Liputan6.com, Jakarta Pegiat Koperasi asal Pasuruan Jawa Timur, M Sholeh Wafie memberikan sejumlah catatan terkait regulasi yang dikeluarkan Permenkop UKM Nomor 8 Tahun 2023. Regulasi ini mengatur tentang usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia.
Pertama, menurutnya, penetapan persyaratan modal minimal yang lebih tinggi dibandingkan regulasi sebelumnya. Dalam regulasi ini, diatur bahwa untukKoperasi simpan pinjam (KSP) primer, modal minimal yang harus disetor adalah Rp 500 juta, sedangkan KSP sekunder minimal Rp 1 miliar.
Baca Juga
"Tentu peningkatan persyaratan modal minimal dapat menjadi hambatan pembentukan KSP baru, terutama di daerah pedesaan atau kawasan ekonomi lemah. Bahkan kebijakan ini berpotensi menghambat inovasi dan pertumbuhan sektor koperasi, karena membatasi kemungkinan terbentuknya koperasi-koperasi kecil yang bisa menjadi solusi keuangan mikro bagi masyarakat," ujarnya, Rabu (7/8/2024).
Advertisement
Manager Bisnis KSPPS BMT UGT Nusantara ini menambahkan, diatur pula tentang standar operasional yang lebih ketat, termasuk kewajiban memiliki sistem informasi manajemen, standar operasional prosedur (SOP) yang komprehensif, dan sertifikasi kompetensi bagi pengurus dan pengelola.
Menurut dia, peningkatan standar operasional dan profesionalisme memang penting untuk meningkatkan kualitas layanan dan tata kelola koperasi. Namun, implementasi yang terlalu cepat dan kaku dapat menjadi beban berat bagi koperasi kecil dan menengah.
Kedua, memunculkan beban operasional. Peningkatan standar operasional, kepatuhan, dan pelaporan dapat meningkatkan beban operasional koperasi, terutama bagi koperasi kecil dan menengah. Hal ini dapat mengurangi efisiensi dan daya saing koperasi.
"Ketiga, konsolidasi yang dipaksakan. Regulasi yang lebih ketat mungkin mendorong konsolidasi sektor koperasi, di mana koperasi-koperasi kecil mungkin terpaksa bergabung atau tutup karena tidak mampu memenuhi persyaratan regulasi,"jelasnya.
Keempat, hambatan inovasi. Kerangka regulasi yang terlalu kaku dan beban kepatuhan yang tinggi justru dapat mengurangi ruang untuk inovasi dan eksperimentasi dalam model bisnis koperasi.
Kelima, kesenjangan digital yang lebar. Koperasi yang tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan digitalisasi mungkin tertinggal dalam persaingan, menciptakan kesenjangan digital dalam sektor koperasi.
"Keenam, menciptakan fait accompli, antara fokus pada kepatuhan versus layanan. Tuntutan kepatuhan yang tinggi dapat mengalihkan fokus dan sumber daya koperasi dari peningkatan layanan kepada anggota ke pemenuhan persyaratan regulasi," uangkapnya.
Jalan Keluar
Dengan demikian, kata Sholeh, karena regulasi ini berpotensi menghambat perkembangan koperasi, terutama yang berukuran kecil dan menengah. maka pendekatan yang lebih seimbang dan fleksibel diperlukan untuk memastikan bahwa regulasi dapat mendorong pertumbuhan dan inovasi sektor koperasi.
"Penyempurnaan dan implementasi yang hati-hati atas regulasi ini dapat menjadi landasan untuk pengembangan sektor koperasi yang lebih kuat, inovatif, dan berkelanjutan," harapnya.
Menurutnya, potensi hambatan yang akan dihadapi dicarikan jalan keluar dengan mempertimbangkan pendekatan bertingkat. Menerapkan persyaratan regulasi yang berbeda berdasarkan ukuran dan kompleksitas koperasi, memberikan fleksibilitas lebih bagi koperasi kecil dan baru.
Selain itu, regulasi ini juga harus mampu menciptakan ruang yang mendorong inovasi, seperti "regulatory sandbox" untuk uji coba model bisnis dan teknologi baru dalam lingkungan yang terkontrol. Kemudian, mendorong kolaborasi antara koperasi serta kemitraan dengan lembaga keuangan dan teknologi untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing.
Advertisement