Liputan6.com, Jakarta - Kepulauan Mentawai, yang terletak di lepas pantai barat Sumatera Barat, adalah rumah bagi salah satu suku tertua di Indonesia, yaitu Suku Mentawai.
Selain keindahan alamnya yang terkenal di kalangan peselancar dunia, Mentawai memiliki kekayaan budaya yang sangat unik dan menarik untuk dipelajari. Salah satu tradisi yang paling terkenal dari Suku Mentawai adalah tato tubuh, yang dianggap sebagai salah satu tradisi tato tertua di dunia.
Baca Juga
Selain itu, Suku Mentawai hidup dengan cara yang sangat harmonis dengan alam sekitarnya, menjadikan mereka contoh nyata masyarakat yang berkelanjutan dan menghargai lingkungan.
Advertisement
1. Tradisi Tato Tertua di Dunia
Dikutip dari situs resmi Kemenparekraf, seni tato atau seni rajah di Mentawai bukanlah hal baru. Kabarnya, seni merajah tubuh di Mentawai sudah ada sejak 1.500 Sebelum Masehi (SM), dan dilakukan secara turun-temurun oleh suku Mentawai.
Hal inilah yang akhirnya menjadikan seni merajah dari Mentawai sebagai seni tato tertua di dunia. Daya tarik seni rajah di Mentawai lainnya ada pada proses pembuatannya.
Jauh dari kesan modern, proses pembuatan tato Mentawai masih dilakukan secara tradisional. Sebelum memulai merajah, sipatiti atau penato akan melakukan upacara bersama dengan sikerei terlebih dahulu. Kemudian sipatiti mulai membuat gambar kasar pada bagian tubuh yang akan ditato.
Jika sudah, proses rajah dilakukan dengan menggunakan jarum tradisional yang terbuat dari kayu. Nantinya, tubuh akan dipukul secara perlahan menggunakan tongkat kayu untuk memasukkan pewarna ke dalam kulit.
Alih-alih menggunakan bahan kimia, tinta yang digunakan untuk tato Mentawai adalah pewarna alami yang berasal dari campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.
Setiap tato tradisional Mentawai dibuat dalam bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan peran setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal yang paling mudah dikenali adalah gambar tato laki-laki Mentawai berbeda dengan gambar tato perempuan Mentawai.
Biasanya, gambar tato pada tubuh laki-laki berbentuk garis warna hitam melengkung dari bahu kanan hingga bahu kiri yang melambangkan anak panah, atau gambar binatang buruan.
Sedangkan, perempuan Mentawai memiliki tato bergambar subba atau tangguk. Hal ini digambarkan karena sesuai dengan peran mereka yang pergi menangkap ikan di sungai.
Sementara itu, gambar atau motif tato bagi masyarakat lokal yang berperan sebagai pemburu maupun sikerei juga akan berbeda. Contoh, seorang pemburu asal Mentawai menggunakan tato sesuai dengan binatang hasil tangkapannya.
Seperti babi, rusa, monyet, burung, atau buaya. Sedangkan, seorang sikerei umumnya memiliki tato bintang “Sibalu-balu” pada tubuhnya.
2. Hidup Harmonis dengan Alam
Salah satu aspek yang paling menonjol dari kehidupan Suku Mentawai adalah hubungan mereka yang sangat erat dengan alam. Mereka hidup dalam komunitas kecil di pedalaman hutan dan sangat bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pola hidup mereka didasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan menghormati keseimbangan ekosistem.
Suku Mentawai tinggal di rumah tradisional yang disebut "uma", sebuah rumah komunal yang terbuat dari kayu dan bahan-bahan alami yang ditemukan di hutan sekitarnya. Uma tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat kehidupan sosial dan spiritual komunitas.
Di dalam uma, anggota suku berkumpul untuk menjalankan ritual adat, membahas masalah sosial, dan melestarikan pengetahuan tradisional mereka.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, Suku Mentawai mengandalkan pertanian subsisten, berburu, dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka menanam sagu, pisang, dan sayuran lainnya sebagai sumber makanan utama, serta berburu hewan liar seperti babi hutan dan rusa.
Teknik berburu mereka sangat tradisional dan dilakukan dengan cara yang tidak merusak alam. Sebagai contoh, mereka hanya berburu dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan harian, sehingga populasi hewan di hutan tetap terjaga.
Selain itu, Suku Mentawai memiliki tradisi pengobatan alami yang didasarkan pada penggunaan tanaman obat dari hutan. Pengetahuan tentang tanaman obat ini diwariskan dari generasi ke generasi, dan mereka memiliki keyakinan kuat bahwa alam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan jiwa.
Advertisement
3. Ritual Kehidupan dan Spiritualitas
Suku Mentawai mempraktikkan agama animisme, yang berarti mereka percaya bahwa segala sesuatu di alam, baik benda mati maupun makhluk hidup, memiliki roh atau jiwa.
Mereka menghormati roh-roh ini melalui berbagai ritual dan upacara, yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia roh. "Sikerei", atau dukun, memainkan peran penting dalam kehidupan spiritual Suku Mentawai.
Sikerei adalah pemimpin spiritual yang dipercaya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh dan menyembuhkan penyakit.
Sikerei juga memimpin berbagai upacara adat, seperti upacara pembuatan tato, upacara pernikahan, atau upacara kematian, di mana para anggota suku memberikan penghormatan kepada leluhur dan memohon berkah dari roh-roh alam.
Mereka percaya bahwa jika roh-roh tidak dipuaskan atau dihormati dengan benar, akan terjadi ketidakseimbangan yang bisa mendatangkan malapetaka bagi suku dan alam sekitarnya.
4. Tantangan dan Pelestarian Budaya
Meskipun Suku Mentawai memiliki budaya yang kaya dan unik, mereka menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan tradisi mereka di tengah modernisasi dan perubahan sosial.
Kehadiran industri, pariwisata, dan pengaruh luar telah membawa perubahan besar dalam cara hidup mereka. Banyak anggota suku yang mulai meninggalkan tradisi lama dan beralih ke gaya hidup modern.
Namun, upaya pelestarian budaya terus dilakukan oleh berbagai kelompok dan individu, baik dari dalam suku itu sendiri maupun dari pihak luar.
Beberapa program pendidikan dan pariwisata berbasis komunitas telah dikembangkan untuk memperkenalkan budaya Mentawai kepada dunia sekaligus mendukung ekonomi lokal.
Wisatawan yang datang ke Mentawai tidak hanya dapat menikmati keindahan alamnya, tetapi juga belajar tentang tradisi tato, kehidupan sehari-hari suku, serta kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam.