Liputan6.com, Gorontalo - Pembelian atau pengadaan persediaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) pada Rumah Sakit Tani dan Nelayan (RSTN) Boalemo ternyata tidak sesuai ketentuan. Hal itu berdasarkan temuan dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Perwakilan Gorontalo tahun 2023. LHP itu menjelaskan bahwa anggaran pengadaan persediaan obat dan BMHP di RSTN sebesar Rp 1.668.487.296,12 pada TA 2023.
Namun, hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan persediaan pada RSTN menunjukkan persediaan obat dan BMHP tidak sesuai ketentuan batas kedaluwarsa obat dan perbekalan kesehatan. Hal itu bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/238/2017 tanggal 8 Juni 2017 tentang Kriteria Batas Kadaluarsa Obat dan Perbekalan.
Baca Juga
Adapun Surat Edaran Menteri Kesehatan itu mengatur Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan yang diadakan mempunyai batas kedaluwarsa paling sedikit dua tahun atau 12 bulan pada saat diterima. Tetapi, apa yang dilakukan oleh RSTN tidak sesuai dengan regulasi tersebut. Temuan BPK menyebut, RSTN membeli obat dan BMHP yang berpotensi kedaluwarsa kurang dari dua tahun sejak diterima.
Advertisement
Pemeriksaan BPK menyebut, batas kedaluwarsa obat yang dapat diterima oleh Instalasi Farmasi RSTN yaitu minimal 12 bulan dari tanggal kadaluarsa obat dan BMHP. Batas minimal tersebut ditentukan sendiri oleh pihak Instalasi Farmasi RSTN karena mempertimbangkan waktu pengiriman, jenis obat termasuk fast moving dan kesanggupan penyedia yang hanya mampu produksi di bawah 24 bulan karena kekurangan bahan baku.
Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, masih terdapat sisa persediaan hingga 30 April 2024 sebesar Rp 87.939.443,37 dengan masa kedaluwarsa kurang dari 24 bulan. Direktur RSTN, dr. Rahmawati Dai saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. Bahkan, katanya, ada obat yang dibeli 6 bulan sebelum masa kedaluwarsa, yakni; obat yang emergensi yang segera digunakan.
Ia mengatakan bahwa, pembelian obat yang tidak sesuai ketentuan itu terpaksa dilakukan karena bersifat urgent, terlebih lagi distributor tidak ada lagi persediaan obat selain 6 bulan lagi kedaluwarsa. Tetapi, katanya, obat yang dibeli sebelum 6 bulan lagi kedaluwarsa itu habis terpakai sebelum habis masa kedaluwarsa. Bahkan, katanya, hanya dalam waktu tidak sampai 1 bulan sudah habis. “Jadi ketika diperiksa BPK, obat sudah terpakai. BPK memberikan peringatan jangan lagi beli obat 6 bulan sebelum kedaluwarsa,” kata dr. Rahmawati Dai kepada Hibata.id, melalui pesan Whatsapp, Minggu (17/11/2024).
Selain obat yang emergensi, kata dia, ada juga obat yang dibeli dalam kurung waktu 12 – 18 sebelum masa kedaluwarsa. Ia bilang, itu obat itu dibeli secara berangsur-angsur untuk pemakaian 3 bulan. “Habis terpakai semua karena masih 1 tahunan, dan itu pun belinya sedikit-sedikit untuk pemakaian 3 bulan. Tidak dibeli sekaligus,” ucapnya.