 1000 persen.
"Seolah saya tinggal dirumah sendiri tapi harus bayar dengan pajak yang lebih besar," ujarnya.
Judicial Review
Menurutnya, kebijakan Pemkot Cirebon menaikkan PBB keputusan sepihak. Masyarakat tidak diajak dialog bahkan tidak ada kajian ilmiah sebelum menaikkan PBB.
Ia bersama warga yang lain sudah melakukan berbagai upaya. Seperti mediasi minta untuk mengubah kenaikan PBB dengan dialog langsung bersama PJ Wali Kota Cirebon namuj tidak disepakati.
"Kita hanya dibodohi dengan stimulus, relaksasi dan diskon itu hanya temporer misal kita bayar tahun ini dengan diskon tetap saja tahun depan bayar PBB Rp 65 juta. Itu pembodohan dan tandanya kita setuju," ujarnya.
Warga lain Hendrawan Rizal mengaku kebijakan Pemkot Cirebon menaikkan PBB dianggap ugal-ugalan. Ia bersama warga lain sepakat untuk menempuh jalur hukum karena upaya lain yang sudah ditempuh gagal.
Hendrawan menyebutkan ada hampir 10 warga Kota Cirebon yang kenaikan PBB nya mencapai 1000 persen. Sisanya sebagian besar diatas 100 persen.
"Kalau warga di perumahan saya di GSP rata-rata kenaikan diatas 100 persen. Ini akibat Pemkot Cirebon menetapkan APBD 2024 menaikkan target PBB dari sebelumnya tahun 2023 kemarin Rp 35 miliar, sekarang tahun 20224 naik Rp 70 miliar, naik 100 persen. Untuk mencapai target itu mereka dengan berbagai cara dan metode yang kita anggap ugal-ugalan ya naikkan PBB seperti itu hanya untuk mencapai target PBB 2024.
Terpisah tim advokasi rakyat Heta Mahendrati menyebutkan pengajuan Judicial Review adalah jalan terakhir dari upaya warga meminta Pemkot Cirebon membatalkan Perda nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi.
"Kami tim advokat ini semua volunteer dan sudah melampaui berbagai cara hingga kami demo tapi tidak didengar," ujar Heta.
Menurutnya, banyak kejanggalan formil yang tidak dilampaui oleh Pemkot maupun DPRD Kota Cirebon menetapkan Perda. Dalam gugatannya, tim advokasi menyiapkan 131 bukti hingga saksi ahli yang akan dihadirkan pada Judicial Review.
Heta menyebutkan, dalam Judicial Review, pihak yang termohon adalah Pemkot Cirebon PJ walikota dan PJ Sekda, kemudian DPRD Kota Cirebon dan Pemprov Jawa Barat.
"Kami sudah bersurat ke seluruh lembaga negara seperti Kemendagri, Kemenkeu Gubernur Jabar hingga Polda Jabar. Bahkan terkahir ada hasil review dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) hasilnya rekomendasi untuk mencabut perda nomor 1 tahun 2024. kami harapkan perda dibatalkan, surat yang sudah kami layangkan juha kami jadikan bukti," ujar Heta.
Heta memastikan bersama warta Kota Cirebon yang lain akan tetap konsisten pada petisi yang sepakat akan menunda pembayaran pajak sampai keluar keputusan yang baru.
Advertisement