Liputan6.com, Bandung - Hamas baru-baru ini resmi menunjuk Yahya Sinwar sebagai pemimpin politik barunya pada Selasa (6/8/2024). Melansir dari Aljazeera Yahya dipilih untuk menggantikan Ismail Haniyeh yang tewas terbunuh di Teheran pada 31 Juli.
“Gerakan perlawanan Islam Hamas mengumumkan terpilihnya Komando Yahya Sinwar sebagai kepala biro politik gerakan tersebut, menggantikan Komandan syahid Ismail Haniyeh, semoga (Tuhan) mengampuni dia,” kata Hamas dalam pernyataan singkat.
Baca Juga
Sebagai informasi sosok Yahya Sinwar dituduh oleh Israel sebagai dalang di balik serangan Hamas pada 7 Oktober lalu terhadap Israel. Sosoknya bahkan dinilai sebagai musuh publik nomor satu di Israel.
Advertisement
Kepada televisi Al Jazeera juru bicara Hamas, Osama Hamdan menuturkan Sinwar akan melanjutkan negosiasi gencatan senjata. Dia menyalahkan Israel dan sekutunya AS karena kegagalan untuk mencapai kesepakatan.
Selain itu, pihaknya juga menegaskan pemilihan Sinwar sebagai pemimpin baru merupakan tanda bahwa keinginan kelompok tersebut belum terpatahkan. Mereka masih berpegang teguh di medan perang dan dalam politik.
Sementara itu, saat ini masih belum diketahui pasti bagaimana Sinwar dapat berkomunikasi dengan sesama anggota Hamas. Kemudian bagaimana menjalankan operasi politik harian gerakan tersebut dan mengawasi negosiasi gencatan senjata Gaza ketika bersembunyi.
Lantas Siapa Yahya Sinwar?
Mengutip dari situs Aljazeera, Yahya Sinwar dikenal sebagai salah satu pejabat tinggi Hamas yang paling tidak kenal kompromi. Sinwar lahir pada tahun 1962 di Khan Younis, Gaza Selatan.
Sinwar bahkan ditangkap berulang kali oleh Israel pada awal tahun 1980an karena keterlibatannya dalam aktivisme anti-pendudukan di Universitas Islam di Gaza. Setelah lulus ia turut membantu membangun jaringan pejuang untuk melakukan perlawanan terhadap Israel.
Kelompok tersebut kemudian menjadi Brigade Qassam, sayap militer Hamas dan diketahui mulai bergabung dengan Hamas sebagai salah satu pemimpinnya ketika kelompok tersebut didirikan oleh Sheikh Ahmad Yassin pada tahun 1987.
Pada tahun berikutnya, Yahya Sinwar sempat ditangkap oleh pasukan Israel dan dijatuhi empat hukuman seumur hidup atau setara dengan 426 tahun penjara. Ia dituduh terlibat dalam penangkapan dan pembunuhan dua tentara Israel dan empat tersangka mata-mata Palestina.
Ketika dipenjara Yahya menghabiskan 23 tahun di penjara Israel dan selama itu dia belajar bahasa Ibrani dan menjadi ahli urusan Israel dan politik dalam negeri. Yahya kemudian dibebaskan pada tahun 2011.
Saat itu Yahya dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan yang mencakup pembebasan tentara Israel Gilad Shalit yang telah ditangkap oleh Hamas. Setelah bebas Sinwar kembali naik pangkat di Hamas.
Advertisement
Terpilih Jadi Anggota Biro Politik Hamas
Setahun setelah dibebaskan Yahya Sinwar terpilih menjadi anggota biro politik Hamas dan ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Brigade Qassam. Sosoknya memainkan peran utama politik dan militer selama tujuh minggu serangan Israel terhadap Gaza tahun 2014.
Pada tahun berikutnya Amerika Serikat memberikan label terhadap Sinwar sebagai “Teroris global yang ditetapkan secara khusus”. Kemudian di tahun 2017 Sinwar menjadi ketua Hamas di Gaza menggantikan Haniyeh sebagai ketua biro politik di kelompok tersebut.
Berbeda dengan Haniyeh, yang telah melakukan perjalanan ke berbagai daerah dan menyampaikan pidato selama perang yang terus berlanjut di Gaza hingga pembunuhannya Sinwar justru telah bungkam sejak 7 Oktober.
Namun dalam sebuah wawancara di tahun 2021 Sinwar mengatakan bahwa meskipun warga Palestina tidak menginginkan perang karena biaya yang tinggi mereka tidak akan “mengibarkan bendera putih”.
“Untuk waktu yang lama, kami mencoba perlawanan yang damai dan populer. Kami berharap bahwa dunia, orang-orang bebas, dan organisasi internasional akan mendukung rakyat kami dan menghentikan pendudukan dari melakukan kejahatan dan membantai rakyat kami. Sayangnya, dunia hanya berdiri dan menonton,” ucapnya dari wawancara dengan Vice News.
Sinwar kemungkinan menggambarkan Great March of Return, di mana warga Palestina melakukan protes setiap minggu selama berbulan-bulan di perbatasan Gaza pada tahun 2018 dan 2019.
Namun hal tersebut menghadapi tindakan keras Israel yang menewaskan lebih dari 220 orang dan melukai lebih banyak lagi. Sinwar juga sempat ditanya terkait taktik Hamas termasuk penembakan roket tanpa pandang bulu yang dapat membahayakan warga sipil.
Ia menuturkan warga Palestina berperang dengan segala cara yang mereka miliki dan menuduh Israel sengaja membunuh warga sipil Palestina secara massal meski memiliki persenjataan canggih dan tepat sasaran.
“Apakah dunia mengharapkan kita menjadi korban yang berkelakuan baik saat kita dibunuh, agar kita dibantai tanpa membuat keributan?,” kata Sinwar.