Liputan6.com, Yogyakarta - Guru Besar dalam bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian UGM, Subejo mengatakan pembangunan SDM dan kelembagaan yang unggul menjadi salah satu faktor kunci dalam mengatasi keterbatasan SDM pertanian. Sehingga butuh generasi muda untuk menyelesaikan masalah pertanian itu, karena saat ini angkatan kerja pertanian kian menua dan kurang adaptif.
“Implikasinya jumlah petani tua yang dominan ini ada dua, di satu sisi keprihatinan, tapi di sisi lain ini ruang baru,” jelas Subejo dalam webinar yang bertajuk “Pemuda Bersatu Pertanian Maju”, Sabtu 26 Oktober 2024.
Menurutnya sektor pertanian akan maju jika ada pembangunan kapasitas dan fasilitasi untuk anak muda, ditambah dorongan revolusi hijau dari pemerintah untuk tanaman pangan dan agroforestry, program revolusi biru untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan serta revolusi putih untuk bidang peternakan.
Advertisement
Baca Juga
Subejo mengatakan penting bagi generasi muda masuk dalam agenda pertanian karena memiliki pengetahuan dan perspektif yang lebih luas, sikap positif, akses informasi, dan kemampuan membangun jaringan. Generasi muda dipandang mampu lebih memberikan nilai tambah yang tidak hanya berkutat dalam hal komoditas, tetapi juga menyelenggarakan pengalaman pertanian contohnya membuka wisata panen kopi atau petik buah. “Usaha kreatif ini lekat dengan peran generasi muda,” katanya.
Selain itu untuk membina para petani ia mendorong adanya cyber extension, untuk melengkapi penyuluhan konvensional secara lebih cepat melalui IT sehingga saling melengkapi. “Kalau kita dorong pasti manfaatnya sangat besar, contohnya seperti adanya DESA (Digital Extension Society for Agriculture) apps ini,” katanya.
Menurutnya penguatan kelembagaan pertanian juga penting untuk menggerakkan petani dengan pola yang bermacam-macam sesuai dengan problem dan potensi yang dimiliki petani di daerah. “Seperti yang telah kami lakukan di UGM, kami berkolaborasi dalam program pengembangan semangka non biji di Sleman hingga mampu mendorong produktivitasnya sampai 30 ton seminggu,” katanya.
Inovasi menurutnya penting melalui pemanfaatan sumberdaya lokal dan pemberian nilai tambah. Inovasi ini dapat berkolaborasi dengan kelompok usaha setempat, seperti Kelompok Wanita Tani (KWT), koperasi, atau pasar lelang yang memungkinkan terjadi tawar menawar yang sehat antara petani dan tengkulak atau pembeli. “Regenerasi muda dan revitalisasi kelembagaan menjadi hal yang penting untuk ini. Pemuda berpotensi besar membawa pertanian Indonesia menjadi semakin maju,” tutupnya.
Sementara Tumpal Gultom petani milenial asal Kabupaten Gunungkidul membagikan kisahnya terjun ke pertanian dengan mengabadikan kegiatannya dengan membagikannya di Youtube. Antusiasme masyarakat yang besar membuatnya membangun kebun edukatif untuk eksperimen dan eksplorasi, seperti praktik metode tanam mulai dari hidroponik, aquaponik, organik, integrated farming, maggot, dan sebagainya yang membuat akun sosial media instagramnya menyentuh 600.000 lebih pengikut.
Lalu ia mulai menyanggupi kebutuhan pasokan sayur dan membuat kebun produksi sayur dengan sistem hidroponik yang saat ini menghasilkan selada sebanyak 15–20 kg per hari secara rutin. Lalu, kebun aquaponik skala prototipe dikembangkannya dengan menanam kangkung, bayam, cabai, melon, dan terong. Buah dan sayur ini ditanam di atas kolam ikan lele, bawal, dan nila untuk memupuk tanaman tersebut dengan limbah air kolam ikan. “Produk pertanian akan selalu dibutuhkan karena jumlah manusia dan kebutuhan pangan meningkat, tetapi jumlah petani semakin menurun,” kata tumpal.
Menurutnya, pekerjaan di bidang pertanian sangat mudah dengan adanya bantuan teknologi, sosial media, dan digitalisasi. Soal kendala klasik petani yaitu modal, ia mampu menanganinya dengan hasil dari media sosial. "Masalah lainnya seperti harga jual yang murah Tumpal tangani dengan menghindari tanam serentak-panen raya, tetapi tanam setiap hari dan panen setiap hari."
Langkah ini penting dilakukan karena harga jualnya akan lebih tinggi hingga mampu menutup harga pupuk dan operasional yang mahal. Selain itu ia terbebas dari harapan adanya bantuan pemerintah karena telah mampu berdikari. “Anak muda sebagai petani sekarang tidak hanya menanam dan panen sayuran, tetapi bisa juga menjual jasa seperti jasa pembuatan aquaponik, menjual edukasi pertanian, wisata pertanian, dan membuat konten di sosial media hingga dapat termonetisasi,” ungkapnya.
Tumpal mendorong pengembangan kreativitas generasi muda sebab ia sudah merasakan dampak pemanfaatan sosial media ini yang berimbas pada branding diri, kepercayaan customer karena proses produksinya terpampang jelas, serta mempermudah promosi penjualan tanpa tengkulak. Tumpal berharap integrasi modern farming yang diiringi dengan pemanfaatan sosial media makin digeluti anak muda. “Jangkauan dan relasi banyak kami dapatkan dari sosial media, bahkan hingga kementerian pertanian. Tidak perlu memiliki saudara yang bekerja di sana,” tuturnya.