Sukses

Cerita dari Baduy Dalam, Konsisten Pegang Teguh Adat dan Tradisi

Satu hal yang barangkali perlu kita sepakati ketika melihat msyarakat Baduy Dalam adalah tidak melihatnya dari sudut padang masyarakat modern, tidak dilihat dari kaca mata orang luar.

Liputan6.com, Serang - Jembatan bambu itu adalah batas terakhir penggunaan kamera. Pengumuman yang terpasang pada pohon tepat di samping jembatan yang berbunyi 'Setelah melewati jembatan ini tidak diperbolehkan lagi dokumentasi atau menggunakan gadget'.

Ya, inilah jembatan yang menghubungkan Baduy Luar dan Baduy Dalam, tempat dimana bermukimnya salah satu masyarakat adat yang terkenal dengan keteguhannya memegang adat dan tradisi. Di Baduy Dalam, dokumentasi tidak lagi diperkenankan, demikian aturan adat yang harus dipatuhi oleh siapapun.

Setelah menyeberangi jembatan bambu yang membentang di atas Sungai Ciujung, saya dihadapkan pada sebuah tanjakan yang curam dan panjang, mereka menyebutnya Tanjakan Tambayang. Tanjakan ini pada dasarnya tidak kalah curam dengan tanjakan yang sebelumnya ada di perkampungan Baduy Luar. Hanya saja, di sekitar tanjakan ini tidak lagi terlihat atap-atap rumah maupun saung.

Angin bertiup lembut menerpa wajah yang basah oleh keringat. Tanjakan itu seperti memaksa setiap orang yang melaluinya untuk sejenak mengistirahatkan kaki dan kembali mengatur nafas. Wajar saja, perjalanan itu itu sudah dimulai sejak sekitar tiga jam sebelumnya, dengan menyusuri hutan, sungai, lembah, bukit dan perkampungan untuk menuju Baduy Dalam.

Di arah barat, tepat di hadapan saya berhenti, matahari perlahan mulai turun, bias kekuningan menggantung di puncak bukit. Sayangnya, momen tersebut hanya bisa diabadikan dalam ingatan, lantaran penggunakan perangkat elektronik, termasuk kamera sudah tidak lagi diizinkan.

Perjalanan menuju Cibeo, salah satu dari tiga kampung yang ada di Baduy Dalam (selain Cikeusik dan Cikertawana) sudah tidak lagi sesulit sebelumnya. Rata-rata jalan yang dilalui sudah cenderung landai disertai turunan, sekalipun pada beberapa bagian juga terdapat tanjakan yang tidak begitu berarti. Sarmali, remaja 17 tahun yang hari itu berlaku sebagai salah satu pemandu lokal menyebutkan bahwa Cibeo sudah tidak lagi jauh.

Keinginan untuk mengistirahatkan kaki yang sudah mulai mendekati batas kesanggupannya membuat saya terus mempercepat langkah. Berpacu dengan cahaya yang mulai gelap lantaran matahari perlahan mulai turun ke peraduannya, ditambah dengan jejeran pepohonan tinggi dan rimbun.

Suara langkah kaki ditingkahi oleh nanyian tongeret yang bersembunyi di balik pepohonan. Tidak lama, akhirnya saya sampai pada jembatan terakhir. Dari kejauhan, terlihat asap tipis membumbung dari celah atap-atap rumbia, anak-anak bertelanjang kaki berlarian dengan kawan sebayanya, itulah Cibeo, perkampungan masyarakat Baduy Dalam tempat saya akan menghabiskan malam tanpa penerangan, listrik, gadget dan segala perangkat elektronik lainnya.

2 dari 4 halaman

Bincang Malam dan Segala Cerita Tentang Hidup

Dipandu Arjo, tour leader yang memandu kami sejak awal memasuki perkampungan Baduy dari kawasan Terminal Ciboleger Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, diskusi malam itu dimulai. Berada di bawah bayang-bayang lampu damar, kami duduk melingkar di imah (sebutan rumah bagi masyarakat Baduy) milik Kang Jali.

Sekalipun berada dalam cahaya yang remang, akan tetapi antusiasme terlihat jelas dari setiap mata peserta yang sejak awal berada dalam satu rombongan open trip untuk berwisata di Baduy Dalam. Lebih dari setengah peserta yang berjumlah 18 orang dalam perjalanan tanggal 24-25 Agustus itu menunggu untuk mendengar segala cerita tentang Baduy langsung dari masyarakat asli Baduy Dalam.

Pembuka diskusi, Arjo yang akrab disapa Jojo itu mulai menjelaskan secara ringkas tentang siapa masyarakat Baduy yang juga kerap dikenal dengan sebutan Urang Kanekes tersebut. Sepanjang penjelasannya, tentu saja “kesederhanaan” menjadi semacam kata kunci dari kehidupan masyarakat Baduy Dalam.

Misalnya saja, mengapa masyarakat Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian berwarna putih atau hitam? Atau mengapa rumah-rumah dibangun dengan menggunakan bambu, alih-alih membuat bangunan permanen yang mampu bertahan lebih lama?

“Karena hitam melambangkan malam, dan putih melambangkan siang,” Kang Jali yang duduk bersandar di dinding menimpali ketika saya mencoba bertanya terkait pakaian yang sehari-hari mereka gunakan.

Pria berusia 42 tahun ini menuturkan, perkara berpakaian sudah diatur dalam adat, sebuah aturan yang harus mereka patuhi karena sudah berlangsung lama dan turun temurun. Aturan penggunaan pakaian ini kemudian menjadi salah satu pembeda antara masyarakat Baduy Dalam dan Luar, dimana Baduy Luar tidak mutlak terikat pada aturan tersebut dan boleh mengenakan warna lain.

Berbicara tentang adat, perbincangan kami mulai menjurus pada bagaimana adat dan tradisi di Baduy Dalam mampu bertahan? Barangkali, hal ini akan menjadi pertanyaan besar bagi setiap orang yang baru mengenal Baduy dari informasi yang tesebar di buku maupun di internet. Bagi masyarakat urban, tentu saja hidup tanpa listrik, jaringan internet, media elektronik, tidak mengenakan alas kaki, hanya berpakaian dengan dua jenis warna, dan tidak menenggunakan teknologi transportasi adalah sebuah keniscayaan.

Toh pemadaman listrik atau jaringan internet yang terputus beberapa jam saja sudah membuat mereka serasa kembali ke zaman purba. Akan tetapi, masyarakat Baduy sampai sekarang masih hidup dan bertahan dengan itu semua, sekalipun kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tersebut bisa mereka dapatkan.

Satu kata kunci lain yang saya petik dari perbincangan malam itu adalah “konsistensi”. Konsisten atas aturan-aturan adat yang sudah ditetapkan, konsisten untuk terus menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada generasi penerus dan konsisten untuk terus merawat tradisi yang menjadi identitas dan bagian tak terpisahkan dari jati diri mereka.

Sekilas, saya teringat akan Rijal, remaja 16 tahun yang saya temui dalam perjalanan ke Kampung Cibeo. Rijal, seorang Baduy yang pernah sembilan kali berjalan kaki ke Jakarta itu memberikan jawaban tegas saat ditanyakan lebih memilih untuk menetap di Baduy Dalam atau di Jakarta.

“Saya lebih memilih di kampung, karena ini kampung saya!”, ujarnya.

Sebuah jawaban sederhana yang sebenarnya tidak sederhana. Bagaimana tidak, jawaban singkat itu sebenarnya punya penjelasan yang panjang dan sarat akan nilai. Keputusan untuk memilih bertahan di kampung halaman dengan keterbatasan fasilitas, tentu berangkat dari sebuah pemahaman akan nilai yang telah mengendap dalam diri setiap mereka.

Sederhananya, saya perpikiran bahwa penanaman nilai adat dan tradisi sebagai seorang Baduy sudah berhasil ditanamkan kepada anak-anaknya sebagai sebuah jati diri. Satu hal yang barangkali perlu kita sepakati ketika melihat msyarakat Baduy Dalam adalah tidak melihatnya dari sudut padang masyarakat modern, tidak dilihat dari kaca mata orang luar. Karena tentu saja yang terlihat hanya persoalan ketimpangan sosial.

Akan tetapi, sudut pandangnya perlu dirubah ke dalam kacamata masyarakat Baduy itu sendiri. Dimana, sebagai pemilik kebudayaan, mereka sudah merasa sudah cukup dengan segala yang ada. Kesederhanaan yang menjadi konsep hidup serta konsistensi dalam memegang adat dan tradisi, sudah membawa mereka untuk bertahan hingga masa sekarang.

3 dari 4 halaman

Kepercayaan, Kelahiran dan Kematian

Cibeo perlahan mulai sepi, aktivitas di luar rumah perlahan mulai berkurang, sebagian masyarakat maupun wisatawan sudah masuk ke dalam rumah dan bersiap menuju peraduan. Akan tetapi, pada salah satu rumah di antara 107 rumah tradisional itu masih berlangsung diskusi yang menarik. Belum terlihat adanya tanda-tanda mengantuk dari semua peserta yang ikut dalam perbicangan bersama Kang Jali.

Masyarakat Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, terutama Baduy Dalam yang 100 persennya menganut kepercayaan tersebut. “Setiap tahunnya kami melaksanakan puasa Kawalu,” kata Kang Jali. Puasa Kawalu adalah tradisi penyucian diri dan ritual adat Suku Baduy, dilakukan selama tiga bulan berturut-turut yang mengacu pada penanggalan mereka.

Pada kesempatan lain, mereka juga melakukan penanam padi secara massal, dimulai dengan ritual yang dipimpin oleh ketua adat. Pada prosesi ini juga dimainkan musik angklung yang hanya dimainkan khusus pada prosesi tersebut guna menyanjung Nyi Pohaci.

Sementara itu, hasil panen dari huma (ladang) nantinya akan disimpan pada lumbung yang mereka sebut dengan leuit. Menariknya, leuit pada masyarakat Baduy tidak berada di tengah-tengah kampung, melainkan di luar pemukiman, sebagai langkah antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan seperti kebakaran.

Sementara itu, setiap anak-anak yang lahir di Baduy Dalam ditangani oleh dukun kampung. Setiap ibu di Baduy melahirkan sendiri, sementara keluarga (terutama laki-laki) berada di luar rumah selama prosesi tersebut. Keberadaan seorang laki-laki di sekitar ibu melahirkan dianggap tabu, peran suami dalam hal ini adalah untuk memanggil penolong persalinan saat proses melahirkan atau pun setelah persalinan selesai.

Sementara itu, terkait kematian, di kawasan Baduy Dalam tidak akan pernah ditemukan kuburan beserta nisan. Bagi masyarakat Baduy, selepas tujuh hari meninggalnya seseorang, maka tanahnya akan diratakan dan mulai ditanami. Sebuah tradisi yang unik dan berbeda dari beragam tradisi pascakematian pada masyarakat adat lain yang ada di Indonesia.

“Tempat pemakaman sudah diatur untuk hanya berada di sisi barat kampung, jika dilihat tidak akan ditemukan satupun bekas pemakaman,” tutur Kang Jali.

Apakah ini adalah sebuah upaya agar mereka yang ditinggalkan tidak terus larut dalam kesedihan? Entahlah, jawaban itu hanya akan ada pada masyarakat Baduy itu sendiri.

Diskusi singkat malam itu terpaksa harus kami akhiri ketika satu persatu peserta mulai menguap. Waktu baru menunjukkan pukul 21.00 WIB, akan tetapi rasa lelah setelah berjalan selama lebih kurang lima jam untuk menuju Kampung Cibeo mulai menuntut kami untuk merebahkan badan. Sunyinya malam di bawah penerangan seadanya seketika membuat semua tertidur pulas.

4 dari 4 halaman

Meninggalkan Baduy, Tempat Belajar Kesederhanaan Hidup

Waktu baru menujukkan pukul 06.00 WIB ketika rumah berlantai bambu itu bergoyang setiap orang berjalan di dalamnya. Setelah beranjak keluar rumah, susasana desa seperti yang dideskripsikan dalam buku-buku cerita terpampang di hadapan mata. Di antara rumah-rumah yang tersusun rapi, anak-anak kecil yang tentu saja berpakaian hitam dan putih berlarian, beberapa perempuan terlihat menggendong bayi mereka di teras rumah.

Sejumlah laki-laki mulai bergerak keluar kampung. Sebagaimana masyarakat Baduy pada umumnya, mereka mengenakan baju sederhana yang disebut jamang kurung, sarung hitam bermotif garis putih vertikal sebatas lutut yang disebut samping, serta ikat kepala berwarna putih yang bernama telukung.

Di bahu mereka tersampir sebuah kain yang disebut gandongan, fungsinya serupa tas, tempat meletakkan barang-barang atau pun perlengkapan yang mereka butuhkan selama bekerja di ladang.

Asap membumbung dari setiap rumah, pertanda pemiliknya sedang menghidupkan api di tungku, entah sekedar memasak air, atau pun memasak makanan untuk disantap pagi itu. Di tepi kampung, embun menggantung tipis di pucuk pepohonan. Ayam-ayam berkeliaran di pekarangan, sementara sebagian perempuan menyapu halaman mereka dengan sapu dari lidi pohon enau. Sakali lagi, sayangnya pemandangan itu hanya bisa terekam dalam ingatan. Kamera yang sejak kemaren sudah memotret beragam aktivitas masyarakat Baduy Luar terpaksa harus beristirahat sejenak.

Pagi itu, setelah sarapan, kami harus bergerak menuju Baduy Luar. Meninggalkan segala potret kesederhanaan dan konsistensi sekelompok masyarakat adat dalam menjaga adat dan tradisi mereka. Setelah mencicip sarapan yang disiapkan istri Kang Jali, kami mulai bersiap untuk berangkat.

Mengingat perjalanan yang pasti akan menguras keringat, saya mengurungkan niat untuk mencoba mandi pada sungai yang melintas di tepi kampung, di mana jika mandi di Baduy Dalam tidak boleh menggunakan sabun, melainkan honje yang tumbuh di ladang atau pun hutan sekitar perkampungan.

Untuk perjalanan pulang, kami memilih rute Cijahe. Berbeda dengan rute dari Ciboleger, rute menuju Cijahe lebih dekat dan tidak perlu melewati tanjakan yang berarti. Seperti kemarin, kami kembali dipandu oleh pemandu lokal, yaitu Kang Jali dan Kang Sarta.

Selain mereka, tentu saja dua anak Kang Jali, yaitu Sarmali dan Jarta yang baru berusia 17 dan 12 tahun juga ikut. Mereka tidak hanya sekedar pemandu, akan tetapi juga menjadi porter serta teman perjalanan yang asik untuk menempuh berjam-jam perjalanan yang melelahkan.

Setelah melewati jembatan kayu yang juga berada di atas Sungai Ciujung, saya kembali merasa pindah ke dimensi lain, tempat dimana saya bisa menggunakan gawai sepuasnya, membalas pesan whatsapp, menelepon, berswafoto dan kembali bebas menggunakan kamera untuk mengabadikan setiap momen sepanjang perjalanan.

Akan tetapi, bagi “teman-teman” Baduy, hal itu hanyalah hal biasa. Hanya seperti sekedar melintasi jembatan, melewati tanjakan, atau sekedar melintasi sungai. Ya, hanya sekedar berpindah tempat, bukan berpindah dimensi dan sebagainya.

Penulis: Syahrul Rahmat/ Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau

Video Terkini