Sukses

FGD Soal Perusahaan Ekstraktif di Gorontalo Dinilai Bukan Solusi yang Tepat

Media arus utama ramai memberitakan soal perusahaan ekstraktif di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo yang dinilai merusak lingkungan.

Liputan6.com, Gorontalo - Beberapa pekan terakhir, media arus utama ramai memberitakan soal perusahaan ekstraktif di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Banyak pihak menilai bahwa perusahaan biomasa tersebut dapat menimbulkan dampak buruk di masa depan. Informasi mengenai PT IGL, BTL, dan BJA sebagai produsen wood pellet telah menuai kecaman dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga aktivis lingkungan.

Meskipun mengklaim memiliki izin yang lengkap, perusahaan ini dinilai keliru karena menggunakan kayu alam sebagai bahan baku untuk diekspor. Konflik sosial yang terjadi di lapangan juga menjadi salah satu alasan kecaman terus mengalir.

Menanggapi situasi ini, Asosiasi Produsen Energi Biomasa Indonesia (APREBI) menggelar Forum Grup Diskusi (FGD) dengan tema 'Membangun Gorontalo dengan Menjaga Etika Lingkungan' FGD ini diharapkan mampu menyatukan persepsi terkait operasi perusahaan biomasa. Namun, FGD tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menilai bahwa situasi di Pohuwato baik-baik saja.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Provinsi Gorontalo menyatakan bahwa FGD tersebut bukanlah solusi konkret untuk masalah deforestasi di Kabupaten Pohuwato. Koordinator BEM Provinsi Gorontalo, Man’ut M. Ishak, menegaskan bahwa FGD seharusnya tidak digunakan sebagai dalih untuk mengklaim bahwa masalah telah teratasi.

"Di lapangan, aktivitas perusakan lingkungan masih terus berlangsung," kata Man’ut.

Man’ut menjelaskan, bahwa pertemuan seperti FGD sering kali hanya menghasilkan wacana tanpa tindakan nyata. Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa PT BTL dan PT IGL telah menebang lebih dari 1.100 hektar hutan alam sejak 2021.

"Selama FGD berlangsung, lahan hutan yang kaya keanekaragaman hayati terus dibabat. Kita tidak bisa hanya bicara tanpa tindakan nyata untuk menghentikan kerusakan ini. FGD bukan solusi jika perusahaan-perusahaan tersebut masih melanjutkan aktivitasnya tanpa hambatan," lanjutnya.

Lebih jauh, Man’ut menyoroti bahwa FGD sering dijadikan alat untuk meredam kritik atau mengalihkan perhatian publik dari permasalahan utama.

"FGD tidak boleh digunakan untuk menunjukkan seolah-olah sudah ada upaya penyelesaian. Kita perlu sadar bahwa FGD hanyalah formalitas jika tidak diikuti oleh tindakan konkret," tegasnya.

Man’ut mengingatkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menghentikan deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

"Evaluasi terhadap izin operasional dan penegakan hukum harus menjadi prioritas, bukan sekadar menggelar FGD yang tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan," tuturnya.

"Masalah di Pohuwato bukan sekadar diskusi, tetapi tindakan nyata. Jangan biarkan FGD menjadi tameng untuk menunda penyelesaian, sementara kerusakan hutan terus berlanjut. Kami mendesak pemerintah untuk segera bertindak sebelum kerusakan semakin meluas," tegas Man’ut.

Simak juga video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Keterangan APREBI

Sementara Sekretaris Jendral (Sekjen) APREBI, Dikki Akhmar menjelaskan bahwa FGD digelar untuk harmonisasi pembangunan dan pelestarian Lingkungan di Gorontalo. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah setempat dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat kepolisian dan dinas terkait, dalam rangka membangun komunikasi dengan masyarakat serta para pemerhati lingkungan.

“Kami sengaja membuat FGD ini atas saran dari pak Kapolda (Gorontalo) dan beberapa instansi, guna membahas isu-isu yang dinilai dapat menghambat pembangunan di Gorontalo, terutama terkait masalah lingkungan,” kata Dikki kepada awak media saat konferensi pers usai FGD di Hotel Aston Kota Gorontalo beberapa waktu lalu.

Dikki mengatakan bahwa Pemerintah Gorontalo saat ini tengah giat-giatnya melaksanakan pembangunan demi mengurangi kemiskinan dan meningkatkan investasi. Namun, ada tantangan dari beberapa pemerhati lingkungan yang menginginkan agar kondisi alam tetap lestari tanpa adanya penebangan hutan atau kerusakan lainnya.

“FGD ini bertujuan untuk mencari solusi dan menyelaraskan kepentingan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Kami membawa ahli serta pejabat terkait untuk menjelaskan bahwa risiko-risiko lingkungan yang dikhawatirkan oleh masyarakat tidak akan terjadi, karena semua telah diatur dalam tata kelola hutan yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ditemukan pelanggaran, kami bersama pihak terkait termasuk kehutanan, akan mengambil tindakan tegas,” tegas Dikki.

Dikki mengatakan bahwa melalui FGD diharapkan dapat menjadi wadah bagi organisasi lingkungan untuk menyampaikan kekhawatiran mereka secara langsung. “Penting bagi kami untuk mendengar masukan dari organisasi-organisasi besar terkait lingkungan. Kami ingin tahu apa yang mereka khawatirkan dan bagaimana kita dapat mencari solusi yang terbaik, bukan hanya sekadar menghambat pembangunan dengan dalih bahaya lingkungan. Kami ingin ada dialog yang produktif,” ujar Dikki.

Dikki menegaskan, bahwa investasi sejumlah perusahaan wood pellet yang tengah dilakukan di Gorontalo mencapai angka triliunan rupiah. Sehingga pihak investor tentunya memiliki komitmen kuat untuk menjalankan pembangunan yang berkelanjutan, baik dari segi lingkungan maupun sosial. “Pemerintah dan pelaku industri berharap agar adanya diskusi terbuka dengan pemerhati lingkungan bisa menghasilkan solusi yang saling menguntungkan bagi pembangunan dan pelestarian alam di Gorontalo,” tandas Dikki.