Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan jilbab Paskibraka dalam peringatatan HUT RI 2024 sempat menjadi polemik. Pasalnya perempuan pasukan pengibar bendera itu diminta melepaskan jilbabnya demi keseragaman. Belakangan Kepala Badan pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang membawahi Paskibraka meminta maaf atas polemik jilbab paskibraka yang terjadi. Kebijakan terakhir, anggota Paskibraka perempuan boleh memakai jilbab saat bertugas.
"BPIP juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia atas pemberitaan yang berkembang, terkait dengan berita pelepasan jilbab bagi Paskibraka Putri Tingkat Pusat Tahun 2024 yang menghiasi pemberitaan," kata Yudian, Kamis (15/8/2024) kemarin.
Sebelumnya polemik soal pelepasan jilbab anggota Paskibraka direspons banyak orang, salah satunya akademisi dari Universitas NU Neng Dara Affiah. Seperti dikutip dari laman NU online, Jumat (16/8/2024), Neng Dara mengatakan, pelepasan jilbab itu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Neng Dara juga memastikan penggunaan jilbab oleh anggota Paskibraka tidak sama sekali mengganggu jalannya kegiatan Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Republik Indonesia (RI). Secara tegas dirinya menyampaikan, semua bentuk diskriminasi kepada perempuan harus ditolak.
Advertisement
"Kalau keberagaman misalnya yang penting itu mereka, bajunya, warnanya apa modelnya seperti apa? Kalau tidak bertabrakan dengan model-model yang ditetapkan dan hanya ditambahkan dengan memakai jilbab itu ya kenapa harus dipersoalkan? Terlebih penggunaan jilbab juga tidak mengganggu apa pun," katanya.
Neng Dara juga mengatakan, penggunaan jilbab juga sudah dilakukan di berbagai institusi, seperti di Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Perempuan menggunakan jilbab dalam melaksanakan tugas juga tidak menjadi persoalan yang harus dibahas.
"Sebenarnya sudah dipraktikkan oleh berbagai institusi, misalnya perempuan TNI dan Polri yang memakai jilbab. Jadi sebenarnya di berbagai institusi penting kita sudah biasa menyaksikan perempuan pakai jilbab, jadi semestinya nggak usah ada perdebatan lagi," katanya.
Neng Dara Affiah menekankan bahwa penggunaan jilbab merupakan ekspresi perempuan dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Â
Paskibraka Perwakilan Aceh Sempat Ingin Menarik Diri?
Isu adanya perintah pelepasan jilbab demi keseragaman Paskibraka juga direspons perwakilan Aceh. Bahkan ada selentingan perwakilan Aceh akan menarik diri dari Paskibraka HUT RI 2024. Namun kabar itu ditampik Kabid Ideologi Kesbangpol Aceh, Munarwansyah. Kepada Liputan6.com, Kamis (15/8/2024), dirinya memastikan Paskibraka perempuan perwakilan Aceh tetap menjalankan tugas karena sudah dipastikan tetap menggunakan jilbab.
"Benar memang pada saat pengukuhan. Tetapi ini sudah clear semua, nanti mana pengibaran bendera sudah clear sudah banyak berita dari sekretariat presiden, dari BPIB sendiri nanti akan mengenakan jilbab pada pelaksanaan upacara nanti. Jadi enggak ada persoalan lagi. Sudah selesai," tegas Munawansyah.
Terkait polemik ini, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi sendiri secara terbuka telah melayangkan permohonan maaf. Sesuai arahan Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres), Heru Budi Hartono, anggota Paskibraka wanita tak perlu melepas hijab dalam upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI tanggal 17 Agustus nanti.
"Dan pak gubernur sudah menyampaikan statementnya, kita baca semua dari media statement pak gubernur semua pihak menghargai kekhususan Aceh, itu saja," imbuh Munarwansyah.
Penggunaan jilbab bagi masyarakat Aceh sudah menjadi kewajiban. Dalam kehidupan sehari-hari saat berada di luar rumah, perempuan Aceh pasti mengenakan jilbab, dan ini sudah menjadi ciri khas di Aceh yang sama sekali tidak mengganggu segala aktivitas. Jika kembali ke zaman perjuangan kemerdekaan, bahkan banyak pahlawan dari Aceh yang datang dari kaum perempuan, yang turut serta berjuang di medan pertempuran fisik. Salah satunya sebut saja Laksamana Keumalahayati.
Keumalahayati merupakan perempuan asli Aceh kelahiran 1 Januari 1550, dan menjadi satu di antara beberapa singa betina dari Tanah Rencong yang bernyali besar, selain Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia yang melawan kolonialisme. Terlahir dengan nama Keumalahayati, ia berasal dari keluarga pengarung samudra berdarah biru.
Seperti tertulis di dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan disebutkan bahwa ayah Keumalahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Keumalahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada tahun 1530 sampai 1539.
Masa remaja Keumalahayati dijalani di dalam lingkungan istana, termasuk mengikuti pendidikan di akademi militer matra angkatan laut kesultanan yang dikenal sebagai Mahad Baitul Maqdis. Pada usia sekitar 35 tahun, kira-kira tahun 1585, Malahayati dipercayakan untuk mengepalai Barisan Pengawal Istana Rahasia dan menjabat sebagai Panglima Protokol Pemerintah pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.
Perlawanan terhadap kolonialisme Portugis pertama kali diinisiasi oleh Keumalahayati melalui sebuah pertempuran di perairan Teluk Haru, dekat Selat Malaka pada tahun 1586. Suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga menjabat sebagai Kepala Pengawal Sultan, memimpin pertempuran tersebut. Armada perang Kesultanan Aceh berusaha menghentikan kapal-kapal perang Portugis. Meskipun armada perang Kesultanan Aceh berhasil mengusir Portugis, sayangnya suami Malahayati gugur dalam pertempuran tersebut.
Keumalahayati tidak bisa menerima kenyataan tersebut dan bersumpah untuk membalas dendam serta melanjutkan perjuangan suaminya. Posisi yang ditinggalkan oleh mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin kemudian diambil alih oleh Malahayati.
Sultan Riayat Syah memberikan Keumalahayati pangkat laksamana, menjadikannya perempuan pertama di dunia pada saat itu yang memegang pangkat tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam buku "Perempuan Keumala". Keumalahayati mengungkapkan rencana ambisiusnya kepada Sultan, yaitu membangun armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan.
Untuk meneruskan perjuangan sang suami, Keumalahayati memutuskan untuk membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan. Pasukan elite tersebut dinamakan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda.
Jumlah pasukannya pun tidak main-main, mencapai 2.000 orang. Mereka adalah para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Dengan berbekal kemampuan yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Keualahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang disegani.
Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya sebatas di perairan Selat Malaka saja, namun juga sampai ke pantai timur Sumatera dan Malaya.
Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin berisi pasukan perang dipimpin dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar. Bumi Serambi Makkah itu menjadi tujuan kesekian dari dua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya menyinggahi Banten, Madura, sampai ke Bali untuk berburu rempah-rempah.
Hanya saja, mereka selalu menemui perlawanan masyarakat setempat karena tabiat pasukan de Houtman bersaudara yang tak disukai. Hal serupa juga dialami saat mencapai Aceh Besar. Mereka tertahan di atas kapal di tengah laut karena tak dapat izin dari Sultan.
Â
Advertisement
Penaklukan Cornelis de Houtman
Laksamana Keumalahayati dan pasukan Inong Balee telah menunggu dan bersiaga. Sultan pun memerintahkan Laksamana Malahayati mengusir dua kapal Belanda tersebut. Pertempuran di tengah laut tak terelakkan.Â
Pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan dua kapal dagang itu. Dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Keumalahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis pun melayang di ujung rencong Malahayati.
Tak hanya cakap sebagai panglima perang di lautan, Keumalahayati juga dikenal sebagai juru runding yang piawai. Pemerintah Belanda mengajukan pembebasan para tawanan perang mereka yang ditahan pihak Kesultanan Aceh termasuk Frederik de Houtman.Â
Sultan pun mengutus Keumalahayati untuk maju ke meja perundingan menghadapi Belanda. Sebuah syarat pun diajukannya, yaitu Belanda harus membayar ganti rugi atas peperangan yang mereka timbulkan demi membebaskan prajurit-prajurit yang dipenjara.
Keumalahayati gugur pada tahun 1615 dan dikebumikan di sekitar bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Pada tanggal 9 November 2017, melalui Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan Keumalahayati sebagai Pahlawan Nasional.
Selain diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL), Keumalahayati juga dijadikan sebagai nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.Â
Â