Sukses

Praktik Tanaman Energi di Jambi: Ugal-ugalan Dahulu, Gagal Kemudian

Pembukaan hutan alam dengan dalih untuk hutan tanaman energi (HTE) biomassa dinilai akan menambah serenteng masalah baru, salah satunya deforestasi, penggusuran hak masyarakat, hingga bencana alam. Lantas apakah transisi energi yang mengorbankan hutan alam bisa dikatakan sebagai energi bersih?

Liputan6.com, Jambi - Petak tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dengan usia tanam sekitar empat tahun itu berjejal di sisi selatan bangunan mes permanen yang sudah porak poranda. Ada dua petak tanam sengon di wilayah itu. Petak tanam kedua berada di atas bukit seberang bangunan mes.

Seuprit petak tanam sengon itu berada di wilayah administrasi Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin, Jambi. Di wilayah lain, bukit-bukit gundul berdiri. Sebagian lagi, bekas bukaan hutan alam itu dibiarkan dan kini menyisakan semak belukar.

“Kalau kita lihat di lokasi ini luas tanaman sengon tidak sebanding dengan luas hutan yang telah dibabat PT HAN,” kata Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga di lokasi konsesi Hijau Artha Nusa pertengahan Mei 2024.

PT HAN yang dimaksud Anggi adalah Hijau Artha Nusa--pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK.183/Menhut-II/2013 tertanggal 25 Maret 2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, perseroan mendapat izin konsesi seluas 32.620 hektar, separuh luas DKI Jakarta.

Sedari awal kerja perusahaan tidak sesuai dengan perencanaan yang matang. Rencana awal perusahaan adalah mengembangkan perkebunan HTI skala luas untuk menghasilkan serpihan kayu atau wood pallet untuk diekspor ke Korea Selatan. HAN telah memperoleh izin membangun Hutan Tanaman Energi (HTE) di wilayah hulu Jambi. Lokasinya sendiri tumpang tindih dengan ruang hidup dan ulayat Orang Rimba dan masyarakat lokal yang lebih dulu mendiami kawasan konsesi perusahaan.

Dalam dokumen akta perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum yang diakses 5 Agustus 2024, PT Hijau Artha Nusa ini dipimpin warga negara Korea Selatan, Han Man Seong. Dia di perusahaan ini memiliki 30.475 lembar saham atau senilai Rp3,45 miliar.

Pemilik saham lain adalah Mohamad Sukri, yang menjabat sebagai Komisaris. Sukri memiliki 5.025 lembar saham, seharga Rp502,5 juta. Sementara pemegang saham mayoritas PT HAN adalah Woorim Energy Co., Ltd. yang berkedudukan di Bangi-dong, Songpa, Seoul, Korea Selatan.

Perusahaan yang bergerak di bisnis pembangkit listrik tenaga surya dan energi terbarukan di Korsel itu menguasai 142.000 lembar saham setara Rp14,2 miliar.

Hijau Artha Nusa telah menebang hutan alam cukup luas yang katanya untuk mengembangan perkebunan tanaman energi berupa sengon. Komoditi hutan energi jenis sengon tersebut rencananya akan digunakan untuk biomassa dalam bentuk wood pellet--pengganti bahan bakar fosil batu bara.

Dalam dokumen rencana penanaman tahun 2015-2024 yang dirilis Direktorat Usaha Hutan Produksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PT HAN yang masuk kelas perusahaan kayu serat itu berencana menanam komoditi sengon seluas 18.087 hektar dengan rincian alokasi untuk tanaman energi seluas 10.001 hektare.

Alih-alih merealisasikan kebun energinya, perusahaan asal negeri K-pop itu malah serampangan membabat hutan dan kemudian meninggalkannya begitu saja. Hasil analisis Forest Watch Indonesia (FWI)--lembaga nirlaba yang fokus pada isu pemantauan kehutanan itu, perusahaan telah mendeforestasikan hutan alam seluas 4.834,52 hektare pada rentang 2017-2021 dan 2022-2023 seluas 225 hektare.

“Analisis kami berbasis peta dan melihat langsung di lapangan, realisasi tanaman sengonnya hanya 64,5 hektar saja, sementara hutan yang sudah ditebang sudah mencapai ribuan hektare,” kata Anggi.

Dalam praktiknya PT HAN ini memulai pembangunan HTE dengan kerusakan hutan dan menggusur masyarakat. Disisi lain perusahaan tidak punya komitmen kuat untuk membangun HTE. Sementara wilayah hutan yang sudah dibuka, kini digarap oleh warga.

“PT HAN ini hanya mengincar kayu-kayu alam yang bagus-bagus saja di sana. Yang terjadi kemudian perusahaan malah mengekstraksi hutan, perusahaan dapat kayu gratis dan terus dijual,” ujar Anggi.

Sementara itu, berdasarkan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) jumlah produksi kayu bulat PT HAN selama 2021-2023 tercatat sebanyak 7.014 meter kubik. Sedangkan data Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) menunjukkan mulai 2021 sampai 2023, perusahaan telah mengangkut kayu bulat sebanyak 14.851 meter kubik.

Kayu-kayu alam itu tidak diolah menjadi wood pellet maupun veneer. Melainkan kayu-kayu alam itu dijual ke sawmill yang lokasinya tidak jauh dari area kerja perusahaan di Merangin dan Bungo.  

Hasil penelusuran Lembaga Tiga Beradik (LTB)--lembaga nirlaba yang fokus pada isu konservasi dan pemberdayaan di Merangin disebutkan, produksi kayu alam PT HAN langsung dijual dalam bentuk kayu gelondongan.

Ada tiga lokasi penjualan kayu alam, meliputi: Tempat Penimbunan Kayu (TPK) di kilometer 9 Merangin, TPK Mentang Bungo, dan PT Lestari Utama Karya Pamenang, Bangko Merangin.

Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN, Muchlisin Madras sebelumnya pernah mengklaim, pembukaan hutan tanaman energi itu bertujuan untuk menghasilkan kayu pertukangan dan kayu sengon sebagai bahan baku biomassa–energi baru terbarukan dalam bentuk wood chip dan wood pellet.

Di samping menguasai izin konsesi HTI, perusahaan, juga telah mendapatkan perizinan pendirian kilang penggergajian (sawmill), pabrik triplek (plywood), dan pabrik pengolahan serbuk kayu (wood pellet).

Meski telah mengantongi ketiga perizinan pengolahan kayu itu, nyatanya perusahaan sekarang baru mampu mendirikan sawmill dan menjual kayu gelondongan yang ditebang dari alam. Kini pun lokasi sawmiil di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, hanya tinggal rongsokan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Berlindung di Balik Dalih Tanaman Energi

Anggi mengatakan, PT HAN yang tercatat perusahaan dengan penanaman modal asing itu hanya berlindung dibalik investasi hijau untuk tanaman energi. Menurut Anggi, transisi energi yang masuk program kebijakan hutan tanaman energi tidak ada sama sekali untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, sementara yang terjadi kerusakan hutan dan lingkungan.

“Tanaman energi komoditi sengon yang katanya untuk transisi energi ini hanya kedok saja. Yang terjadi hanya deforestasi dan kerusakan lingkungan. Setelah kayu habis, perusahaan hilang begitu saja,” kata Anggi.

Setelah pemerintah membuat Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law, terjadi perubahan atas izin perusahaan. PT HAN pun kini telah mengantongi izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPHH), sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 230/Menlhk/Setjen//HPL.3/5/2021 tanggal 18 Mei 2021.

Lewat izin sapu jagat perizinan dan kebijakan multiusaha kehutanan ini, perusahaan akan memproduksi veneer, kayu gergajian, dan wood pellet dengan kapasitas mencapai 6.000 M3 yang berlokasi di Desa Pulau Aro Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.

Hasil Monitoring dan Evaluasi Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) yang dilakukan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi menyimpulkan perusahaan ini telah berhenti beroperasi sejak April 2023. Setelah kayu alam habis, perusahaan mandek operasi.

Masih menurut laporan, PT HAN juga belum menyusun dokumen RKUPH periode tahun 2024- 2034 dan RKTPH periode tahun 2024. Sementara itu, pada periode RKTPH tahun 2021-2023, tidak ada rencana dan realisasi kegiatan pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan. Tidak ada laporan kegiatan bulanan, progres tata batas, kemitraan, sertifikasi, keuangan, penanaman, produksi, dan tenaga kerja.

Kepala BPHL IV Jambi Wahyu Nurhidayat mengatakan, timnya telah memantau aktivitas PT HAN. Wahyu menyebut, aktivitas perusahaan, termasuk rencana penanaman sengon tidak dijalankan perusahaan. Pihaknya juga telah mengevaluasi perusahaan. Hasil evaluasinya itu sudah diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK

Menurut Wahyu tidak masuk akal, perusahaan mengembangkan tanaman sengon untuk kebutuhan memasok energi. Menurut dia, sengon memiliki kalori rendah sehingga tidak masuk akal, sebab masih ada jenis tanaman yang memiliki kalori yang tinggi.

“PT HAN relatif tidak jalan. Perusahaan tidak jelas, dan juga manajemen visi-misi kedepannya kita belum paham,” kata Wahyu.

3 dari 5 halaman

Aktor di Balik Konsesi Tanaman Energi

Pemberian izin kepada perusahaan asal Korea Selatan ini menjadi kisah tentang eksploitasi hutan di Kabupaten Merangin, Jambi. Jauh sebelumnya pada tahun 2012, ada 18 desa, yang wilayah administrasinya bakal masuk area konsesi perusahaan, meminta pemerintah untuk menghentikan perizinan yang diajukan PT Hijau Artha Nusa.

Selain bisa memperpanjang konflik lahan, warga khawatir pemberian izin terhadap perusahaan bisa memunculkan bencana ekologis. Ini lantaran konsesi PT HAN berdekatan dengan Sungai Mangkilam yang lebat dengan vegetasi kayu hutan. Warga takut eksploitasi kawasan akan merusak ekosistem dan memicu bencana ekologis kedepannya.

Kala itu Desa Nalo Gedang, termasuk 18 desa lainnya di Merangin dan Sarolangun, menolak kehadiran perusahaan. Aksi kampanye dan penolakan digaungkan oleh koalisi Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM).

Menurut koalisi masyarakat sipil saat itu, rencana pengembangan industri biomassa pallet kayu tersebut memasukan kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebagai lahan cadangan bahan baku, yang selama itu merupakan lahan produktif yang dikelola masyarakat desa.

Rentang setahun di sela-sela penolakan itu, pemerintah tak bergeming. Syahdan, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 183/Menhut-II/2013 yang diteken Zulkifli Hasan pada 25 Maret 2013, PT HAN mendapatkan izin konsesi seluas 32.620 hektar di Kabupaten Merangin dan Sarolangun. Izin perusahaan berlaku sampai dengan tahun 2073.

Dari total luas konsesi itu terbagi menjadi 3 blok. Blok I terletak di Kecamatan Tabir, Tabir Ulu, dan Tabir Barat dengan luas lahan 11.494 hektar. Sedangkan blok II seluas 10.239 hektar berada di Nalo Tantan, dan Renah Pemberap. Setidaknya ada 15 desa yang masuk dalam konsesi perusahaan di wilayah Kabupaten Merangin, salah satunya Desa Nalo Gedang.

Sementara blok III seluas 10.947 hektar berada di wilayah Desa Ranggo, Panca Karya dan Demang, Kecamatan Cermin Nan Gedang dan Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Di tengah gelombang penolakan warga desa, jajaran top perusahaan turun gunung menggelar sosialisasi kepada warga dan tokoh masyarakat di sejumlah desa yang beririsan dengan wilayah konsesi perusahaan.

Komisaris PT HAN Mohamad Sukri dan Direktur Utama Mr. Han Man Seong datang membawa segudang janji manis, salah satunya perbaikan ekonomi masyarakat melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Selain itu, untuk meminimalisir gejolak penolakan dan memuluskan kerja perusahaan itu, mereka merekrut kalangan tokoh pemuda dan aktivis untuk menduduki jabatan manajer.

Bahkan Bupati Merangin kala itu, Al Haris, pada Juni 2015 turut menghadiri ekspose rencana pembangunan HTE milik PT HAN. Ketika itu, beberapa orang tim Al Hari menempati posisi penting di manajemen perusahaan.      

Meski begitu, diawal sebagian warga ada dan kepala desa menyambut gembira kedatangan PT HAN. Perusahaan ini meredakan kekhawatiran warga soal dampak buruk proyek kebun energinya dengan membagikan uang tunai dalam bentuk bagi hasil kayu.

Masih jelas dalam benak ingatan Zuhadi, Mantan Kepala Desa Nalo Gedang. Kala itu, Manajer Produksi PT HAN Richo Widoyo menjanjikan kepada warga pemilik pancong alas dan pemerintah desa bakal dapat bagian dari setiap kubik kayu yang ditebang dari kawasan hutan senilai Rp50.000 untuk setiap meter kubik kayu yang keluar.

Menurut Zuhadi dan sejumlah warga di Nalo Gedang, Richo Widoyo itu merupakan warga Bangko adalah kepercayaan Mr Han Man Seong. Kompensasi kayu itu juga diberikan kepada masyarakat adat Orang Rimba yang lebih dulu mendiami kawasan itu. Pendekatan perusahaan dengan pola kompensasi kayu itu, bertujuan untuk membujuk masyarakat desa dan masyarakat adat supaya mau bekerjasama dengan perusahaan.

“Dulu dibuatkan skema fee kayu, rinciannya per kubik itu untuk masyarakat yang punya lahan dapat Rp25.000, dan desa Rp50.000,” kata Zuhadi.

“Kayu-kayu alam di desa kami ditebang dan dijual, kalau kemudian untuk lahanya ditanami untuk tanaman energi, kami belum pernah dengar,” sambung Zuhadi.

Selain itu, perusahaan juga menjanjikan bagian 10 persen dari hasil bersih panen tanaman sengon kepada masyarakat dengan terikat pola kemitraan. Namun banyak warga yang kecewa, sebab sampai sekarang, sengon yang ditanam perusahaan belum pernah dipanen dan perusahaan telah berhenti beroperasi.

Tak hanya janji manis kemitraan, warga yang mempunyai pancong alas juga akan diberikan pekerjaan di perusahaan. Namun alih-alih pekerjaan, warga justru diberi ketidakpastian. Kini janji hanya tinggal janji.

“Saya sempat kerja di perusahaan hanya sebulan, namun dikeluarkan tanpa alasan jelas,” kata Kusmadi yang lahannya ditanami sengon oleh perusahaan.

“Sekarang ini, tanaman sengon yang sedikit itu kapan dipanen. Di situ ada hak saya dan warga lainnya,” sambung Kusmadi.

Di awal-awal itu Kusmadi menganggap perusahaan itu bagus. Dia berharap kehadiran perusahaan bisa mengubah ekonominya, karena perusahaan melibatkan masyarakat desa dalam pekerjaan, dan juga masyarakat diajak bermitra. Namun, alih-alih menguntungkan, kini yang terjadi masyarakat buntung oleh kehadiran PT Hijau Artha Nusa.

Kini Kusmadi mengaku tak punya pilihan lain. Dia masih ingin kembali menggarap lahan pancung alas yang dulunya sempat diserahkan kepada perusahaan.

Sementara itu, Richo Widoyo membantah jika ia disebut sebagai tangan kanannya Mr Han Man Seong--petinggi perusahaan yang melakukan pendekatan dengan tokoh dan masyarakat desa, termasuk memberikan kompensasi hasil kayu dan imbal hasil tanaman sengon. “Itu kan anggapan masyarakat,” kata Richo dihubungi lewat sambungan telepon.

Mantan Manajer Lapangan PT Hijau Artha Nusa Syaiful Mursal mengakui bahwa kini perusahaan sudah tidak beroperasi. Ia tidak mengetahui pasti penyebab perusahaan ini mandek beroperasi.

“Informasinya perusahaan rugi karena pandemi Covid-19 yang melanda antara 2020-2022,” kata Syaiful.

Selain itu, Syaiful juga mendapat informasi bahwa keuangan perusahaan sedang seret. Salah satu investornya tak lagi berinvestasi. “Informasinya yang berkembang, investornya yang di Korea Selatan meninggal dunia,” ujar Syaiful.

Kepala Desa Nalo Gedang Said mengakui, sebagian besar warganya kecewa dengan kiprah perusahaan selama ini. Said banyak ditanya oleh warga tentang kelanjutan perusahaan yang beroperasi di desanya.

Saat menjabat, dia mengaku tak mengetahui jajaran manajemen perusahaan, karena perusahaan sudah berhenti beroperasi. Namun yang diketahuinya, kini banyak tanggung jawab dari perusahaan yang tidak direalisasikan, termasuk pola kemitraan dan kompensasi dari hasil kayu yang sampai sekarang belum tuntas.

“Dan juga yang saya ketahui ketika HAN masih aktif, warga desa yang diberdayakan juga statusnya hanya buruh kasar,” kata Said.

Said mengatakan, bila perusahaan akan kembali beroperasi, pihaknya akan menolak. Sebab kata dia “Keberadaan HAN sangat merugikan kehidupan masyarakat”. Selain itu, kehadiran perusahaan juga hanya menghabiskan kayu alam sehingga berdampak pada bencana alam seperti banjir.

Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Eko Mulia Utomo mengatakan, sejak awal lembaganya telah menolak kehadiran PT HAN yang mengeksploitasi hutan. Selain itu, di wilayah konsesi perusahaan terdapat wilayah yang digarap masyarakat dan tempat hidup masyarakat adat.

Aktivitas PT HAN telah mengubah kondisi bentang alam dengan dalil untuk komoditi monokultur sengon. Padahal kawasan itu yang beririsan dengan desa telah lebih dulu digarap oleh masyarakat.

“Situasi hari ini tentu kita mendorong Kementerian LHK mencabut izin PT HAN, dan dikembalikan hak kelolanya ke masyarakat yang dulu pernah mengelola,” kata Eko.

4 dari 5 halaman

Merusak Habitat Harimau Sumatera, dan Mendatangkan Bencana

Masih jelas dalam benak ingatan Nawi, mantan pekerja PT HAN. Nawi yang ketika itu bekerja sebagai tukang ukur diameter kayu menyaksikan kayu-kayu alam digaruk buldozer. Beragam jenis kayu kualitas bagus mulai dari: keruing, benuang, meranti habis digaruk.

Kayu-kayu alam yang ditebang itu mencakup rentang diameter 70-160 centimeter. Setelah kayu ditebang menggunakan sinsaw, kemudian kayu ditarik keluar dan diangkut ke tempat penumpukan kayu (TPK) sebelum dijual. “Tebang habis tak tersisa pokoknya,” kata Nawi.

Nawi yang merupakan warga Nalo Gedang itu bekerja hingga larut malam. Di suatu malam sekitar pukul 22.00 WIB yang gerimis itu, Nawi menyaksikan seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) melintas di hadapannya. Jantungnya berdegup. Hanya berjarak tiga meter dari dia berdiri, datuk belang itu melintas di depannya.

“Sewaktu hutan masih ada di sana memang jalurnya harimau,” kata Nawi.

Hutan yang dibabat di wilayah konsesi PT HAN itu merupakan wilayah penting dan menjadi habitat satwa yang dilindungi. Syahdan, tak berselang lama pada April 2022, seekor harimau masuk ke Desa Nalo Gedang. Raja rimba itu telah memangsa belasan ternak warga desa itu.

Banyaknya aktivitas manusia dan alih fungsi hutan ditengarai menjadi penyebab harimau mendekati pemukiman warga. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pun langsung turun menangani konflik antara manusia dan satwa itu. Akhirnya tim penanganan konflik berhasil menangkap harimau itu dengan perangkap. Tempat harimau ditemukan itu hanya berjarak 20 kilometer dari batas paling luar TNKS atau hanya terpisah dengan kawasan HTE di Desa Nalo Gedang.

Selain meningkatkan interaksi manusia dan satwa dilindungi, eksploitasi hutan yang dilakukan PT HAN mendatangkan bencana banjir. Pada November 2020, otoritas penanggulangan bencana Kabupaten Merangin melaporkan, ratusan rumah di 4 kecamatan: Tabir, Tabir Ilir, Tabir Timur, dan Margo Tabir terendam banjir.

Banjir yang diakibatkan meluapnya sungai Batang Tapir mengindikasikan disebabkan oleh eksploitasi hutan yang dilakukan perusahaan. Mengingat konsesi PT HAN di blok I dan II berada di antaranya sungai Batang Tabir.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Abdullah mengatakan, alih fungsi hutan untuk kepentingan tanaman energi mendatangkan masalah serius. Eksploitasi hutan, selain dapat memunculkan konflik lahan, dan konflik satwa juga mendatangkan bencana ekologis. Banjir diperparah oleh kondisi di bagian hulu, yang mana hutan yang menjadi daerah tangkapan air telah dibabat habis.

“Banjir datang lebih cepat, karena daerah tangkapan air sudah hancur,” kata Abdullah.   

Selain merusak habitat satwa dan mendatangkan bencana, proyek tanaman energi ini telah merongrong tanah ulayat Orang Rimba--masyarakat adat yang hidup seminomaden di  Kabupaten Merangin yang menggantungkan hidup dengan berburu dan meramu. Penggundulan hutan telah menyulitkan mereka berburu.

Keluarga-keluarga Orang Rimba yang dulunya tinggal di konsesi PT HAN, kini terpaksa harus keluar hutan untuk mencari sumber penghidupan. Lantas, apakah tanaman energi yang mengorbankan hutan alam, masyarakat adat, dan warga desa, bisa menjadi solusi untuk transisi energi?

5 dari 5 halaman

Solusi Semu dan Hutang Emisi

Pemerintah Indonesia masih berambisi untuk mencapai target bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050. Target tersebut didesain dapat dicapai dari sektor hutan dan penggunaan lahan dan energi sebanyak 97 persen dari total komitmen nasional.

Untuk menggenjot capaian bauran energi nasional tersebut, biomassa pun ditempatkan sebagai prioritas kedua setelah energi surya. Biomassa diklaim sebagai sumber energi terbarukan karena dianggap netral karbon. Saat ini, pemerintah mendorong produksi biomassa dari Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk menjadi sumber energi terbarukan pengganti energi fosil.

Sesuai peta jalan transisi energi yang dikeluarkan Kementerian ESDM, saat ini terdapat 52 lokasi PLTU dengan total kapasitas 18.664 megawatt akan jadi target co-firing hingga tahun 2025. Adapun potensi bahan baku biomassa untuk co-firing PLTU ini dari tanaman energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri kayu, dan sampah rumah tangga.

Program biomassa untuk co-firing PLTU akan meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,8 persen dengan proyeksi kebutuhan biomassa sekitar 10,2 juta ton per tahun pada 2025. Kebutuhan biomassa itu salah satunya dipasok dari pengembangan HTE.

<p>Kinerja PT Hijau Artha Nusa di Jambi. (dok FWI)</p>

Namun upaya transisi energi menyisakan persoalan penggundulan hutan. Forest Watch Indonesia (FWI) dalam sebuah kajiannya menyebutkan, biomassa terutama yang berasal dari kernel sawit dan kayu akan mendorong terjadinya deforestasi melalui pembukaan hutan dan lahan baru di berbagai daerah di Indonesia.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Anggi Putra Prayoga mengatakan, kebijakan HTE ini keliru. Menurut Anggi, biomassa wood pellet tak bisa diklaim sebagai sumber energi terbarukan, karena berasal dari deforestasi hutan alam.

“Pembangunan HTE untuk menghasilkan biomassa kayu (bioenergi) yang berasal dari deforestasi tidak bisa diklaim sebagai energi bersih,” kata Anggi.

Anggi bilang proyek biomassa menjadi driver baru deforestasi di Indonesia. Pemerintah telah menargetkan pembangunan HTE melalui perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 1,29 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan biomassa.

Dalam kajiannya, FWI mencatat bahwa praktik pembangunan HTE sejauh ini sudah mengakibatkan kehilangan hutan alam sebanyak 55 ribu hektare dan seluas 420 ribu hektar hutan alam tersisa terancam dirusak untuk kepentingan pembangunan HTE.

Anggi memaparkan, dari 31 perusahaan HTI yang membangun HTE, tidak semuanya memiliki kejelasan status perizinan. Dalam implementasinya ada 13 perusahaan yang belum bisa dipastikan apakah perusahaan tersebut akan menyuplai kebutuhan biomassa untuk dalam negeri dalam rangka pemenuhan target pembangunan hutan tanaman agar target net sink 2030 tercapai.

Proyek pembangunan HTE untuk biomassa co-firing PLTU diproyeksikan akan merusak hutan alam seluas 4,65 juta hektar dengan diberlakukannya kebijakan multiusaha tanaman energi. HTE biomassa untuk co-firing PLTU tidak bisa dikatakan sebagai penyediaan energi bersih dan terbarukan, karena praktiknya mengorbankan hutan alam.

“Biomassa itu hanya solusi palsu, tidak untuk transisi energi. Hanya kepentingan bisnis as usual saja,” ujar Anggi.

Sejatinya pemanfaatan biomassa dengan cara dibakar yang dipenuhi dari pembangunan HTE hanya akan menghasilkan hutang emisi. Pasalnya, biomassa diproduksi berasal dari kerusakan hutan alam. Dimana hutan alam adalah salah satu ekosistem paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman.

Satu hektare hutan alam tropis dapat menyimpan karbon sebanyak 254 ton karbon-C. Sedangkan hutan tanaman dapat menyimpan karbon hanya 107,86 ton karbon per hektar.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi mengakui, bila pembangunan hutan tanaman energi (HTE) itu dapat menyebabkan pelepasan emisi karbon yang berdampak pada meningkatnya efek gas rumah kaca.

“Semua proses pasti ada pembukaan lahan. Jadi yang dilihat bukan sesaatnya saja, tapi manfaat lebih lanjutnya, tahap demi tahap,” katanya, usai menghadiri acara peresmian tower GRK di Jambi.

 *Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.