Liputan6.com, DIY - Sejumlah warga Daerah Istimewa Yogyakarta mengutarakan keluh kesahnya dan berharap gelaran Pilkada Serentak 2024 melahirkan pemimpin baru yang membawa perubahan. Pilkada tanpa politik uang diyakini menghadirkan pemimpin yang berintegritas dan beretika.
Keluh kesah ini seperti disampaikan petani wanita hortikultura di lereng Gunung Merapi yang mengaku kesulitan mendapatkan akses irigasi tanaman lomboknya. Di lahan yang terletak di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman mengaku sering kali harus membawa air dari rumah.
“Tidak hanya itu, kita juga terbatas mengakses peralatan pertanian bantuan dari pemerintah yang dikuasai segelintir orang di kelompok tani,” jelasnya saat pernyataan sikap ‘Paguyuban Wong Cilik Sleman’, Rabu (30/10/2024).
Advertisement
Baca Juga
Susi juga mengaku gemes dengan petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Sleman yang tidak mendekat kepada petani kecil yang notabene banyak membutuhkan bantuan dan solusi. PPL dinilai lebih senang mendekat kepada pembesar-pembesar yang ada di kelompok tani.
Dirinya berharap, Pilkada Serentak ini melahirkan pemimpin baru yang lebih peduli dengan dunia pertanian, agar ke depannya masa depan pangan terjaga dan petani lebih sejahtera.
Subardi, pedagang di Pasar Pakem, Sleman meminta siapapun pemimpin baru yang terpilih di Pilkada Serentak 27 November nanti berani menata pedagang di pasar tersebut yang terbagi dua. Dirinya bercerita, jika di hari pasaran, Pon dan Legi pedagang terbagi di sebelah utara pasar, terminal dan dalam pasar sendiri.
“Pedagang tidak ingin muluk-muluk, kita ingin ditata ulang meskipun tidak harus wah. Namun, pedagang berkumpul jadi satu agar tetap ramai,” sebutnya.
Mewakili komunitas jeep wisata Merapi, Waluyo menyebut selain mempermudah akses pada bahan bakar bersubsidi. Pemimpin baru di Sleman nanti bisa melakukan penataan pada kawasan Merapi agar lebih menarik dan banyak dikunjungi wisatawan.
Gerakan Anti-Politik
Menurutnya, pemilih muda adalah pemilih di masa depan yang tahu dan mengerti arti politik uang. Dengan dimulai dari tingkat desa, gerakan anti politik uang akan terus meluas dan diinisiasi pemuda.
Sementara itu, di Bantul, suara akan penolakan politik uang di gelaran Pilkada Serentak 2024 semakin menguat. Salah satunya dengan bertambahnya desa yang mendeklarasikan sebagai Desa Anti Politik Uang (APU).
Penolakan politik uang seperti disuarakan warga Kecamatan Banguntapan, Haryadi yang mengaku akan lebih selektif dalam memilih calon pemimpin Bantul lima tahun kedepan. Dirinya tidak ingin lagi memilih kucing dalam karung.
“Pengalaman sebelumnya, praktik politik uang untuk membeli suara melahirkan pemimpin yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat,” katanya.
Baca Juga
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bantul telah menetapkan Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, sebagai desa APU yang ke-18. Kepala Desa Guwosari, Masduki Rahmad berharap desanya menjadi role model dalam membangun proses politik yang baik, proses politik yang murah, proses politik ceria dan proses politik yang bermartabat untuk menghasilkan pemimpin yang bisa diajak bekerjasama.
“Kepala desa Guwosari yang terpilih bukan dari kalangan berduit. Semua punya dan menawarkan gagasan, keinginan membangun yang harus ditularkan. Tidak semata-mata dengan uang bisa duduk menjabat atau memegang amanah,” katanya.
Sebagai Ketua Karang Taruna Bantul, Masduki menilai keterlibatan anak-anak muda melawan praktik politik uang sangat penting karena merekalah roh gerakan ini.
Menurutnya, pemilih muda adalah pemilih di masa depan yang tahu dan mengerti arti politik uang. Dengan dimulai dari tingkat desa, gerakan anti politik uang akan terus meluas dan diinisiasi pemuda.
Advertisement