Sukses

Sengkarut di Kampus Kiwari: Kesejahteraan, Sikap Apatis Dosen, hingga Perburuan Akreditasi

SPK mencatat masih banyaknya permasalahan tentang kesejahteraan dosen dan tenaga pendidik, standardisasi kelayakan, ekosistem yang tidak mendukung pengembangan pendidikan, dan hak-hak pekerja yang tereduksi.

Liputan6.com, Bandung - Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengabarkan masalah-masalah yang kini terjadi di lingkungan kampus, dari mulai problem kesejahteraan hingga sikap arogansi elite kampus yang mereduksi hak asasi para pekerja.

Ketua Umum SPK, Dhia Al Uyun menyampaikan, permasalahan kesejahteraan dosen dan tenaga pendidik menjadi salah satu hal yang mesti terus diperjuangkan.

"Menuntut pemerintah dan perguruan tinggi untuk berpihak pada hak-hak pekerja kampus dan menghapus segala bentuk peraturan, kebijakan, serta perilaku yang menghambatkesejahteraan pekerja kampus," katanya dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com.

Pada Agustus ini, dalam rangka peringatan satu tahun SPK, mereka telah menggelar diskusi untuk merefleksikan kembali perjuangan pemenuhan hak pekerja kampus.

Dalam acara yang dilangsungkan luring dan daring itu, katanya, sejumlah perwakilan anggota telah silih berbagi pandangan dan pengalaman di berbagai wilayah termasuk Jawa Barat.

"SPK mencatat masih banyaknya permasalahan tentang kesejahteraan dosen dan tendik, standardisasi kelayakan, ekosistem yang tidak mendukung pengembangan pendidikan, dan hak-hak pekerja yang tereduksi," kata Dhia.

"Kawan-kawan Jawa Barat melihat adanya sentimen negatif pada isu kesejahteraan pekerja kampus," lanjutnya.

Penelitian Upah

Merujuk penelitian SPK pada kuartal I/2023, mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3 juta. Gaji ini bahkan juga berlaku bagi mereka yang sudah mengabdi cukup lama hingga enam tahun ke atas.

"Ada perasaan luas di antara dosen bahwa mereka kurang dihargai dan bisa mendapatkan lebih banyak di tempat lain, yang mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam tugas dosen," ujar Fajri Siregar, anggota tim Litbang Serikat Pekerja Kampus, dalam pemberitaan Mei 2024 lalu.

Kondisi ini memaksa banyak dosen mengambil pekerjaan sampingan dan menghambat fokus mereka pada tugas utama serta berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. Parahnya, dosen di universitas swasta jauh lebih rentan terhadap gaji rendah, dengan peluang tujuh kali lebih tinggi untuk menerima gaji bersih kurang dari Rp 2 juta.

Penelitian tersebut juga memberikan data bahwa sekitar 61 persen responden yang terdiri dari dosen dan staf pengajar, merasa bahwa kompensasi yang mereka terima tidak sebanding dengan beban kerja dan kualifikasi mereka. Hal yang demikian pada akhir mempengaruhi performa pengajar di kampus.

Kondisi kesejahteraan dosen dan tenaga pengajar yang jauh dari layak tidak lepas dari kebijakan di tingkat struktural yang lebih tinggi. Hal ini diperparah oleh kesemrawutan tata kelola institusi tempat dosen bergantung.

Status lembaga seperti Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, Badan Layanan Umum, hingga Satuan Kerja mempengaruhi bagaimana kondisi dosen dan tenaga pengajarnya. Selain itu, status kepegawaian mereka, baik yang PNS maupun Pegawai Universitas, jadi faktor besar yang berpengaruh terhadap gaji yang mereka peroleh.

 

2 dari 2 halaman

Arogansi, Komersialisasi, Perburuan Akreditasi

Ketua Umum SPK, Dhia Al Uyun menyampaikan, terdapat pula berbagai konflik antara dosen dan elit kampus yang beriringan dengan berbagai karut-marutnya aturan hukum, Beban Kerja Dosen (BKD), dan tunjangan kinerja (tukin) dosen juga menjadi perhatian dalam diskusi SPK.

SPK mendapatkan laporan kasus pekerja kampus yang mengalami penahanan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), eksploitasi dalam kerangka program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), tukin tidak terbayarkan oleh negara, dan tersendatnya proses kenaikan jabatan fungsional guru besar akibat feodalisme kampus.

"Elit kampus semakin menunjukkan arogansinya dalam memaknai regulasi, sehingga menghilangkan penghormatan terhadap hak asasi pekerja kampus," sebut Dhia.

Dhia menyampaikan, SPK Jabodetabekjur melihat adanya penyelewengan orientasi Tridarma bidang pendidikan yang seakan-akan mewajibkan dosen, khususnya di perguruan tinggi swasta, untuk memberi nilai mata kuliah setinggi-tingginya. Fenomena ini hadir karena perguruan tinggi lebih mementingkan kuantitas mahasiswa dibandingkan kualitas lulusan.

Hal tersebut dinilai berkaitan dengan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan untuk mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya. Perburuan akreditasi atau peningkatan kampus menjadi world class university justru kerap memasung dosen untuk menuruti kepentingan kampus.

Dhia mengatakan, "para pekerja kampus terjebak dalam tekanan yang menghilangkan kebebasan akademiknya". Maka kiwari, sengkarut masalah dalam kampus mesti jadi kesadaran dan perjuangan bersama. Namun, Dhia mengakui, adanya sikap apatis diimbuhi ketakutan melakukan kritik, bahkan untuk bergabung dalam serikat pekerja.

"Beberapa rekan tenaga kependidikan mendapat arahan langsung dari pimpinan perguruan tinggi atau tepatnya larangan untuk terlibat dalam serikat pekerja kampus," aku Fhia.

Meski demikian, SPK beranggapan bahwa gerakan perjuangan dalam kampus tetap harus dilakukan secara kolektif. "Pengabdian dan relasi kuasa seringkali menjadi narasi untuk memaksakan upaya-upaya yang menjadikan pekerja tidak mungkin memperjuangkan haknya sendirian," katanya.

Dalam Setahun Berdiri

Serikat Pekerja Kampus yang telah hadir dalam setahun terakhir diaku mengalami peningkatan jumlah anggota secara pesat. Saat ini, SPK telah memiliki 570 anggota yang terdiri dari dosen, tendik, dan peneliti di perguruan tinggi, yang tersebar di 34 provinsi.

Pada tahun 2023, kenaikan jumlah anggota telah mencapai 30 orang per bulan dan pada tahun 2024 kenaikan anggota tiap bulan bisa mencapai hingga 100 orang.

Dalam peringatan setahun berdirinya SPK, perkumpulan dosen tendik perguruan tinggi itu menegaskan sejumlah peryataannya, yakni:

1. Mengecam segala bentuk arogansi, kesewenang-wenangan, dan pendisiplinan yang mengurangi dan/atau menghilangkan hak-hak pekerja kampus.

2. Menuntut pemerintah dan perguruan tinggi untuk berpihak pada hak-hak pekerja kampus dan menghapus segala bentuk peraturan, kebijakan, serta perilaku yang menghambat kesejahteraan pekerja kampus.

3. Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan, Komnas HAM, dan Ombudsman untuk mengawasidan menindak upaya-upaya yang mereduksi hak-hak pekerja kampus, termasuk hak berserikat.

4. Mengajak seluruh pekerja kampus untuk bersuara memperjuangkan hak dan kesejahteraan.