Sukses

Peran Perempuan Kelola Desa Wisata Didorong Meningkat

Data Jaringan Desa Wisata (Jadesta), sebanyak 23 persen dari total 6000an desa wisata dikelola perempuan. Melalui pedoman ini, pemerintah tidak menginginkan persaingan, namun lebih melihat bagaimana peluang serta partisipasi perempuan.

Liputan6.com, Yogyakarta - Meningkatnya minat wisatawan perempuan untuk berwisata mandiri menghadirkan peluang pasar yang sangat besar bagi industri pariwisata, khususnya di Indonesia. Kehadiran pengelola desa wisata dari kalangan perempuan didorong terus meningkat untuk menciptakan destinasi yang aman dan nyaman bagi perempuan.

Dorongan meningkatkan peran perempuan untuk kelola desa wisata dilakukan Kemenparekraf, Kemendesa dan Kementerian PPA melalui pedoman pedoman desa wisata ramah perempuan yang diluncurkan 30 Agustus 2024.

Sosialisasi pedoman dilakukan Badan pelaksana Otorita Borobudur (BOB) dalam forum diskusi group (FGD) ‘Peningkatan Kapasitas Perempuan di Desa Wisata’ di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. BOB mengundang 21 perwakilan pengelola desa wisata di Kulon Progo, Sleman, Kota Yogyakarta, Purworejo dan Magelang.

“Sosialisasi pedoman ini bertujuan menumbuhkan kesadaran bahwa posisi perempuan dan laki-laki sama. Tentu kita tidak bisa menghindari budaya Indonesia yang lebih patriarki. Namun keberadaan desa wisata yang dikelola perempuan menjadi referensi,” kata Sekretaris Utama Kementerian Pariwisata Ni Wayan Giri Adnyani yang menjadi pembicara kunci.

Data Jaringan Desa Wisata (Jadesta), sebanyak 23 persen dari total 6000an desa wisata dikelola perempuan. Melalui pedoman ini, pemerintah tidak menginginkan persaingan, namun lebih melihat bagaimana peluang serta partisipasi perempuan.

“Okelah, jumlahnya pemimpin dari perempuan masih seperti itu, tapi tetap harus diberikan peluang. Jika ada peluang perempuan masuk sebagai pemimpin di 77 persen desa wisata yang ada, maka jangan dihalangi,” ucapnya.

Kehadiran perempuan dalam tata kelola desa wisata dinilai semakin memperbesar peluang destinasi menjadi rujukan wisatawan perempuan. Meski masih masuk dalam mix market, namun keberadaan perjalanan wisata mandiri oleh perempuan (Women Solo Travel) trendnya semakin meningkat.

Bahkan komunitas wisatawan perempuan juga semakin banyak, dimana salah satu komunitas beranggotakan 500 ribu dan bisa menjual paket wisata sendiri.

“Indonesia perlu merespons tren ini, salah satunya melalui kebijakan desa wisata ramah perempuan. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi berbagai pemangku kepentingan, baik pengelola maupun wisatawan,” Giri menegaskan.

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 82 Tahun 2024 ada sejumlah pedoman bagi suatu desa wisata bisa disebut ramah perempuan. Dimana pedomant tersebut terdiri dari besarnya pelibatan perempuan di kelembagaan, atraksi dan fasilitas wisata memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan perempuan, SDM melibatkan perempuan, pendekatan usaha mempertimbangkan keterlibatan perempuan hingga konten promosi harus memberikan perlindungan terhadap perempuan.

Plh Direktur Utama BOB Yusuf Hartanto menambahkan para peserta merupakan pengelola desa wisata di wilayah DIY dan Jawa Tengah khususnya di kawasan otorita Borobudur.

“Kami menilai penting desa wisata di kawasan ini mendapatkan pemahaman tentang desa wisata ramah perempuan. Kami siap memfasilitasi berbagai desa wisata untuk menghadirkan keamanan dan kenyamanan kepada wisatawan,” terangnya.

Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Sleman Kus Endarto menyebut belum banyak desa wisata di wilayahnya yang dipimpin perempuan. Satu desa yang dipimpin perempuan Desa Wisata Pentingsari, Pakem.

“Namun peran perempuan sangatlah besar dalam perkembangan desa wisata. Mereka berada di balik layar dari berbagai kegiatan-kegiatan besar yang memajukan desa wisata,” katanya.

Berkaca dari Desa Wisata Pentingsari, Kus menyatakan kepemimpinan perempuan ternyata mampu menelurkan berbagai atraksi wisata yang lebih nyaman dan aman bagi perempuan dalam menikmati alamnya.