Sukses

Damai Aceh ke-19: Menerabas Watas Gen-Z

KontraS Aceh x Bersabtu Kita Teguh memperingati MoU Helsinki sebagai Hari Damai Aceh ke-19 dengan cara yang berbeda. Damai seakan kotak pandora, simak beritanya:

Liputan6.com, Aceh - Kecuali sejumlah foto dalam bingkai akrilik yang digantung dengan kabel nilon, di pagar kantor DPRA itu tak ada umbul-umbul atau atribut yang menandai bahwa di tempat tersebut sedang digelar peringatan MoU Helsinki. Di bawah naungan dua pohon trembesi besar dan teduh, Hari Damai Aceh ke-19 dirayakan tepat di depan pelang kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan cara yang berbeda dari kebanyakan perayaan serupa, Kamis (15/8/2024).

Kain hitam besar membentang di atas lantai pedestrian. Selain sebagai panggung, kain tersebut bersulih jadi kanvas ketika dua orang perempuan mulai malayukkan kuas ke atas potongan kain yang lebih kecil yang perlahan memperlihatkan sesosok kepala bocah dengan latar peta Aceh serta sebentuk bunga Matahari di dada.

Bocah itu adalah Saddam Husein, anak laki-laki berumur tiga tahun yang tertembak dalam peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA). Peristiwa itu terjadi ketika pasukan dari Detasemen Arhanud Rudal 001 Pulo Rungkon memuntahkan peluru secara merawak rambang ke arah kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa, dibarengi dengan serangan susulan oleh pasukan dari Batalyon 113, menewaskan puluhan orang.

Dari tengah bunga matahari mencuat secarik salinan potongan koran tua yang memperlihatkan seorang gadis kecil dipangku ibunya sembari memegang sejenis karton bertuliskan “Aceh Lon Sayang”. Kalimat tersebut dulu cukup populer, mewakili citra Aceh yang bermandikan darah akibat kekerasan yang dilakukan aparat sepanjang operasi militer.

Kedua perempuan yang sedang melukis itu adalah Arifa Safura dan Allyca Putri Anjani dan sama seperti kebanyakan orang yang datang ke tempat itu, keduanya mengenakan pakaian serba hitam. Hitam seakan dijadikan sebagai bentuk perlawanan terhadap peringatan MoU Helsinki yang diprakarsai instansi pemerintah.

Peringatan Hari Damai yang digagas oleh KontraS Aceh x Bersabtu Kita Teguh terasa kental dengan atmosfer perkabungan serta militerisme. Hal ini dapat dilihat dari beberapa foto yang menunjukkan korban penghilangan secara paksa serta situasi mencekam sewaktu unit-unit tempur militer Indonesia menjadikan Aceh sebagai wilayah untuk unjuk kekuatan sehingga mobil lapis baja sekalipun dapat leluasa masuk ke pelosok desa.

Sengaja mengajak anak muda sebagai enjin peringatan hari damai Aceh kali ini, KontraS Aceh x Bersabtu Kita Teguh hendak menerabas watas-watas sejarah yang selama ini menyekat generasi kelahiran di atas tahun 2000-an. Lebih tepatnya pelanggaran hak asasi manusia seperti apa yang terjadi di provinsi paling utara pulau Sumatera itu pada tahun-tahun sebelum mereka lahir.

"Banyak dari kalangan anak muda yang masih kurang dalam mempelajari tentang masa-masa konflik masa Aceh di masa kelam," ujar Rian, salah satu mahasiswa yang hadir serta berkesempatan bicara mewakili eranya di dalam perhelatan bertajuk Podcast Khalayak Warung Kopi Rakyat Aceh itu.

Karena pengetahuan tentang pelanggaran HAM di Aceh dan pelanggaran HAM lain yang pernah terjadi tidak diajarkan di sekolah, sejarah masa lalu tak pernah diteruskan atau sampai ke tangan generasi kiwari, setidaknya secara utuh. Walhasil, lahirlah generasi yang terputus sama sekali dengan sejarah yakni mereka yang ditakutkan akan membuat anak-anak ini berpikir bahwa kronik di negara ini berjalan nirmala.

"Rupanya banyak sekali korban pelanggaran HAM berjatuhan dan masyarakat sipil adalah masyarakat yang paling dirugikan," kata Rian.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pentingnya Pengungkapan Kebenaran

Sementara itu, menurut Rozhatul Valica dari KontraS Aceh, kondisi ketika generasi kekinian terputus dari pengetahuan kekerasan yang terjadi pada masa lalu secara otomatis akan menimbun berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi waktu itu. Padahal, konflik yang terjadi di Aceh masih menyisakan dampak secara mental hingga saat ini, kata dia.

Rozhatul mencontohkan fenomena ketika anak-anak di Aceh menggandrungi permainan perang-perangan, kebiasaan melontarkan kalimat-kalimat bernada ancaman yang mendekati kultur kekerasan ala militer. Bahkan kegiatan ospek di kampus yang cenderung juga berwatak militer.

“Rata-rata, perceraian tertinggi, KDRT tertinggi itu ada di yang dulunya daerah merah pada zaman konflik. Artinya, itu reinkarnasi atas pemulihan yang enggak pulih. Jadi kawan-kawan jangan menganggap bahwa, kan enggak perang lagi, enggak ada senjata lagi, artinya enggak ada dong yang harus dipulihkan,” ujar dia.

Menurut Rozhatul, tamsilan yang tepat untuk menggambarkan situasi Aceh pada saat ini ialah seperti luka yang tampak baik-baik saja di luaran karena telah dibalut dengan perban padahal di dalamnya tersimpan borok penuh nanah.

Serampak gendang dengan pernyataan tersebut, Wakil Koordinator KontraS Aceh, Fuadi Mardhatillah menggarisbawahi pentingnya pengungkapan kebenaran terkait peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Ia mengingatkan adanya keterkaitan antara kekerasan yang terjadi hari ini dengan akar kekerasan dari masa lalu.

"Ketika tidak ada akuntabilitas untuk apa yang sudah terjadi di masa lalu, siapa sih pelaku pembunuhan, siapa sih orang-orang yang menghilangkan masyarakat sipil, siapa yang memperkosa, siapa yang kejahatan HAM segala macam, jika itu enggak dibuka, jika tidak ada pengungkapan kebenaran, jika tidak ada pemulihan terhadap korban maka semuanya akan berulang lagi. Kekerasan terhadap masyarakat sipil ini akan berpindah dalam bentuk yang lain,” kata Fuadi.

Ketua Komisi V DPR Aceh M. Rizal Falevi Kirani didampingi Ketua Umum SIRA juga anggota DPRA Muslim Syamsuddin sempat ikut duduk meriung beberapa saat di dalam kegiatan Warung Kopi Rakyat Aceh tersebut. Dalam pernyataan singkatnya, Rizal Falevi menegaskan pentingnya merawat perdamaian yang berkeadilan.

“Sehingga semua tidak tersakiti, semua kita dapat menyampaikan aspirasi, kebebasan adalah menyuarakan aspirasi sehingga ketidakadilan itu betul-betul kita berantaskan bersama,” ujar Rizal Falevi.

Warung Kopi Rakyat Aceh dibuka dengan lagu Gugur Bunga yang dinyanyikan secara kor. Ditutup dengan pembacaan Kobar Api di Bulan Juni, salah satu cerita yang terjadi pada masa konflik Aceh dikutip dari buku Kebenaran untuk Anak Cucu, berbalut petikan gitar akustik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini