Sukses

Ramai-Ramai Tolak Calon Kepala Daerah yang Abai Lingkungan

Sejumlah bencana sosial ekologis yang terjadi di banyak daerah akibat praktik ekonomi ekstraktif berbasis sumber daya alam, tidak lepas dari proses politik, salah satunya Pilkada

 

 

 

Liputan6.com, Jakarta - Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia akan segera digelar. Sebanyak 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia akan menentukan siapa pemimpin yang bakal diberikan mandat. Para elite politik dengan segala tindak-tanduknya mulai mengeluarkan jurus menggaet simpati warga. 

Yang perlu diingat, di alam demokrasi yang semakin terbuka, masyarakat perlu mencermati sebelum memilih calon pemimpinnya. Mengingat sejumlah bencana sosial ekologis yang terjadi di banyak daerah akibat praktik ekonomi ekstraktif berbasis sumber daya alam, tidak lepas dari proses politik, salah satunya Pilkada. Apalagi kepala daerah punya kewenangan memberi legitimasi, baik rekomendasi maupun izin usaha berbasis hutan dan lahan. 

Ongkos politik yang mahal dikhwatirkan malah memaksa para kontestan pilkada bermanufer dengan menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati rakyat. Singkatnya, pilkada rawan menjadi ajang politik transaksional untuk memperoleh ongkos politik dan menukarnya dengan komitmen legitimasi bagi pemilik usaha berbasis hutan ataupun lahan. 

Dari hal itu, proses politik berpotensi menjarah sumber daya alam di wilayah masyarakat adat dan masyarakat lokal di banyak daerah. Akibatnya, deforestasi dan degradasi lingkungan hidup yang disusul konflik sosial pra maupun pasca pilkada kerap mewarnai ruang hidup rakyat. Karenanya diperlukan komitmen calon kepala daerah untuk mau berpihak pada agenda keselamatan lingkungan hidup.

Contoh kasus sudah banyak terjadi di berbagai daerah. Sebut saja seperti bencana banjir, kebakaran hutan dan lahan, longsor, hingga puting beliung yang disebabkan perubahan iklim karena kebijakan lingkungan yang tidak memihak dari kepala daerah. 

 

Belum lagi konflik sosial yang kerap mengiringi praktik penyerobotan lahan akibat industri ekstraktif. Sumber daya alam kerap ditempatkan hanya sebagai komoditas, sementara warga malah diposisikan sebagai objek semata. Prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan (FPIC) kerap diabaikan dalam agenda atas nama pembangunan dan kesejahteraan. Jika tidak ada kepedulian serius calon kepala daerah terhadap lingkungan, maka masyarakat perlu menolaknya.

Hal ini yang kemudian dikampanyekan Direktur Walhi Kalbar Hendrikus Adam. Kepada Liputan6.com, Hendrikus mengatakan, pilkada yang akan dilaksanakan nanti perlu dipastikan tersedianya pemimpin yang komitmen terhadap pelestarian lingkungan. 

"Para (pimpinan) parpol tentu saja punya peran untuk memastikan hal ini. Bila tidak ada kepedulian calon kepala daerah, maka kepada siapa rakyat harus berharap jika kelak mereka terpilih tetapi tidak peduli pada lingkungan hidup, rumahnya sendiri?" katanya.

 

 

 

2 dari 2 halaman

Jangan Dukung Kepala Daerah yang Abai Lingkungan

Lebih jauh Hendrikus mengatakan, calon kepala daerah yang tidak punya komitmen terhadap pelestarian lingkungan tidak perlu didukung, karena akan berbahaya bagi keselamatan lingkungan hidup dan rakyat.

"Dengan tegas, kami menolak calon kepala daerah yang abai lingkungan hidup," katanya.

Untuk membuka mata masyarakat tentang pentingnya memilih kepala daerah yang peduli lingkungan, pihaknya akan melakukan tracking visi-misi kontestan dan mengumumkan hasilnya, agar publik mengetahui gagasan mereka soal lingkungan hidup.