Sukses

100 Orang Lebih Guru Besar UGM Sebut Demokrasi Indonesia Alami Kemunduran

Lebih dari 100 orang Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyerukan kepada semua pemimpin lembaga negara agar selalu mendengar suara rakyat dan mencegah kemunduran demokrasi Indonesia.

Liputan6.com, Yogyakarta Sebanyak lebih dari 100 orang Guru Besar UGM menyikapi situasi politik nasional saat ini yang semakin mengarah kepada kemunduran demokrasi. Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UGM  M. Baiquni, mengatakan tanda kemunduran demokrasi di tanah air seperti pelemahan lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, dominasi elit partai politik dan pelemahan kontrol publik pada penyelenggaraan pemerintahan, serta pengabaian nalar dan nurani di berbagai praktek pembangunan. 

“Kita meminta pemimpin lembaga negara untuk mendengar suara rakyat yang menolak segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena tidak sesuai dengan demokrasi dan juga semangat reformasi," kata Baiquni dalam menyampaikan seruan pernyataan sikap lebih dari 100 Guru Besar UGM yang mendesak Demokrasi kembali ke Kedaulatan Rakyat, di kampus UGM, Minggu 25 Agustus 2024.

Daftar lebih 100 Guru Besar UGM yang mendukung penyampaian pernyataan sikap tentang kemunduran demokrasi ini, terdapat nama Guru Besar Fakultas Pertanian Masyhuri,   Guru Besar Fakultas Filsafat  Lasiyo, Guru Besar Fakultas Psikologi  Koentjoro, Guru Besar Fakultas Biologi  Endang Semiarti, Guru Besar Fakultas Peternakan  Ambar Pertiwiningrum, Guru Besar Fakultas Teknik  Wiendu Nuryanti, Guru Besar FIB , Guru Besar FK-KMK  Yodi Mahendradhata,  Guru Besar FEB  Ainun Naim,   Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan  Teguh Budi Pitoyo, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian  Eni Harmayani,   Guru Besar Fakultas Teknik   Selo,   dan Guru Besar Fisipol UGM  Sofian Effendi.

 

Sekretaris DGB UGM  Wahyudi Kumorotomo, mengatakan kemunduran demokrasi ini terlihat dari ketegangan yang terjadi di antara para elit politik di antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kondisi ini semangat para pemimpin politik lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek dan diri-sendiri ketimbang kepentingan rakyat  Indonesia.  

“Pemimpin negara seharusnya memikirkan kepentingan jangka negara dalam jangka panjang mengingat rakyat kita masih menghadapi kesulitan ekonomi dan ketidakpastian global,” jelasnya. 

Wahyudi menuturkan bahwa terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang kemudian ditanggapi secara reaktif oleh Badan Legislatif DPR yang hendak mengubah Undang-undang tentang Pilkada menunjukkan betapa instrumen perundangan sudah dijadikan sebagai alat untuk mengejar kepanjangan politik sempit dan jangka-pendek dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Situasi darurat ini, membuat Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyatakan sikap, menolak berbagai bentuk praktik pemilihan pemimpin di tingkat nasional dan daerah yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Selain itu menolak penggunaan instrumen politik yang menggunakan intimidasi, pengerahan aparat negara, penyebaran uang dan material, dan cara-cara dak terpuji lainnya yang mencederai berjalannya proses demokrasi yang beradab. 

“Kita ingin mendorong dan menuntut penyelenggaraan Pilkada yang bermartabat dan berkeadilan sesuai kaidah hukum yang benar dan adil,” katanya.

Para Guru Besar juga menyerukan agar para elit politik tidak menggunakan legitimasi palsu melalui proses pembuatan peraturan perundangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang bermartabat dan kedaulatan rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus tetap menjaga marwah dan prinsip sebagai penyelenggara Pilkada dengan berpegang teguh pada kesepakatan konstitusional seperti Keputusan Mahkamah Konstitusi.

Terakhir tentang kemunduran demokrasi ini, para Guru Besar UGM mengajak rakyat Indonesia untuk berkonsolidasi dan berpartisipasi aktif untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia, dengan menyampaikan seruan-seruan yang tetap memelihara keadaban.