Liputan6.com, Batam - Ditreskrimum Polda Kepri bersama Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepri berhasil mengungkap modus baru pengiriman tenaga kerja ilegal ke Malaysia. Modus baru yang dilakukan adalah dengan pemalsuan dokumen dan bergerak secara individual.
Pengungkapan ini disampaikan oleh Direktur Kriminal Umum Polda Kepri Kombespol Donny Alexander dan Kepala BP3MI Kepri, Kombes Pol Imam Riyadi, dalam konferensi pers di Mako Polda Kepri, Rabu siang (9/10/24)
Advertisement
Donny Alexander mengatakan dari Agustus hingga Oktober, tim gabungan yang terdiri dari penyidik Ditreskrimum dan BP3MI berhasil mengungkap empat kasus dengan lima tersangka, termasuk satu warga negara Malaysia.
Para tersangka terlibat dalam pengiriman tenaga kerja migran tanpa memenuhi persyaratan legal. Mereka memalsukan berbagai dokumen, termasuk KTP, izin keberangkatan dari orang tua, dan dokumen lainnya, untuk meloloskan para pekerja migran non-prosedural ke Malaysia.
"Modus yang digunakan terus berkembang, sekarang mereka bergerak secara individu atau berpasangan dengan dokumen palsu, berbeda dari sebelumnya yang menggunakan kelompok besar," ujar Donny.
Para korban, yang berasal dari berbagai daerah seperti Pekanbaru, Bengkulu, dan Jakarta, diiming-imingi pekerjaan di restoran dan kedai di Malaysia dan diterbangkan melalui Pelabuhan Harbour Bay dan Batam Centre.
Tersangka Terancam 10 Tahun Penjara
Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepri Kombes Pol Imam Riyadi menegaskan, pihaknya akan terus mendukung dan bekerja sama dalam mengungkap kasus-kasus serupa.
"Hingga Oktober 2024, BP3MI Kepri telah menerima lebih dari 2.000 tenaga kerja migran yang dideportasi dari Malaysia. Mereka juga berhasil mencegah 351 calon pekerja migran non-prosedural untuk diberangkatkan," ucapnya.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang diperbarui melalui UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, akan dikenakan kepada para tersangka. Ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp 15 miliar menanti.
Advertisement