Liputan6.com, Bandung - Sejumlah wilayah di Kabupaten Bandung Barat (KBB) terpisah oleh Sungai Citarum atau perairan Saguling. Alhasil, terkadang masyarakat KBB harus mengambil jalan memutar lantaran mengikuti akses jalan raya yang telah dibuat oleh pemerintah.
Tak jarang di beberapa kampung di bangun sebuah jembatan apung yang hanya terbuat dari tong dan kayu. Misalnya seperti di Desa Cihampelas, yang menghubungkan Kecamatan Cihampelas dengan Kecamatan Batujajar. Masih ada jembatan lainnya seperti di Desa Mekarjaya, Desa Mekarmukti, dan lainnya.
Penggunaan jembatan apung memang memang mempersingkat waktu perjalanan, namun memangkas ongkos. Bila ingin melintasi jembatan, pengendera dikenakan biaya sebesar Rp3.000 hingga Rp5.000 sekali lewat. Meski begitu, tak sedikit peminatnya.
Advertisement
Saat sedang menelusuri jembatan-jembatan apung yang ada di wilayah selatan KBB, Liputan6.com menemukan transportasi air yang kini sudah jarang terlihat. Di Kampung Sekecengek, Desa Cangkorah, Kecamatan Batujajar, warga disana masih menggunakan rakit yang terbuat dari bambu untuk menyeberangi perairan saguling.
Jasa penyeberangan itu tak sedikit peminatnya. Dari pantauan selama satu jam, setidaknya ada 15 orang dan 4 motor yang menggunakan rakit tersebut untuk menyebrang perairan. Salah seorang warga, Ismi (28) mengaku hampir setiap hari menaiki rakit yang terbuat dari bambu itu. Alasannya karena lebih dekat ke tempat tujuannya.
"Kalau lewat jalan biasa harus muter ke Kopassus dulu, lewat Kecamatan dulu, lebih lama. Mending naik ini (rakit) lebih cepat," kata Ismi saat sedang menunggu rakit kembali ke titik naik di Kampung Sekecengek.
Meski harus merogoh kocek seikhlasnya, ongkos tersebut diakuinya lebih untung ketimbang harus memutar. Biasanya, ia menggunakan jasa rakit bambu untuk pergi ke pasar Cangkorah atau ke rumah kerabatnya.
Hal senada pun diungkapkan oleh Maemunah (53) yang mengatakan bahwa keberadaan rakit sangat memudahkannya untuk bertemu sang cucu.
"Rumah saya dekat sini, terus rumah anak saya di seberang, jadi gampang kalai mau ketemu cucu nggak harus naik ojek, tinggal jalan aja terus naik rakit," ucapnya.
Liputan6 pun mencoba menaiki rakit tersebut bersama Ismi dan warga lainnya. Saat menapakkan kaki di rakit, moda transportasi air itu sempat sedikit goyang lantaran ada penambahan beban. Hembusan angin pun terasa ketika rakit tersebut beroperasi diatas perairan yang lebarnya sekitar 50 meter dan jika pasang, lebarnya bisa mencapai 200 meter.
Salah satu nahkoda rakit tersebut adalah Agus, warga sekitar yang dipercaya oleh ketua RW setempat untuk mengoperasikannya. Agus bercerita jika rakit eretan itu dibuat dari hasil iuran warga. Sehingga ia tidak mematok harga untuk sekali jalan.
"Nggak ada tarif, seikhlasnya aja karena ini hasil iuran warga, jadi buat warga juga," ungkap dia sembari menarik tali yang membentang sekitar 250 meter yang menjadi tumpuannya dalam mengoperasikan rakit.
Agus menuturkan, rakit berukuran 4x2 meter persegi itu mampu menampung hingga 12 motor. Demi kemanan, ia biasanya hanya mengangkut 2-3 motor sekali jalan.
"Bisa sampai 12 motor, tapi saya suka batasin sekali jalan 2-3 karena kadang sisanya ada warga yang nggak pake motor," ujar pria berusia 42 tahun itu.
Dia dan rekannya biasa mulai mengoperasikan rakit mulai dari pukul 05.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Menurutnya, waktu pagi adalah waktu yang paling sibuk lantaran banyak warga yang hendak pergi bekerja, sekolah, dan ke pasar.
Dalam sehari, Agus bisa memperoleh sampai Rp 100 ribu. "Pendapat sih sampai seratus ribu rupiah, tapi di bagi lagi. Ke teman sama buat kas perawatan," katanya.
Hampir 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk menyebrangi aliran sungai Citarum ke Waduk Saguling itu.
Walau keamanannya belum terjamin, namun masyarakat bisa memangkas waktu perjalanan sampai 10-15 menit. Pengunjung pun akan mendapatkan pengalaman yang berbeda lantaran bisa menikmati indahnya pemandangan perairan Saguling, juga pepohonan yang asri.
Penulis: Arby Salim