Sukses

Belajar Toleransi di Kelenteng Tua Hok An Kiong Muntilan

Untuk memahami sejarah toleransi di Muntilan sejak zaman kuno, wajib berkunjung ke kelenteng Hok An Kiong Muntilan yang sudah berumur ratusan tahun.

Liputan6.com, Muntilan - Kehidupan masyarakat Kabupaten Magelang dikenal memiliki toleransi tinggi terhadap keberagaman. Bahkan, di kota Kecamatan Muntilan, sebuah gereja Katolik bisa berdiri di tengah kampung Muslim.

Pun demikian dengan Pecinan yang ternyata sudah berperan besar dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Belum lagi pondok pesantren besar Darussalam Watucongol ternyata juga berdiri berdampingan dengan Candi Ngawen.

Kelenteng Hok An Kiong menjadi salah satu artefak yang terus dijaga denyut hidupnya. Menurut Liang Hing, salah satu pengurus Kelenteng, nama Hok An Kiong berasal dari kata-kata hok, an, dan kiong. Hok itu artinya bahagia, An itu selamat, dan Kiong artinya istana.

"Bukankah ini nama yang keren, nama yang mendoakan siapa pun yang masuk di kelenteng ini bisa bahagia dan selamat," kata Liang Hing. 

Sementara itu, Gun Ham, pengurus lain bercerita bahwa kelenteng Hok An Kiong memiliki Hio Lo atau tempat menancapkan hio atau dupa terbesar di Asia Tenggara.

“Berbahan perunggu. Beratnya 3,8 ton dengan panjang 158 cm dan diameter 188 cm," kata Gun Ham.

Siang itu, Sudaryanto, salah satu calon Bupati Magelang berkunjung ke kelenteng ini. Ia datang tanpa disertai tim sukses apalagi aktivis partai politik pengusungnya.

"Niatnya untuk mempelajari sejarah dan pluralisme di Magelang. Jadi tak ada yang dari partai," katanya.

Sudaryanto mengaku ditemani Kyai Affifudin, salah seorang aktivis kerukunan beragama dan Aris Munandar, seorang pegiat budaya di Muntilan.

"Di kelenteng ini ada altar khusus yang didedikasikan kepada tokoh keberagaman yakni Gus Dur. Sebagai warga NU, tentu ini merupakan sebuah kehormatan juga," kata Kiai Afif.

Sementara Aris Munandar menyebutkan bahwa kelenteng Hok An Kiong menjadi sebuah tempat untuk beribadah 5 ajaran, yaitu ajaran.

"Kepercayaan Rakyat (folk religion), ajaran tradisi kebudayaan dan 3 ajaran lain, yakni Kong Hu Cu, pemeluk agama Buddha dan penganut Taoisme,” jelasnya.

Sudaryanto mengaku ia sangat ingin memahami sejarah keberagaman dan toleransi sebab tren kehidupan sosial menuju ke arah itu.

"Sekaligus untuk pembelajaran bahwa ketika masuk ke salah satu tempat ibadah, manusia tidak secara otomatis berpindah keyakinan. Karena bisa saja seseorang itu memang berniat belajar hal baik. Bukankah hal baik ada di semua tempat," kata Sudaryanto.