Sukses

Tingkatkan Ekonomi Warga, Mahasiswa UMY Kembangkan Inovasi Olahan Buah Salak

Dalam wujud memberdayakan masyarakat di Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem, Sleman, mahasiswa Kelompok Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tingkatkan potensi warga lokal dalam mengembangkan inovasi produk olahan buah salak.

Liputan6.com, Yogyakarta - Bulan Juni sampai Oktober 2024 mahasiswa Kelompok Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) fokus pada pengembangan inovasi produk olahan salak didanai oleh Kemdikbudristek sebesar 35 juta rupiah. Kegiatan bertema “Akselerasi Ekonomi Masyarakat Prasejahtera Melalui Inovasi Olahan Salak untuk Mewujudkan Villagepreneur Desa Hargobinangun” dipilih karena tantangan harga buah salak.

Aris Slamet Widodo Kepala Divisi Pengabdian Mahasiswa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) UMY, mengatakan melalui kegiatan pengabdian masyarakat mahasiswa KKN UMY ini harapannya dapat menambah potensi penjualan buah salak untuk mendukung perekonomian warga karena rendahnya harga buah salak.

“Program KKN ini akan meningkatkan potensi jual buah salak yang harganya dominan rendah untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam oalahan salak. Tidak hanya memberi nilai tambah pada produk buah salak saja, tetapi juga menjadi solusi kreatif untuk meningkatkan ekonomi lokal,” papar Aris, Senin 14 Oktober 2024.

Salah satu cara agar perekonomian warga naik maka perlu inovasi buah salak menjadi berbagai olahan produk bernilai tinggi. Inovasi itu seperti selai salak yang dikembangkan sebagai isian bakpia, minuman imitasi kopi berbahan dasar biji salak yang kaya antioksidan dan kolagen (Ascof), minuman imitasi teh dari kulit salak (Astea), juga diperkenalkan sebagai inovasi yang memanfaatkan seluruh bagian buah.

Dzaffrin Al Ghifary Ketua Kelompok PPK Ormawa UMY mengatakan untuk meningkatkan potensi warga yang memiliki salak dengan harga yang rendah di bawah rata-rata. Hal ini penting karena dapat membuat warga menelantarkan kebun salak dan tidak memperoleh nilai ekonomi yang sebenarnya bisa memajukan komoditas salak di desa.

“Tujuan program kami adalah meningkatkan potensi warga lokal dan nilai ekonomis salak. Di desa Hargobinangun harga salak paling rendah bisa mencapai 2500 per kilogram. Makanya warga di sana antusiasnya kurang, akibatnya kebun salak pun terbengkalai. Karena melihat hal tersebut, kami berpikir bagaimana caranya agar komoditas salak tidak mati salah satunya dengan program kami,” tutur Dzaffrin.

Lebih lanjut Dzaffrin menjelaskan warga Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem, Sleman sebelumnya sudah memiliki produk olahan salak yaitu dodol dan keripik salak. Warga juga sempat ragu dengan program ini, tetapi setelah dijalankan dengan pelatihan yang dilakukan akhirnya warga bisa percaya dan program ini terus berjalan sampai saat ini. “Sebelumnya warga sudah pernah menginovasikan produk olahan salak jadi dodol dan keripik salak tapi tidak dilanjutkan. Respons warga awalnya sempat memastikan apakah kelompok kami sanggup dan bisa menjalankan programnya. Nah kami berusaha memastikan lewat pelatihan yang kami berikan. Lalu lama-kelamaan akhirnya masyarakat bisa percaya atas program yang kami jalankan,” jelas Dzaffrin.

Ia berharap program olahan salak ini dapat berjalan terus dan berlanjut oleh masyarakat dengan hibah alat kebutuhan produksi olahan buah salak yang menjadi pendukung kegiatan. Dzaffrin juga menyampaikan keberlanjutan program ini akan membuatkan izin produk dan pendaftaran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). “Harapannya ini bisa jadi penopang program yang sudah kami susun dan terus dilanjutkan oleh warga, karena kami juga ada hibah alat kebutuhan produksi. Ke depannya kami sedang proses pembuatan perizinan produk makanan dan akan kami daftarkan menjadi UMKM,” tutup Dzaffrin.