Sukses

Provos Polda NTT Gagal Jemput Paksa Ipda Rudy Soik

Kedatangan polisi ini memicu ketegangan, terutama karena Rudy Soik saat itu sedang bersama anak-anaknya. Kehadiran pengacara di lokasi membuat situasi semakin tegang

Liputan6.com, Jakarta - Ipda Rudy Soik, mantan KBO Reskrim Polres Kupang Kota, tiba-tiba didatangi beberapa anggota Provos Polda NTT di kediamannya, Senin 21 Oktober 2024 sore. Kedatangan puluhan provos itu berniat menangkap Rudy Soik untuk diamankan di tempat khusus atau patsus Polda NTT.

"Ada sekitar 20 anggota datang untuk menangkap saya," kata Rudy.

Ia mengatakan, polisi yang datang ke kediamannya itu tidak membawa surat tugas atau surat perintah penangkapan dan mengklaim diperintahkan langsung oleh Kapolda NTT. "Tidak ada dasar penangkapan. Katanya perintah Kapolda," katanya.

Kedatangan polisi ini memicu ketegangan, terutama karena Rudy saat itu sedang bersama anak-anaknya. Kehadiran pengacara di lokasi membuat situasi semakin tegang, dengan perdebatan mengenai legalitas penjemputan yang dilakukan tanpa dokumen resmi.

Setelah gagal menunjukkan dasar hukum yang jelas, rombongan polisi akhirnya meninggalkan tempat tersebut tanpa membawa Rudy Soik.

Penasihat Hukum Ipda Rudy Soik, Ferdi Makhtaen, menilai upaya jemput paksa aparat Polda NTT terhadap Ipda Rudy Soik sebagai bentuk arogansi Kapolda NTT, Irjen Pol. Daniel Tahi Monang Silitonga dan tidak manusiawi karena tanpa surat perintah.

"Menurut kami ini tindakan tidak manusiawi. Apakah dibarengi dengan dendam pribadi? Ini bukan sekadar untuk penegakan aturan di internal, tetapi ini ada unsur lain,” sebutnya.

 

Simak Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Ironi

Menurut Ferdi, sangat ironis dan tidak masuk akal jika hanya karena alasan tidak masuk kantor selama dua hari, lalu Ipda Rudy Soik harus dijemput paksa dengan mendatangkan banyak anggota Polda NTT ke rumahnya.

Menurutnya, upaya jemput paksa Ipda Rudy Soik juga rancu dan aneh, karena di satu sisi Polda NTT sebagaimana putusan sidang etik, telah memberhentikan Ipda Rudy Soik dengan tidak hormat (PDTH). Juga hingga hari ini belum ada putusan banding atas keberatan Ipda Rudy Soik terhadap keberatannya.

“Mereka beralasan mau jemput pak Rudy untuk menjalankan hukuman. Nah, menjalankan hukuman harus ada putusan yang jelas. Ini yang pertama tidak ada putusan. Putusan sampai hari ini klien kami tidak pernah pegang, tidak pernah diinformasikan. Yang kedua, tidak ada surat kepada klien kami terkait keberatan klien kami,” tegasnya.

Menurutnya, Polda NTT harusnya menempuh proses yang benar dan profesional dalam memanggil atau menjemput paksa Rudy Soik dengan mengantongi surat perintah dari Kapolda NTT, sehingga tidak menimbulkan keributan di masyarakat.

Ia menambahkan, upaya jemput paksa Ipda Rudy Soik oleh puluhan anggota Polda NTT merupakan tindakan kriminalisasi, dan upaya pembungkaman terhadap Ipda Rudy Soik yang berupaya mengungkap kasus mafia BBM Subsidi.

“Saya minta kasus ini menjadi atensi Kapolri. Ini akumulasi dari ketidakpuasan seorang Kapolda NTT terhadap pemberitaan-pemberitaan yang sudah ada, mulai dari pemasangan police line, dan dugaan mafia BBM,” tandasnya.

 

3 dari 3 halaman

Bantahan Polda NTT

Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol. Ariasandy mengatakan anggota Polda NTT yang ditugaskan ke kediaman Ipda Rudy Soik sudah membawa serta surat perintah.

"Sudah ditunjukan kepada Ipda Rudy Soik, namun Ipda Rudy Soik menolak," ungkapnya.

Ia menjelaskan, upaya jemput paksa Ipda Rudy Soik itu terkait hukuman disiplin yakni putusan Patsus 14 hari yang belum dijalani Ipda Rudy Soik, karena yang bersangkutan mengajukan keberatan atas putusan tersebut.

Namun, setelah putusan pengajuan keberatan itu keluar yang isinya menolak keberatan dari Ipda Rudy Soik, maka berdasarkan surat perintah, anggota provos Polda NTT menjemput Rudy Soik di kediamannya untuk menjalani putusan tersebut.

“Anggota provos yang bertugas sudah melaksanakan tugas sesuai SOP dan membawa administrasi lengkap dan sudah dilihatkan kepada yang bersangkutan," ujarnya.