Sukses

Viral Nama Produk Tuak Hingga Wine Dapat Sertifikat Halal, Ini Penjelasan Kemenag

Belakangan ini nama produk tuak, wine, hingga beer yang mendapatkan sertifikat halal menjadi sorotan publik. Adapun Kemenag dan MUI memberikan respon terkait viralnya produk tersebut.

Liputan6.com, Bandung - Warganet di media sosial belakangan ini dihebohkan dengan sebuah video yang menyebutkan sejumlah nama produk yang mengandung kata “tuyul”, “tuak”, “beer”, hingga “wine” mendapatkan sertifikasi halal.

Diketahui, pembahasan produk tersebut jadi sorotan usai konten kreator bernama Dian Widayanti mengunggahnya di media sosial. Melalui videonya, Dian meminta klarifikasi dari pihak Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terkait masalah tersebut.

Punten minta klarifikasi boleh yaaaaa @halal.indonesia,” tulis (@dianwidayanti).

Adapun setelah ramainya pembahasan tersebut di media sosial saat ini pihak BPJPH Kementerian Agama RI mulai memberikan tanggapan melalui situs resminya pada Selasa (1/10/2024).

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin menyampaikan sejumlah penjelasan terkait produk tersebut. Pihaknya menyebutkan yang dipersoalkan adalah penamaan suatu produk sehingga bukan kehalalan produknya.

“Pertama harus kami jelaskan bahwa persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya. Artinya masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku,” ucapnya.

Pihaknya juga menuturkan bahwa penamaan produk halal telah diatur dalam regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Kemudian juga Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

Berdasarkan peraturan tersebut pihaknya menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di antara masyarakat.

2 dari 4 halaman

Masih Ada Nama Produk yang Mendapat Sertifikasi Halal

Sementara itu, Mamat menyebutkan pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.

“Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal. Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait penamaan produk. Hal ini dibuktikan dengan data kami di Sihalal,” ujarnya.

Pihaknya juga memberikan contoh produk seperti produk yang menggunakan kata “Wine” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.

Kemudian juga produk yang menggunakan kata “Beer” yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 8 produk dan 14 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.

“Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain,” katanya.

Sehingga, dari data tersebut, lanjutnya mencerminkan fakta adanya perbedaan pendapat di antara ulama terkait penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Perbedaan tersebut diketahui sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama tersebut dan tidak terkait dengan aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.

3 dari 4 halaman

BPJPH Mengajak Diskusi Bersama

Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro menuturkan kondisi tersebut masih dalam ruang lingkup proses penyelenggaraan layanan sertifikasi halal yang berdasarkan perintah Undang-Undang pelaksanaannya dilakukan oleh ekosistem layanan yang luas dan melibatkan banyak aktor.

Dzikro juga menuturkan BPJPH mengajak seluruh pihak untuk berdiskusi bersama untuk menyamakan persepsi terkait permasalahan tersebut. Terutama untuk tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat terkait produk-produk tersebut.

“Untuk itu, BPJPH mengajak semua pihak untuk duduk bersama, berdiskusi dan menyamakan persepsi, agar tidak timbul kegaduhan di tengah masyarakat terkait nama-nama produk. Sehingga masyarakat tidak ragu untuk mengonsumsi produk-produk bersertifikat halal karena telah terjamin kehalalannya,” katanya.

Pihaknya juga mengimbau serta mengingatkan kembali kepada seluruh pihak terkait kewajiban sertifikasi halal tahap pertama yang akan berlaku setelah 17 Oktober 2024 terutama untuk produk makanan dan minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelih.

“Alangkah baiknya, saat ini energi seluruh stakeholder Jaminan Produk Halal bersama masyarakat dan pelaku usaha digunakan untuk menyukseskan kewajiban sertifikat halal yang sudah semakin dekat,” ucapnya.

4 dari 4 halaman

Respon MUI

Pada penjelasan terpisah melansir dari situs resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI) terdapat tanggapan yang dibagikan pada Selasa (1/10/2024). Melalui penjelasan MUI penggunaan nama-nama yang sedang viral tersebut tidak dibenarkan jika berdasarkan standar fatwa MUI.

Adapun MUI menuturkan pihaknya langsung melakukan investigasi dan menggelar pertemuan untuk mencari titik terang terkait kasus tersebut. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh sempat menggelar pertemuan di kantor MUI pada senin (30/9/2024).

Melalui investigasi dan pendalaman MUI dikonfirmasi bahwa nama produk tersebut valid mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur “Self Declare” sehingga tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.

Asrorun Niam menyebutkan bahwa penetapan halal dari produk yang jadi sorotan tersebut menyalahi standar fatwa MUI serta tidak melalui komisi Fatwa MUI. Sehingga pihaknya menegaskan bahwa MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut.

“Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” katanya.

Pihaknya juga menuturkan akan segera berkoordinasi dengan pihak BPJPH untuk mencari jalan tengah. Terutama untuk menemukan jalan terbaik agar kasus serupa tidak kembali terulang.

“Saya akan segera komunikasi dengan teman-teman Kemenag, khususnya BPJPH untuk mendiskusikan masalah ini,” katanya.

Selain itu, ia menyebutkan bukti-bukti terkait kemunculan produk dengan nama bir dan tuyul yang mendapatkan sertifikat halal terpampang jelas di laman BPJPH. Namun saat ini produk-produk yang disorot sudah tidak muncul lagi dalam data tersebut.

Asrorun Niam juga menegaskan bahwa produk yang didaftarkan untuk mendapat sertifikasi halal harus mengacu pada standar MUI. Diketahui dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2023 mengatur empat kriteria nama dan bahan dalam produk yang didaftarkan sertifikat halalnya.

Salah satunya adalah produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan. Terutama produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan.