Sukses

Dicueki, Ujian Stamina Warga Menolak PSN Rempang Eco City

Sudah setahun warga Pulau Rempang berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan ruang hidup. Mereka terus menolak dan bersuara makin nyaring meski pemerintah seolah tak mendengar.

Liputan6.com, Batam - Warga Pulau Rempang mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati setahun tragedi bentrokan dalam aksi damai yang berujung kerusuhan di depan Gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023. Dalam aksi tersebut, 43 warga ditangkap, dan 35 di antaranya dinyatakan sebagai tersangka.

Pada Rabu (11/9/2024), warga Rempang kembali mengenang peristiwa tersebut dengan doa bersama, atraksi budaya, dan kegiatan seni di empat kampung: Kampung Sembulang Hulu, Sembulang Pasir Merah, Sungai Buluh, dan Kampung Pasir Panjang.

Kegiatan ini dimulai serentak pada pukul 16.00 WIB di berbagai lokasi, seperti tepi pantai, posko bantuan hukum, pos jaga kampung, serta tempat para pelajar menunggu jemputan sekolah.

Mengingat Perjuangan dan Aksi Solidaritas, Ruslan, warga Rempang yang ikut serta dalam kegiatan di Kampung Sembulang Hulu, menyatakan bahwa acara ini penting untuk mengingat kembali apa yang telah mereka alami setahun lalu saat menolak relokasi karena Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional.

"Bagi kami, kejadian di tanggal 11 September 2023 tidak akan pernah terlupakan," kata Ruslan warga Pulau Rempang.

Sementara itu, Ishak, warga Kampung Pasir Panjang menyebut peristiwa itu sebagai tragedi.

"Warga tetap berjuang menjaga tanah yang diwariskan oleh nenek moyang kami. Kami bukan penjahat," katanya.

Saat ini desakan menghentikan proyek Rempang Eco City masih terus bergulir. Warga Pulau Rempang meyakini bahwa perjuangan mereka tidak hanya untuk mempertahankan tanah, tetapi juga untuk menjaga prinsip dasar negara.

 

2 dari 2 halaman

Yang Untung Bukan Pemerintah Tapi ...

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan bahwa perjuangan masyarakat Rempang adalah contoh nyata perlawanan terhadap pelanggaran hak dasar yang dilakukan negara dengan alasan pembangunan ekonomi.

"Proyek Rempang Eco City melanggar prinsip hukum dasar negara Indonesia, di mana seharusnya negara melindungi hak-hak masyarakat, termasuk hak atas tempat tinggal yang layak dan lingkungan yang sehat," katanya.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, menambahkan bahwa masyarakat Melayu Pulau Rempang tidak akan tunduk pada siapapun yang memaksa mereka untuk meninggalkan tanah airnya.

"Tanah tempat mereka lahir dan tempat dikuburkannya tali pusar mereka adalah panggilan spiritual untuk tetap bertahan," katanya.

Zenzi juga menyoroti bahwa pengembangan kawasan pelabuhan bebas di Batam, Bintan, dan Karimun tidak hanya merugikan ekonomi Indonesia, tetapi juga menguntungkan negara tetangga seperti Singapura. Proyek Rempang Eco City harus dibatalkan dan Otorita Batam (Badan Pengusahaan) segera dibubarkan untuk mengembalikan wilayah tersebut kepada masyarakat.

Dari acara dan kegiatan sederhana seperti ini, warga Rempang berharap memiliki stamina untuk terus mempertahankan kampung halaman mereka dan mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

"Ini bukan sekadar menjaga tanah air kami. Perjuangan kami adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan atas nama pembangunan. Yang menguntungkan kaum berduit saja karena sejatinya pemerintah juga tak diuntungkan," kata warga.