Liputan6.com, Jakarta - Pilkada Jakarta 2024 ini menghadirkan tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, yaitu Ridwan Kamil dan Suswono, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana, serta Pramono Anung dan Rano Karno. Seiring dengan semakin padatnya perdebatan mengenai efisiensi dan keefektifan pilkada, wacana tentang penerapan sistem satu putaran semakin mengemuka. Sistem satu putaran ini akan membuat pemilihan hanya dilangsungkan dalam satu tahap, jika ada pasangan calon yang meraih suara lebih dari 50% dalam putaran pertama. Ketiga pasangan calon ini sama-sama melontarkan kesiapannya apabila pilkada Jakarta berlangsung satu putaran.
“Kami mengajak masyarakat Jakarta untuk tidak melakukan Golongan Putih (Golput) dan Gerakan Coblos Semua (Gercos) di dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DKI Jakarta pada tahun 2024. Hal tersebut sebagai wujud tanggung jawab warga negara dalam memilih calon pemimpin dan menyukseskan pesta demokrasi yang di gelar,” kata Fikri Adli Nazhif (Koordinator Eksekutif M-Langkah 1811) yang ditemui di Jakarta, Senin.
Pilkada satu putaran diyakini membawa sejumlah keuntungan bagi Jakarta. Dari segi anggaran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan dana sebesar Rp 975 miliar untuk Pilkada dua putaran. Jika pemilihan berlangsung dalam satu putaran, sisa anggaran tersebut dapat dialihkan untuk berbagai program pembangunan kota lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, satu putaran juga diharapkan dapat mengurangi potensi polarisasi. Pilkada dengan dua putaran sering kali membuat masyarakat semakin terpolarisasi, sementara satu putaran dapat membawa hasil yang lebih diterima mayoritas, sehingga mengurangi perpecahan.
Namun, terdapat pula sejumlah kerugian dari pelaksanaan Pilkada satu putaran. Beberapa kalangan berpendapat bahwa satu putaran dapat mengurangi proses kompetisi yang sehat. Dengan dua putaran, calon yang lolos ke putaran kedua memiliki kesempatan untuk menarik dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, memperbaiki kekurangan, dan mendalami visi mereka. Dalam satu putaran, proses ini menjadi terbatas, yang bisa berisiko menurunkan kualitas debat publik.
Selain itu, waktu yang singkat dalam satu putaran juga meningkatkan risiko kecurangan dan praktik politik uang. Pemilih yang kurang terinformasi bisa terpengaruh janji-janji politik, sehingga mengurangi kualitas pilihan.
“Sistem Pilkada satu putaran memberikan efisiensi dan kesederhanaan, namun juga membawa potensi tantangan dalam aspek keadilan dan kualitas kompetisi. Pada akhirnya, yang terpenting adalah masyarakat Jakarta dapat memilih secara bijak dan objektif untuk menghasilkan pemimpin yang kredibel, yang akan membawa Jakarta menjadi kota yang lebih maju dan global,” kata Fikri.
“Pemilihan ini tidak hanya menjadi ajang demokrasi, tetapi juga langkah strategis dalam menyambut transformasi Jakarta menuju kota bisnis internasional. Semoga Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dapat memberikan kontribusi terbaik bagi Jakarta dan seluruh warganya,” lanjut Fikri.