Liputan6.com, Jakarta Penolakan terhadap aktivitas tambang emas PT Masmindo Dwi Area (MDA) di Kabupaten Luwu terus berlanjut. Tuduhan terkait penyerobotan lahan oleh MDA menjadi bahan perdebatan di masyarakat, terutama di kalangan para penggarap lahan.
Pakar hukum agraria dari Universitas Hasanuddin, Muhammad Ilham Ari Saputra pun menilai berbeda. Menurut dia situasi ini lebih kompleks dari sekadar penyerobotan lahan.
Baca Juga
Pakar hukum Agraria yang akrab dipanggil Putra ini , menekankan bahwa MDA memegang konsesi yang sah dari pemerintah untuk melakukan kegiatan pertambangan di wilayah tersebut. Meskipun lahan tersebut masuk dalam area konsesi MDA, masyarakat penggarap memiliki hak atas aset yang berada di atas tanah, seperti tanaman.
Advertisement
Oleh karena itu, lanjutnya, pemberian kompensasi dari MDA bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak para penggarap.
Lebih jauh, Putra menjelaskan bahwa dalam hukum agraria dikenal adanya asas pemisahan horizontal, yang berarti hak atas tanah dan hak atas aset di atas tanah (seperti tanaman) adalah terpisah. Meskipun tanah berada di bawah kendali konsesi MDA, penggarap memiliki hak atas tanaman atau bangunan yang ada di atas lahan tersebut.
Oleh karena itu, pemberian kompensasi oleh MDA terhadap penggarap adalah langkah yang tepat dan mencerminkan penghormatan terhadap hak-hak yang ada.
"Itu bukan penyerobotan, karena Masmindo atau MDA memegang hak atas tanah konsesi yang diberikan oleh negara. Penggarap memiliki hak atas tanaman di atas lahan tersebut, dan mereka berhak menerima kompensasi. Hal ini harus diselesaikan melalui mediasi atau pengadilan jika diperlukan, tetapi intinya adalah MDA telah menunjukkan itikad baik dengan memberikan kompensasi," jelas Putra.
Pentingnya Iktikad Baik Dalam Pemberian Kompensasi
Dalam wawancara tersebut, Putra juga mengapresiasi langkah-langkah yang telah dilakukan oleh MDA. Ia menyebut bahwa perusahaan telah melalui proses yang panjang, termasuk melibatkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai besaran kompensasi yang adil dan wajar. MDA bahkan menaikkan tawaran kompensasi di atas standar yang ditentukan, meskipun beberapa penggarap meminta angka yang jauh lebih tinggi tanpa dasar yang jelas.
“Ini menunjukkan itikad baik dari MDA. Mereka tidak hanya menggunakan hak konsesi mereka, tetapi juga berusaha menyelesaikan masalah ini dengan cara yang adil. Masyarakat harus memahami bahwa perusahaan ini telah mengikuti aturan yang ada, dan pemberian kompensasi adalah bentuk penghargaan terhadap hak mereka,” ujar Putra.
Putra juga mengingatkan tentang Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Dalam kasus pertambangan yang bertujuan untuk kepentingan umum dan memberikan kontribusi bagi negara, tanah tersebut dapat dimanfaatkan dengan pemberian kompensasi yang adil dan wajar kepada pemilik aset di atasnya.
“Ketika ada kepentingan umum yang lebih besar, hak atas tanah harus disesuaikan dengan fungsi sosialnya. Pemberian kompensasi yang dilakukan oleh MDA adalah bentuk penerapan fungsi sosial tersebut, karena tambang ini akan memberikan manfaat besar bagi daerah dan negara,” tambah Putra.
Lebih lanjut, Putra menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. “Pemerintah daerah harus turun tangan untuk meluruskan informasi yang berkembang di masyarakat. Dengan adanya kegiatan pertambangan, pendapatan daerah bisa meningkat, dan ini tentunya berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Pemberian kompensasi dari MDA kepada penggarap lahan bukan hanya sekadar tanggung jawab hukum, tetapi juga mencerminkan komitmen perusahaan untuk menghormati hak-hak masyarakat setempat. Dengan penegakan hukum yang jelas dan itikad baik dari semua pihak, polemik ini dapat diselesaikan dengan cara yang adil dan menguntungkan semua pihak.
Simaklah video pilihan berikut ini:
Advertisement