Sukses

Audit BPK Sebut Bantuan Kuota Internet Siswa di Era Nadiem Bocor Rp 1,5 Triliun

Anggota DPR RI Abdul Fikri Faqih menyimpulkan bahwa Mendikbudristek Nadiem Makariem saat itu menyepelekan masukan DPR RI sehingga diduga ada kebocoran yang merugikan negara.

Liputan6.com, Semarang - Komunitas Pemberantas Korupsi (KPK) melaporkan dugaan kerugian negara Rp1,5 triliun akibat bantuan kuota internet dari Kemendikbudristek era Nadiem Makarim ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan tersebut dilakukan menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas inefisiensi dalam penyaluran bantuan tersebut. Berdasarkan audit BPK, bantuan kuota internet dari Kemendikbudristek pada tahun anggaran 2021 tidak mencapai sasaran yang diharapkan.

Hal ini berdampak pada pemborosan anggaran yang berujung pada kerugian negara. BPK juga mencatat lemahnya sinkronisasi data penerima antara sistem Dapodik dan PDDikti, serta evaluasi manfaat program yang belum dilakukan secara menyeluruh. Anggota DPR RI, Dr Abdul Fikri Faqih menyoroti dugaan kerugian negara bantuan kuota internet dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) atau sekarang Kemendikdasmen yang tidak terpakai tersebut.

"Saat rapat tahun 2021, saya mengingatkan bahwa wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) belum tercover penuh jaringan internet, sedangkan SDM guru kita juga masih belum siap, harusnya selesaikan PR ini dulu," katanya, Senin (11/11/2024).

2 dari 2 halaman

Pembagian Kuota Tak Mengacu Data

Program bantuan kuota ini diatur melalui Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2021 dan Nomor 23 Tahun 2021. Bantuan kuota diberikan selama tujuh bulan, yaitu Maret hingga Mei dan September hingga Desember 2021, dengan melibatkan lima operator seluler utama: PT Telkomsel Tbk., PT XL Axiata Tbk., PT Indosat Tbk., PT Hutchison 3 Indonesia, dan PT Smartfren Telecom Tbk.

Saat itu Fikri menjadi Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Kesimpulan rapat menyebut bahwa program tersebut masih belum matang dari sisi perencanaan dan terburu-buru. "Hal itu diperburuk pemerintah tidak optimal menyediakan akses internet hingga 100% di wilayah 3T," katanya.

Selain itu, dalam pembagian kuota tersebut dinilai tidak efisien antara pembagian Kuota Umum dan Kuota Belajar serta jumlah keseluruhan hingga berpuluh-puluh gigabytes. Jumlah kuota yang diterima oleh murid PAUD adalah 7GB, murid dasar dan menengah sebesar 10GB, pendidik PAUD hingga menengah 12GB, dan 15GB bagi mahasiswa serta dosen. "Hasil survei saat itu 60 persen guru masih gagap teknologi informasi. Jadi ini jelas tak mengacu data dan apa gunanya survei jika hanya ditabrak dan menghabiskan anggaran," kata Fikri.

Video Terkini