Sukses

Ahli: Mental yang Sehat Berawal dari Keluarga yang Harmonis

Kesehatan mental merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan, karena dengan mental yang sehat seorang manusia dapat menjalankan hidup yang bahagia dan juga produktif di tengah masyarakat.

Liputan6.com, Yogyakarta - Keluarga yang sehat dan harmonis sangat berperan dalam pembentukan mental seseorang. Profesor Emeritus dari Family Studies di University of Nebraska John DeFrain, menjelaskan dalam risetnya ada fenomena yang terjadi secara konsisten yakni fakta bahwa orang-orang yang memiliki mental yang sehat biasanya tumbuh dengan didukung oleh keluarga yang kuat.

Menurut John, keluarga-keluarga yang menghasilkan orang-orang yang sehat secara mental memiliki enam kualitas yaitu apresiasi terhadap satu sama lain, komunikasi positif, komitmen terhadap keluarga, menikmati waktu bersama, rasa kesejahteraan spiritual dan nilai yang sama, serta kemampuan untuk menghadapi tekanan dan krisis secara efektif.

“Di antara keluarga yang saling mencintai dan peduli, keluarga yang kuat dan kualitas yang membuat mereka kuat sangat mirip dari satu budaya ke budaya lainnya. Model Kekuatan Keluarga Internasional kami memiliki enam kualitas utama, penghargaanndan kasih sayang satu sama lain, komunikasi yang positif, komitmen terhadap keluarga, waktu bersama yang menyenangkan, rasa kesejahteraan spiritual dan nilai-nilai bersama, serta kemampuan untuk mengelola stres dan krisis secara efektif,” ucap John di Grand Diamond Hotel Yogyakarta, Jumat 11 Oktober 2024.

Menurutnya hanya karena seseorang berasal dari keluarga disfungsional bukan berarti mereka tidak bisa menjadi seseorang dengan mental yang sehat. Salah satu cara agar seseorang tersebut memiliki mental yang sehat adalah dengan mencari teladan atau role model dari luar keluarga yang bisa menjadi contoh yang baik dalam berperilaku.

“Kamu mungkin tidak memiliki role model di keluarga tempat kamu dibesarkan. Mungkin yang kamu lihat hanyalah kekerasan dan ketidakbahagiaan. Atau mungkin ada satu atau dua orang di keluarga tempat kamu dibesarkan yang cukup baik. Nah, kamu belajar dari mereka. Kamu belajar dari gurumu di sekolah. Kamu belajar dari orang-orang di komunitasmu. Jadi, mungkin kamu tidak memiliki role model di keluargamu tetapi kamu bisa menemukan role model untuk hidup positif dari orang lain yang ada di luar keluarga,” jelas John.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi mengatakan bahwa terdapat 3 langkah yang perlu untuk dilakukan untuk melakukan implementasi kesehatan jiwa di lingkungan kampus UGM sebagai Health Promoting University. Pertama, program Edukasi Mahasiswa agar mahasiswa lebih sadar dan tahu akan perubahan di kejiwaan mereka. “Langkah ini juga penting untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mencari bantuan ahli dalam menangani masalah kejiwaan mahasiswa,” katanya.

Kedua, pembuatan kebijakan kampus yang mendukung kesehatan mental mahasiswa dalam rangka meningkatkan literasi mahasiswa terkait kesehatan jiwa. “Kebijakan tersebut juga harus menurunkan stigma terkait masalah kesehatan jiwa dan mendorong mahasiswa untuk mencari bantuan dalam menangani masalah mental,” ujarnya.

Langkah terakhir adalah pengadaan fasilitas-fasilitas untuk penanganan masalah kejiwaan. Beberapa diantaranya adalah fasilitas konseling serta akses informasi terkait kesehatan jiwa, dan tidak lupa akses ke psikologi dan psikiatri.

“Perguruan tinggi ini sebagai lingkungan pendidikan perlu membuat suatu lingkungan yang suportif dalam kesehatan jiwa mulai dari penyediaan akses informasi yang benar, layanan kesehatan jiwa berkualitas sampai dengan memberikan fasilitas yang mendukung peningkatan kesehatan jiwa bukan hanya mahasiswa tapi seluruh elemen yang berada di situ termasuk dosen dan juga kepada para pegawai-pegawai,” ungkap Imran. 

Sedangkan, Peneliti Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Indrayanti, menjelaskan mengenai pentingnya mental yang sehat di tempat kerja. Menurutnya banyak pekerja saat ini baik dari gen z maupun milenial ketakutan ditolak karena silang pendapat dengan atasan. “Kita merasa ada tujuan. Kita jadi bimbang, ketika kita ditolak untuk terlibat di dalam sebuah proyek karena beda prinsip. Menurut saya begini, menurut pimpinan begini, akhirnya gak cocok, terus kemudian ditolak,” katanya.

Menurut Indrayanti, penyelesaian dari masalah-masalah ini dapat dilaksanakan dengan melakukan beberapa langkah penyelesaian sistemik, ada strategi formal dan informal. Strategi formal dapat dilakukan dengan membangun budaya kesehatan mental inklusi, melakukan pencegahan proaktif, mendorong semua orang untuk memiliki kepedulian terhadap kesehatan mental dan menyelenggarakan employee assistance program.

Sedangkan untuk strategi informal dapat dilaksanakan dengan pembuatan safe space bagi pegawai, inisiatif peer-to-peer, ambil tanggung jawab sendiri, serta mengadakan dukungan eksternal dan aksi solidaritas. “Workplace Wellbeing bukan sekedar program, ia adalah perjalanan kolektif komitmen bersama, tanggung jawab kita bersama untuk membangun ruang kerja yang sehat dengan prinsip empati dan dukungan dalam setiap keputusan,” katanya.