Liputan6.com, Jakarta - Toxic parent adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orangtua yang memiliki pola asuh yang tidak sehat, sering kali merugikan perkembangan mental dan emosional anak.
Pola asuh ini bisa berupa sikap yang terlalu mengontrol, merendahkan, atau bahkan mempermalukan anak secara terus-menerus. Toxic parent biasanya tidak menyadari bahwa tindakan mereka dapat menyebabkan luka psikologis jangka panjang pada anak, yang bisa berlanjut hingga dewasa.
Dampaknya dapat berupa rendahnya rasa percaya diri, sulitnya menjalin hubungan sehat, hingga masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan. Beberapa ciri umum toxic parent meliputi perilaku yang manipulatif, mengabaikan kebutuhan emosional anak, terlalu banyak menuntut, dan tidak menghormati batasan pribadi anak.
Advertisement
Baca Juga
Mereka mungkin sering mengkritik anak secara berlebihan, membandingkan anak dengan orang lain, atau menggunakan perasaan bersalah sebagai alat untuk mengendalikan perilaku anak.
Semua ini menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi anak, di mana mereka merasa tidak diterima apa adanya dan selalu takut melakukan kesalahan. Anak yang tumbuh dengan toxic parent cenderung mengalami berbagai masalah emosional dan psikologis.
Mereka mungkin mengalami kecemasan berlebihan, rasa tidak berharga, dan kesulitan untuk mengekspresikan diri. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghambat perkembangan kepribadian anak, membuat mereka sulit untuk membangun kepercayaan diri dan mengembangkan hubungan yang sehat dengan orang lain. Bahkan, banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini membawa trauma hingga dewasa.
Toxic Parent
Pola Asuh Sehat sebagai Solusi
Untuk mencegah menjadi toxic parent, orangtua perlu mengembangkan pola asuh yang sehat, di mana anak merasa dihargai dan dipahami. Pola asuh yang sehat menekankan komunikasi yang terbuka, mendengarkan anak tanpa menghakimi, dan memberikan kasih sayang yang konsisten.
Orang tua juga harus belajar untuk memahami kebutuhan dan emosi anak, serta memberikan dukungan tanpa terlalu mengontrol atau menuntut. Ini akan membantu anak tumbuh dengan perasaan aman dan percaya diri.
Batasan Anak
Salah satu cara untuk mencegah perilaku toxic adalah dengan menghormati batasan yang ditetapkan anak. Orangtua perlu memahami bahwa setiap anak memiliki ruang pribadi yang harus dihormati.
Misalnya, menghargai pendapat anak, memberi mereka kebebasan untuk mengekspresikan diri, dan tidak memaksakan keinginan atau harapan yang tidak realistis. Dengan menghormati batasan ini, orangtua menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap perasaan dan kebutuhan anak, yang penting untuk membangun hubungan yang sehat.
Melatih Pengendalian Emosi sebagai Orangtua
Mengendalikan emosi adalah kunci dalam mencegah perilaku toxic. Orangtua harus belajar untuk tidak melepaskan kemarahan atau kekecewaan kepada anak. Alih-alih berteriak atau menghukum secara berlebihan, penting untuk mengkomunikasikan perasaan dengan cara yang konstruktif.
Mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri sebelum berbicara dengan anak dapat membantu menghindari situasi yang eskalatif dan membuat anak merasa dihormati dan aman.
Mendidik Diri
Orangtua juga disarankan untuk terus belajar tentang pola asuh positif melalui buku, seminar, atau diskusi dengan ahli. Pola asuh positif menekankan pada pemberian contoh yang baik, memberikan pujian atas perilaku positif.
Menggunakan pendekatan yang penuh kasih sayang dalam mengatasi perilaku buruk. Dengan mendidik diri, orang tua dapat lebih memahami cara berkomunikasi yang efektif dan mencegah perilaku yang merusak hubungan dengan anak.
Mengakui Kesalahan dan Meminta Maaf
Tidak ada orangtua yang sempurna, dan terkadang kesalahan tidak bisa dihindari. Namun, yang membedakan toxic parent dengan orangtua yang sehat adalah kemauan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Mengakui bahwa ada kesalahan dalam perlakuan terhadap anak bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah menuju hubungan yang lebih baik. Dengan cara ini, orang tua menunjukkan bahwa mereka menghargai perasaan anak dan bersedia memperbaiki diri, yang penting dalam membangun rasa saling percaya.
Â
Penulis: Blvana Fasya Saad
Advertisement