Sukses

Hasil Penyelidikan Gerakan Tanah di Kecamatan Ratatotok Sulawesi Utara Terbit, Ini Penjelasan PVMBG Badan Geologi

Gerakan tanah yang terjadi di wilayah Desa Basaan II berupa rayapan yang bergerak lambat.

Liputan6.com, Bandung - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan hasil penyelidikan gerakan tanah di Desa Basaan II Jaga I dan Jaga II, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara.

Menurut Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, Priatin Hadi Wijaya di dua desa tersebut terdapat 4 lokasi gerakan tanah antara lain lokasi pertama pada areal permukiman yang secara geografis terletak pada koordinat 0,897781 LU dan 124,743871 BT.

"Gerakan tanah terjadi pada tanggal 31 Mei 2024 dan masih berkembang sampai pada saat penyelidikan terutama setelah hujan dengan durasi yang lama," ujar Hadi ditulis, Bandung, Selasa (27/8/2024).

Pada lokasi 2 di sebelah Barat Laut dekat bangunan rumah kepala desa yang secara geografis terletak pada koordinat 0,897921 LU dan 124,743805 BT. Hadi menerangkan gerakan tanah terjadi sejak tahun 2022.

Sedangkan lokasi 3 berada di bagian Selatan lokasi pertama dekat areal pemakaman yang secara geografis terletak pada koordinat 0,896336 LU dan 124,744196 BT.

"Gerakan tanah terjadi pada tanggal 31 Mei 2024 dan masih berkembang sampai pada saat penyelidikan terutama setelah hujan dengan durasi yang lama," kata Hadi.

Untuk lokasi terakhir terjadi pada jalan nasional yang secara geografis terletak pada koordinat 0,896313 LU dan 124,742929 BT. Gerakan tanah di loaksi ke empat itu sudah terjadi sejak tahun 2009 dan terus berkembang terutama pada saat musim hujan.

Hadi menjelaskan gerakan tanah yang terjadi di wilayah Desa Basaan II berupa rayapan yang bergerak lambat.

"Lokasi 1 yang berada pada areal pemukiman muncul retakan pada permukaan tanah serta amblasan sedalam 70 cm. Retakan tersebut berarah N 120° E dan memanjang sepanjang 190 meter membentuk tapal kuda. Arah longsoran N 7° E atau relatif ke arah utara. Berdasarkan analisis fotogrametri luas area yang terdampak adalah 1,2 Ha," ungkap Hadi.

Sementara lokasi 2 yang berada di sebelah barat lokasi 1 muncul retakan sepanjang 90 meter pada areal kebun campuran dan semak belukar.

Hadi mengatakan arah longsoran pada lokasi 2 adalan N 16° E atau relatif ke arah utara-timur laut. Luas area yang terancam adalah 2.500 m2.

"Lokasi 3 yang berada pada punggungan yang berbeda dengan lokasi 1 dan lokasi 2 muncul retakan pada permukaan tanah, jalan serta sebagian bangunan warga setempat sepanjang 200 meter," tutur Hadi.

Retakan ini membentuk tapal kuda dengan arah longsoran N 140° E atau relatif ke arah tenggara yang mengarah ke areal pemakaman. Area yang terancam seluas 7.200 m2.

Lokasi terakhir muncul retakan pada jalan nasional dan kebun campuran sepanjang 210 meter. Arah longsoran pada lokasi 4 adalah N 143° E atau relatif ke arah tenggara.

"Pada saat penyelidikan, retakan pada jalan telah ditutup aspal. Luas area yang terancam 6.000 m2," ucap Hadi.

 

2 dari 5 halaman

Penyebab Terjadinya Gerakan Tanah

Gerakan tanah yang terjadi di Desa Basaan II merupakan jenis rayapan yang bergerak secara lambat. Ketika hujan turun, air meresap ke dalam tanah penutup yang memiliki sifat mudah meloloskan air.

Sistem drainase yang kurang kedap serta mengarah menuju retakan menyebabkan air terus meresap melalui retakan-retakan tersebut, sehingga meningkatkan kadar air dan beban massa tanah.

"Peningkatan beban ini menyebabkan penurunan kekuatan geser pada tanah," kata Hadi.

Dengan kemiringan lereng yang bervariasi dari landai hingga agak terjal, tanah yang telah jenuh dan kekuatan gesernya menurun tersebut menjadi lebih mudah bergerak ke arah luar lereng, dengan ditandai munculnya sejumlah retakan yang berkembang menjadi lebih besar dan membentuk tapal kuda mengikuti kontur. Gerakan tanah ini termasuk kedalam gerakan tanah tipe rayapan.

Secara umum faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di daerah penyelidikan antara lain adalah tanah pelapukan yang memiliki karakteristik mudah luruh dan permeabel (mudah meloloskan air) berada di atas tuf yang masih segar (kompak) sehingga lebih kedap air.

Batas antara keduanya diperkirakan sebagai bidang gelincir, di mana pergerakan tanah sering kali terjadi.

"Ketika air meresap ke dalam tanah, batas antara lapisan tuf yang lapuk dan segar ini menjadi licin, meningkatkan risiko longsoran," ucap Hadi.

Hadi menambahkan kemiringan lereng yang landai hingga agak terjal mengakibatkan tanah mudah bergerak.

Hal itu ditambah sistem penataan air permukaan (drainase) yang kurang baik, menyebabkan air menggenang dan meresap ke dalam tanah, menambah berat dan mengurangi stabilitasnya.

"Curah hujan tinggi dengan durasi yang cukup lama (2-3 hari) sebelum terjadinya gerakan tanah sebagai pemicu gerakan tanah, menyebabkan tanah menjadi jenuh dan berat," tambah Hadi.

 

3 dari 5 halaman

Rekomendasi PVMBG

Mengingat curah hujan yang diperkirakan masih tinggi dan masih terdapatnya potensi gerakan tanah akibat terdapatnya retakan dan nendatan, sejumlah rekomendasi diterbitkan oleh PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM. Diantaranya:

- Masyarakat yang tinggal dan beraktifitas serta pengguna jalan di lokasi bencana agar meningkatkan kewaspadaan terutama pada saat hujan.

- 11 bangunan yang rusak di lokasi 1 agar direlokasi ke tempat yang lebih aman, dikarenakan berada pada tubuh longsoran.

- Perbaiki bangunan yang rusak di lokasi 3 (areal pemakaman) dan lokasi 4 (dekat jalan nasional). Untuk saat ini bangunan yang rusak dan terancam di lokasi 2, 3 dan 4 dan masih dapat ditempati, namun penghuni atau/dan masyarakat agar selalu melakukan pemantauan menerus terhadap perkembangan retakan. Jika terjadi pekembangan yang menerus pada retakan yang telah ada dan muncul rembesan air baru atau hilangnya mata air lama atau ada perubahan mata air dari bening menjadi keruh agar segera mengungsi dan melaporkan ke Aparat Pemerintah Daerah setempat. Jika retakan terus berkembang dan meluas, maka bangunan tersebut sebaiknya direlokasi ke tempat yang lebih aman.

- Karena gerakan tanah yang terjadi merupakan tipe rayapan, maka bangunan panggung atau kontruksi yang ringan akan lebih aman digunakan dibanding bangunan permanen; bangunan ringan yang ada di lokasi bencana agar dipertahankan.

- Jika ada tanda-tanda retakan tanah dan muncul retakan baru, segera diisi dengan tanah liat dan dipadatkan untuk memperlambat masuknya air kedalam tanah. Aktivitas ini agar dilakukan dengan selalu memperhatikan kondisi cuaca dan faktor keselamatan.

- Lakukan penataan sistem drainase dengan menggunakan saluran yang kedap air, normalisasi saluran air yang tersumbat, dan pengalihan aliran drainase atau selokan menjauhi retakan.

- Tanam dan pertahankan vegetasi dengan akar yang kuat dan dalam untuk menahan tanah.

- Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat untuk lebih mengenal dan memahami gerakan tanah dan gejala-gejala yang mengawalinya sebagai upaya mitigasi bencana gerakan tanah.

- Masyarakat setempat dihimbau untuk selalu mengikuti arahan dari pemerintah daerah setempat dalam penanganan bencana gerakan tanah.

Dampak gerakan tanah tersebut berakibat:

- Lokasi 1:11 bangunan rusak. Jalan desa rusak sekitar 50 meter dan amblas sekitar 75 cm pada bagian mahkota/retakan utama dan 4 bangunan terancam.

- Lokasi 2:Satu bangunan rusak. Pada saat penyelidikan, bangunan telah dibongkar (relokasi) serta tiga bangunan terancam.

- Lokasi 3:Dua bangunan rusak, empat bangunan terancam.

- Lokasi 4:Jalan nasional retak. Pada saat penyelidikan, jalan telah diaspal kembali. Satu bangunan rusak pada bagian belakang (dapur) dan dua bangunan terancam.

 

4 dari 5 halaman

Kondisi Daerah Bencana

Menurut samting secara umum kondisi (morfologi) Desa Basaan II berupa perbukitan berelief sedang-agak kasar. Lokasi bencana berada pada punggungan perbukitan tersebut.

Lokasi 1 dan lokasi 2 berada pada punggungan yang sama memiliki kemiringan lereng 6°-17° atau lereng landai,agak terjal dan terletak pada ketinggian 28-34 meter diatas permukaan laut (mdpl).

"Lokasi 3 memiliki kemiringan lereng 8° atau lereng landai dan terletak pada ketinggian 38 meter diatas permukaan laut (mdpl), sedangkan lokasi 4 memilki kemiringan lereng 12° atau lereng agak terjal dan terletak pada ketinggian 55 meter diatas permukaan laut (mdpl)," ujar Hadi.

Secara geologi lanjut Hadi, berdasarkan pengamatan di lokasi bencana, Desa Basaan II tersusun oleh batuan dasar berupa tuf serta setempat terdapat pecahan batu apung, yang sebagian besar telah mengalami pelapukan dengan ketebalan lapisan pelapukan kurang dari 1 meter.

Tanah hasil pelapukan ini memiliki sifat yang tidak kompak (loose) dan mudah luruh ketika terkena air. Batuan dasar ini dapat disamakan dengan satuan Tufa Tondano (QTv) yang tercantum dalam Peta Geologi Lembar Manado, Sulawesi Utara (Effendi dan Bawono, 1997).

"Satuan ini merupakan klastika kasar gunungapi yang berkomposisi andesit, tersusun dari komponen menyudut hingga menyudut tanggung, tercirikan oleh banyak pecahan batuapung; batu apung lapili, breksi, ignimbrit sangat padat, berstruktur aliran," tutur Hadi.

Endapan piroklastika ini diperkirakan berasal dari letusan hebat pada waktu pembentukan Kaldera Tondano.

Di lokasi 3 dibagian bawah ditemukan batugamping yang kemungkinan berasal dari satuan batugamping Ratatotok (Tml).

 

5 dari 5 halaman

Kondis Keairan

Kondisi keairan di sekitar lokasi gerakan tanah di wilayah Desa Basaan II ini cukup baik dan melimpah pada musim hujan.

Sistem drainase yang tidak kedap air dan kurang tertata menyebabkan air permukaan dari pembuangan permukiman dan air hujan tidak terkendali dan meresap ke dalam tanah.

"Memanfaatkan mata air yang dialirkan melalui pipa/selang untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari," sebut Hadi.

Menurut informasi warga setempat, kedalaman air tanah disekitar lokasi bencana cukup dangkal sekitar 4-5 m. Pada daerah bencana terlihat beberapa saluran air yang mengalir cukup deras.

Sementara tata guna lahan di Desa Basaan II dan sekitarnya meliputi berbagai jenis penggunaan lahan, termasuk area pemukiman, semak belukar, dan kebun campuran.

"Di wilayah ini juga terdapat jalan nasional yang terjadi retakan," jelas Hadi.

Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Provinsi Sulawesi Utara (PVMBG), daerah penyelidikan masuk ke dalam zona kerentanan gerakan tanah rendah, artinya daerah yang mempunyai tingkat kerentanan Rendah untuk terjadi gerakan tanah.

Umumnya pada zona ini jarang terjadi gerakan tanah jika tidak mengalami gangguan pada lereng, dan jika terdapat gerakan tanah lama, lereng telah mantap Kembali.

"Gerakan tanah berdimensi kecil mungkin dapat terjadi, terutama pada tebing lembah (alur) sungai," tukas Hadi.