Sukses

Dinilai Tak Mewakili Kepentingan Budaya, Forum SUKAT Tolak Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh

Seratusan orang terdiri dari kalangan seniman, budayawan, serta puluhan organisasi seni dan budaya di Aceh berbondong-bondong menolak Rancangan Qanun Pemajuan Kebudayaan Aceh yang sedang menunggu tahapan fasilitasi di tingkat kemendagri. Ada apa?

Liputan6.com, Banda Aceh - Rancangan Qanun (Raqan) Tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 dinilai sarat masalah. Sebuah forum bernama Suara untuk Kebudayaan Aceh yang Terarah (SUKAT) baru-baru ini menyatakan menolak raqan yang diusulkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh itu.

Juru Bicara SUKAT, Yulfan mengeklaim bahwa Rancangan Qanun (Raqan) Tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh disusun tanpa partisipasi yang bermakna dengan proses penjaringan aspirasi yang tertutup. Perpaduan dari dua kekurangan ini telah melahirkan sebuah rancangan qanun dengan hasil yang amat buruk.

Setelah mengevaluasi dari banyak aspek, baik vertikal atau membandingkan dengan peraturan lebih tinggi dan lebih rendah, maupun horizontal atau membandingkan dengan peraturan setingkat), SUKAT menemukan adanya tumpang tindih dengan regulasi yang lebih dulu ada. 

"Raqan ini akan memicu konflik regulasi, baik secara vertikal maupun horizontal!” tegas Yulfan, dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com,Jumat (4/10/2001).

Rancangan Qanun (Raqan) Tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 juga membuka peluang disfungsi hukum, maladministrasi, serta dominasi oleh dinas tertentu yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena tim perumus raqan tersebut dinilai tak punya pemahaman yang memadai tentang definisi operasional dalam seluk-beluk penyusunan qanun. 

"Ini adalah keterampilan mendasar dalam penyusunan sebuah qanun, yang tidak boleh diabaikan,” tegas Yulfan lagi.

Potensi ketimpangan dan kerusakan lebih lanjut terhadap kebudayaan dan ekosistem kebudayaan di Aceh akan muncul seandainya DPR Aceh dan Kemendagri membiarkan raqan ini lolos tanpa evaluasi mendalam. Walhasil, ekosistem seni dan budaya di Aceh yang saat ini dinilai dalam keadaan sekarat akan semakin memprihatinkan.

Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 dianggap tidak memperhitungkan warisan budaya sebagai bagian integral dari alam serta mengabaikan perspektif ekologis dalam upaya pemajuan kebudayaan. Selain itu, terdapat ketidakjelasan dalam pembagian wewenang antara Badan Pemajuan Kebudayaan dan dinas terkait mengenai tata kelola cagar budaya. 

“Ini bisa membuka peluang untuk penggelapan aset cagar budaya,” kata koordinator SUKAT, Tungang Iskandar. 

Lebih lanjut SUKAT meminta DPR Aceh dan kementerian dalam negeri mengembalikan raqan tersebut kepada Disbudpar Aceh untuk diperbaiki. Sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik, keadilan, dan inklusivitas.

2 dari 3 halaman

Menggembosi Anggaran

Selain tidak merepresentasikan kepentingan budaya, raqan tersebut berpotensi menggembosi anggaran dan hanya berpihak pada pelaku bisnis. Ini menurut Tungang demi melihat tata kelola anggaran Disbudpar Aceh yang cenderung jauh dari harapan padahal anggaran yang dikelola mencapai setengah triliun rupiah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Kata Tungang, Disbudpar Aceh sering kali memiliki SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) tahunan yang signifikan. Contoh, pada tahun 2022 realisasi anggaran Rp198 miliar dari total anggaran Rp206 miliar, dengan Silpa sekitar Rp8,9 miliar. Pada tahun 2023, realisasi anggaran sebesar Rp128,2 miliar dari anggaran Rp130,7 miliar, dengan Silpa sekitar Rp2,5 miliar.

SUKAT juga menyoroti pernyataan Pj Gubernur Aceh, Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, saat menyampaikan pandangan Pemerintah Aceh mengenai Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 dalam rapat paripurna DPR Aceh. Lebih tepatnya mengenai tantangan berat yang dihadapi Pj dalam memperbaiki Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) di Aceh. 

SUKAT menyebutkan bahwa pada tahun 2020, IPK Aceh berada di angka 52,61 persen. Ini menunjukkan bahwa pembangunan kebudayaan di Aceh masih jauh di bawah rata-rata nasional, padahal Aceh memiliki potensi kebudayaan yang besar, yang sayangnya belum dimanfaatkan secara optimal, baik dari aspek pelestarian, ekonomi, maupun partisipasi masyarakat.

SUKAT mendesak Pemerintah Aceh dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengevaluasi kinerja Disbudpar Aceh agar dinas ini berpihak pada pengembangan ekosistem kebudayaan Aceh yang telah mengalami kemunduran selama 30 tahun terakhir. Sukat juga menyentil kelemahan metodologis dalam penyusunan Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah (PPKD) oleh Disbudpar Aceh yang dijadikan acuan dalam menyusun Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024. 

"Jika dokumen yang cacat itu dijadikan acuan dalam membangun kebudayaan Aceh, maka Raqan Pemajuan Kebudayaan akan gagal dari awal,” tegas Tungang.

Rancangan Qanun Aceh tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 sendiri merupakan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang diinisiasi oleh Banleg DPRA Periode 2019–2024 dan Pemerintah Aceh. Raqan ini masuk ke dalam sembilan raqan yang sedang dalam proses fasilitasi kemendagri.

3 dari 3 halaman

Mereka yang Tergabung dalam SUKAT

SUKAT merupakan kumpulan seratusan orang yang berasal dari kalangan seniman dan budayawan serta puluhan organisasi seni dan kebudayaan. SUKAT menyatakan raqan tersebut tidak mencerminkan akar masalah kebudayaan di Aceh.

Forum ini terdiri dari Tikar Pandan, Labs Aceh Rakitan, Aceh Documentary, Majelis Seniman Aceh, Telaga Art Space, Aceh Bergerak, Sejagat Rangkang Seni Jauhari-GSJ, Lembaga Seuramoe Budaya, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, Seueng Samlakoë, Kanot Bu Ekosistem, Dewan Kesenian Banda Aceh, Teater Rongsokan, Apotek Wareuna, Masyarakat Pernaskahan Nusantara-Aceh, Asosiasi Tradisi Lisan Cab. Aceh, KSBN Aceh, Katagamba, Markas Sinobi, ⁠Akarimaji, Komunitas Saleum, Komunitas Basajan, Komunitas Beulangong Tanoh, Komunitas Gayo Prasejarah, Komunitas Desember Kopi, KKS Jantho, The Gayo Institute (TGI), Sanggar Kuta Dance Teater, Aseti Sceh (Asosiasi Seniman Tari Indonesia), Seuramoe Teater Aceh (STA), Central Culture Simeulue, HipHop NAD Syndicate, Kamp Kulu, ⁠Terace Launge Sabang, Bersabtu Kita Teguh, Khali Tunggal, Forum Peduli Sejarah Islam, dan Ruang Tumbuh

Selain dari komunitas, juga terdiri dari ratusan seniman dan budayawan Aceh, yakni: Nisa R.A, Khairul Fajri Yahya, Jamal Taloe, Mahlizar safdi, Fikar W.Eda, Ampon Nazaruddin, Salman Yoga S, Peteriana kobat, ⁠Ida Fitri, Cut Ratna, Dek Jall, Mahrisal Rubi, Nazar Shah Alam (Apache), Abzari Jafar, Maimunzir (Bang Gaes), Taqiyuddin Muhammad, Azhari Aiyub, Thayeb Lhoh Angen, Azhari Meugit, Zulfikar Taqiyuddin, Ari Palawi, Iskandar Tungang, Chairiyan Ramli, Fozan Santa, Tuah Tharaya, Muhajir Abdul Aziz, Idrus bin Harun, Vandols, Fuady Keulayu, Zulham, Reza Mustafa, Hafidh Polem, Aulinda Wafisa, Jack Monarch, Alam Mirza, Eva Hazmaini, Zulfan, Nova, Hidayatullah, Rizki, Ziki, Raji, Aliyul, Aries Ardian, Achmad Zaki, Imam Saleum, T. Raja Badri, M. Ridho, M.Rais, Farhan Afrijal, T. Raja Ilhamuddin, Mukthi, M.Taupiq Rawal, T. Julfajri Tejo, Nainunis Nay, Agusriansyah, Jamaluddin Phonna, Faisal Ilyas, Sarjev, Yusuf Bombang Apa Kaoy, Herman RN, Hermansyah, Saniman, Hamzah, Mizuar Mahdi, Akbar Rafsanjani, Putra Hidayatullah, Adang, Adli, Hasan Kulu, Salaudin, Iswadi Basri, Fariz Albar, Ijuff, Ryan Abu, Feradi, Alfian Mata, Valicha Oja, Rocka Morta, Fuady Mardhatillah, Yusri Ramli, Tauris Mustafa, Reza Idria, Moritza Taher, Said Akram, Muhsin, Djamal Syarif, Al Hari, Jauhari Samalanga, Badudu, Mirza Irwansyah, Allyca Putri Anjani, Arifa Safura, DJ Rencong, Ersada Tarigan, Syarif Al-Qahar, Masykur Syafruddin, Ihan Nurdin, Roby Firmansyah, Rahmat Trisnamal, Nurul Fahmi, Ismail Arafah, Saiful Amri, Mariani, Muhammad Noza, Ariski Septian, Rindi P. Putra, Mellyan, Nurkhalis, Meria Ulfa, dan Muliadi.