Liputan6.com, Cirebon - Ismail Marzuki hanya bisa mengelus dada sambil menyeka keringat di tengah panen hasil tambak garamnya Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon.
Panen raya seakan menjadi mimpi buruk baginya maupun rekan sesama penambak garam Cirebon yang lain. Hingga panen saat ini, harga jual garam justru semakin anjlok.
Padahal, musim kemarau panjang idealnya menjadi berkah bagi penambak garam Cirebon khususnya Desa Rawaurip Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon.
Advertisement
Baca Juga
"Harganya terus anjlok, sekarang hanya Rp400 /kg dan informasinya bakal turun lagi," keluh Ismail, Kamis (5/9/2024).
Sejak pagi buta, ratusan penambak garam di Desa Rawaurip sudah berangkat ke lahan garam mereka, untuk mengais rezeki. Memenuhi kebutuhan ekonomi, setiap hari, di tambak garam yang sudah puluhan tahun jadi tumpuan.
Namun, harga jual garam terus anjlok sejak bulan Juni 2024. Ia menyebutkan, sebelumnya saat penambak belum banyak memanen garam harganya masih di angka Rp800 per kg.
Namun, harga itu tak bertahan lama karena penambak garam harus menerima harga di angka Rp700 per kg, Rp600 per kg dan saat panen raya sekarang kembali turun di angka Rp400 per kg.
"Harga Rp400 per kg pun masih belum bersih. Karena kami maupun petambak yang lain harus membayar upah kuli panggul atau orang setempat menyebutnya dengan istilah pocok," ujar Mail.
Ia menyebutkan, nilai upah untuk pocok yang membawa garam hasil panen dari lahan ke tempat penimbang sendiri, per karung ukuran 50 kg di harga Rp6.000 per kg sampai Rp7.000 per kg tergantung jarak.
"Kalau di blok sini upah untuk pocok perkarung enam ribu rupiah. Tapi kalau di blok lain yang agak jauh katanya sih tujuh ribu rupiah per karungnya," ungkap Wawan.
Peran Tengkulak
Hal sama dirasakan petambak garam lainnya, Sulaeman (41 tahun). Menurut dia, harga garam selama ini ditentukan oleh para tengkulak yang ada di wilayahnya.
Bahkan, mayoritas petambak sejak dulu punya sangkutan dengan para tengkulak, sehingga mereka mengharuskan menjual hasil panen mereka ke tengkulak yang bersangkutan.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena harga yang menentukan penimbang (tengkulak, Red). Sudah biasa kalau sudah banyak garam atau panen raya seperti sekarang ini, penimbang langsung menurunkan harganya," kata Sulaeman.
Menurut dia, penambak garam di daerahnya belum pernah merasakan harga yang tinggi saat panen raya tiba. Meski lima tahunan lalu, pernah harga garam di angka Rp4 ribu /kg, tetapi harga tersebut hanya berlaku saat musim penghujan dan stok garam di gudang milik penambak sudah habis.
Karena, pada saat itu, dua musim kemarau sebelumnya penambak tidak bisa memproduksi garam sebab cuaca yang tidak mendukung.
"Bahkan, pernah juga saat musim hujan itu harganya mencapai Rp 6.000 per kilogramnya, ya itu karena tidak ada garam, hanya beberapa stok garam di gudang milik penimbang saja saat itu. Tapi saat kembali memasuki musim kemarau dan kita sudah bisa produksi garam, harganya malah anjlok lagi seperti sekarang ini," ungkapnya.
Hingga saat ini, Mail mengungkapkan kesejahteraan para penambak garam di wilayah Cirebon masih belum mendapat perhatian pemerintah. Terbukti, hingga saat ini belum ada penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk garam Cirebon.
Mail mengungkapkan, harga garam selama ini hanya ditentukan oleh para tengkulak. Alih-alih stok garam menumpuk dan tidak bisa membuang garam, para tengkulak harus menekan harga sampai terjun bebas.
Sehingga, penambak garam tidak pernah merasakan harga garam semanis gula.
Berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon, luas lahan garam di Kabupaten Cirebon yang diolah sebanyak 1.557,75 hektare dari potensi lahan yang ada seluas 3.140,00 hektare.
Adapun rincian lahan garam yang telah diolah para penambak garam di Kabupaten Cirebon ini tersebar di berbagai kecamatan.
Yakni di Kecamatan Pangenan dengan luas lahan garam 800 hektare yang berada di Desa Ender, Pangenan, Bendungan, Rawaurip, Pengarengan, dan Astanamukti.
Di Kecamatan Kapetakan seluas 288 hektare berada di Desa Bungko dan Bungko Lor. Kemudian di Kecamatan Gebang seluas 136 hektare berada di Desa Gebangmekar, Melakasari, Gebangilir, Gebang Kulon, dan Kalipasung.
Di Kecamatan Suranenggala ada seluas 120 hektare yang berada di Desa Suranenggala Lor dan Muara. Selanjutnya di Kecamatan Losari ada seluas 109,65 hektare berada di Desa Ambulu, Kalisari, Tawangsari, dan Kalirahayu.
Di Kecamatan Astanajapura seluas 62 hektare berada di Desa Kanci dan Kanci Kulon. Kecamatan Mundu seluas 41,30 hektare berada di Desa Citemu dan Waruduwur. Dan di Kecamatan Gunungjati seluas 0,80 hektare berada di Desa Jatimerta.
Dari luasan lahan tersebut, Kabupaten Cirebon dalam kondisi cuaca kemarau yang normal mampu menghasilkan ratusan ribu ton dalam satu musim.
Advertisement