Sukses

Merangkai Usaha dan Manfaat di Bilah-Bilah Bambu, Virage Awie Klaster Usaha Binaan BRI

Adang berharap usahanya ini bisa teguh menjulang seperti jajaran bambu di kebun-kebun Bandung Barat yang memberikan kesejukan, kerindangan dan manfaat bagi sekitar.

Liputan6.com, Bandung - Inspirasi itu diaku Adang datang pada suatu malam 30 April 2011, ketika ia tengah diam bersila di sebuah masjid. Ia melihat bilah-bilah bambu di lingkungan tempat ibadah itu. "Usaha apa yang bisa saya perbuat lewat bambu?" pertanyaan dalam hati Adang tak langsung menemukan jawaban.

Esok harinya saat di rumah, ketika menyaksikan sebuah tayangan orkestra di televisi, sebuah biola merasuk perhatiannya. Sekaligus, menjadi jawaban atas pertanyaan semalam.

"Ya, saya akan membuat biola bambu," padahal pemilik nama lengkap Adang Muhidin itu sama sekali tak bisa bermain alat musik.

Inspirasi tak terduga itu ternyata menuntunnya pada gerbang usaha baru, usaha kerajinan bambu membawanya keluar dari masa-masa sulit kebangkrutan usaha-usaha lama. Menjadi titik penting bagi hidup Adang beserta keluarga.

Ada semacam kemantapan ikhtiar yang seolah ujug-ujug terbangun. Bermodal uang sendiri yang tak seberapa, Adang mulai belajar hal ihwal tentang bambu, melakukan serangkaian penelitian dan percobaan semampunya.

"Saya pernah jalan kaki ke Kota Bandung untuk belajar soal bambu," kata Adang di kediamannya, Desa Cimareme RT 03/07, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, beberapa waktu lalu (9/8/2024).

Sekitar 2013, Adang berhasil membuat biola bambu pertamanya, diikuti alat musik lain seperti gitar dan bas. Mulanya bambu-bambu itu, kata Adang, adalah hasil meminta dari kebun ke kebun.

Kegigihan dan buah karyanya mulai diketahui, hingga ia dan tim pun diundang ke gelaran Java Jazz di Jakarta. Mulanya, Adang merasa minder.

"Tapi ternyata booth kami di Java Jazz itu dipenuhi pengunjung," cerita Adang setengah tak menyangka.

Dari sana, biola bambu karya pertamanya dibeli orang Jepang dengan harga Rp3,5 juta rupiah. Gitar bambunya pun ternyata laku di harga Rp4 juta rupiah. Adang pulang membawa Rp7,5 juta rupiah dari Jakarta, suntikan penting untuk modal usaha dan kepercayaan diri.

 

2 dari 3 halaman

Bantuan BRI

Perjalan usaha Adang diaku makin berkembang ketika mendapat dukungan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Virage Awie, nama usaha kerajinan bambu milik Adang, diketahui menjadi salah satu klaster usaha binaan BRI. Lewat dukungan BRI pada 2014, hak cipta alat musik bambu dari Virage Awie dipatenkan.

"Tahun itu saya ketemu BRI akhirnya alat musik kami punya HAKI (Hak Kekayaan Intelektual)," kata dia.

Selain itu, ia juga sempat mendapatkan bantuan lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan nilai ajuan Rp10 juta rupiah. Lain dari itu, Virage Awi mendapat bantuan penyediaan alat produksi.

Kerajinan bambu Virage Awi, aku Adang, terus berkembang seperti tidak hanya memproduksi alat musik saja, juga merambah ke kerajinan lainnya seperti jam tangan bambu, alat makan bambu, wadah minum bambu, speaker bambu, konstruksi bangunan, hingga kuliner.

Tidak hanya fokus di aspek produksi, Virage Awie kini menjadi semacam akedemi yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan usaha, termasuk untuk para disabilitas.

Beberapa kelompok usaha itu di antaranya Kelompok Wanita Kreatif Tanginas yang olahan kuliner berbahan dasar anak buluh bambu atau rebung, contohnya diolah menjadi mustofa rebung, simping rebung, semprong, pangsit hingga brownis rebung.

Adapula, Kelompok Wanita Kreatif Motekar yang produksi kerupuk daun bambu. Selain itu, Kelompok Usaha Kerajinan Difabel.

"Sampai sekarang BRI support kami," aku Adang.

Terpisah, Direktur Mikro BRI Supari mengungkapkan bahwa BRI memiliki komitmen untuk terus mendampingi dan membantu pelaku UMKM lewat program Klasterkuhidupku. Program ini menjadi wadah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnisnya.

Dengan pemberdayaan dan pendampingan tersebut, pelaku UMKM dapat mengembangkan produknya dan memperluas usaha, hingga nantinya UMKM yang tumbuh dapat menjadi inspirasi bagi pelaku usaha di daerah lain.

"Kami berkomitmen untuk terus mendampingi dan membantupelaku UMKM, tidak hanya dengan memberikan modal usaha, tetapi juga melalui pelatihan-pelatihan usaha dan program pemberdayaan lainnya, sehingga UMKM dapat tumbuh dan berkembang. Semoga kisah Klaster Bambu Pirage Awie dapat menjadi cerita inspiratif yang bisa ditiru oleh pelaku UMKM di daerah lain," tegas Supari.

 

3 dari 3 halaman

Bilah-Bilah Bambu Bermanfaat

Adang kadang masih tak percaya, dorongan hati pada malam itu di masjid, menggelarkan jalan usaha dan manfaat tidak hanya bagi dia serta keluarga, tapi orang-orang di sekitarnya.

Virage Awie yang mulanya dirintis Adang hanya berdua bersama seorang rekanannya, kini turut bisa menjadi ladang usaha berkelanjutan bagi puluhan bahkan sempat mencapai ratusan orang lainnya.

"Setelah BRI masuk itu banyak orang yang turut bekerja bahkan mencapai 200 orang, memang tidak semuanya bertahan. Sekarang ada 4 orang yang jadi pemilik Virage Awie ini dengan tim inti 7 orang. Tim lainnya ada 47 orang, belum lagi khusus kelompok usaha ibu-ibu di kuliner itu mencapai 30 orang. Kebanyakan adalah single parents. Ada juga disabilitas yang pernah dilatih hingga 35 orang, dan sekarang yang bekerja di sini ada 8 orang," beber Adang.

"Kebanyakan yang bekerja itu dibayar dengan komisi produksi, bukan gaji sistemnya. Ada yang seminggu itu bisa dapat 1-2 juta rupiah, ada juga yang 500 ribu rupiah. Saya sendiri menargetkan yang bekerja di sini bisa mendapat penghasilan minimal UMR," tambahnya.

Terkait pemasaran produk, kata Adang, peminat produk-produk bambu karya Virage Awie itu datang tidak hanya dari dalam negeri tapi luar negeri. Bahkan alat musik itu, katanya, 90 persen pembelinya berasal dari luar negeri beberapa di antaranya adalah Jepang, India, Rumania, Jerman, Inggris, Singapura, dan Malaysia.

"Kami kerap diajak pameran oleh BRI di luar negeri, seperti terkahir itu di Singapura. Dari pameran itu kita suka ketemu para buyer," katanya.

Bisa disebut bahwa salah satu produk unggulan Virage Awie memang alat musik. Saat ini, harga alat musik itu sudah kian meningkat seiring dengan perkembangan kualitasnya. Harga untuk gitar misalnya itu dimulai dari 14 juta-25 juta rupiah. Sementara drum bambu bisa mencapai 50 juta rupiah.

"Kami produksi secara eksklusif, setahun kami hanya menjual gitar secara terbatas hanya 36 gitar. Pembelinya 90 persen dari luar negeri," katanya.

"Produk kuliner itu itungannya paling baru, mulai benar-benar dipasarkan pada 2022-2023 lalu. Untuk kerajinan bambu lainnya seperti jam tangan itu peminatnya sebagian besar dari dalam negeri," kata Adang.

Adang berharap usahanya ini bisa teguh menjulang seperti jajaran bambu di kebun-kebun Bandung Barat yang memberikan kesejukan, kerindangan dan manfaat bagi sekitar.

"Jangan lupa bantu orang lain. Semoga dengan Virage Awie ini kami bisa membantu orang lain, tidak muluk-muluk," harap Adang.