Liputan6.com, Jambi - Saluran parit selebar setengah meter mengelilingi bangunan Candi Teluk I yang masuk bagian Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi di Desa Kemingking Dalam, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Airnya hitam pekat, terkadang bau busuknya menguap .
Tak jauh dari situs Candi Teluk I yang telah dipugar itu, gunungan emas hitam menumpuk. Lalu lalang prahoto dan raungan aktivitas buldoser di siang yang terik memecah keheningan di situs bersejarah itu.
Baca Juga
“Sudah puluhan tahun situs candi ini dikepung aktivitas industri penumpukan batu bara,” kata Mukhtar Hadi kepada Liputan6.com medio Juli 2024.
Advertisement
Borju - sapaan akrab Mukhtar Hadi dari Komunitas Rumah Menapo mencatat terdapat tiga candi dan lima menapo (gundukan tanah berisi reruntuhan bata yang belum diangkat) yang masih dikepung aktivitas industri penumpukan batubara, kilang minyak sawit, penumpukan cangkang sawit, dan penumpukan batusplit.
Borju memerinci situs bersejarah yang tak berdaya dikepung industri itu meliputi Candi Teluk I, Candi Teluk II, dan Candi Cina. Sedangkan situs menapo diantaranya Menapo Istano, Menapo Kemingking I, Menapo Kemingking II, Menapo Pelayangan I, dan Menapo Pelayangan II.
Bersama seorang kawan, saya mengajak Borju menengok Candi Teluk I yang telah dipugar. Candi ini masih ditutup pagar seng. Akses untuk menuju ke candi ini bisa dilakukan dengan menggunakan kapal kecil menyebrangi Sungai Batanghari dari dermaga di Desa Muara Jambi.
Bangunan situs Candi Teluk I seluas 50x50 meter yang menjadi bagian Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi itu hanya bisa dilihat dari celah pagar seng. Candi ini sepi dari pengunjung. Berbeda dengan candi lainnya di Desa Muara Jambi, yang selalu ramai didatangi turis.
Melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No: 259/M/2013, Kawasan Percandian Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dengan satu ruang geografis mencapai 3.981 hektare.
Cagar Budaya Muarajambi adalah daerah-daerah yang mencakup tujuh wilayah desa di Kabupaten Muaro Jambi. Ketujuh desa tersebut adalah Desa Dusun Baru, Desa Danau Lamo, Desa Muara Jambi, Desa Kemingking Luar dan Desa Kemingking Dalam,serta Desa Teluk Jambu dan Desa Dusun Mudo.
Selain bangunan komplek percandian, di kawasan itu juga terdapat sisa peradaban berupa kolam kuno, danau. Kemudian ada jaringan kanal kuno, yang pada masa lalu digunakan sebagai jalur transportasi menghubung bangunan candi. Jaringan kanal kuno itu juga terhubung dengan sungai-sungai alam yang bermuara ke Sungai Batanghari.
Bangunan candi yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau masih terkepung alat berat, pabrik, dan industri stockpile batu bara. Kawasan Cagar Budaya yang berada di sisi selatan itu seakan tak berdaya menghadapi stockpile batubara sejak satu dekade terakhir.
Stockpile adalah tempat penumpukan batu bara. Batubara di stockpile itu didatangkan dari sejumlah daerah di hulu Jambi, kemudian diangkut kapal tongkang lewat jalur perairan Sungai Batanghari. Tahun 2010, ekspansi stockpile batu bara semakin tak terbendung.
Hasil pemetaan yang dilakukan Komunitas Rumah Menapo mencatat sejumlah perusahaan bercokol di KCBN Muarajambi sisi selatan. Sejumlah perusahaan itu antara lain: PT Nan Riang (stockpile batu bara), PT Tegas Guna Mandiri, PT Rakindo Unitrust Mandiri (stockpile batu bara).
Kemudian PT Jambi Nusantara Energi (penumpukan cangkang sawit),PT KBP Thriveni (cangkang/batu bara), Port KBP Kemingking (batu bara/cangkang), Port WPS (batu bara/cangkang), Jetty WPS/PMP (batu bara), dan PT Sinar Alam Permai (CPO).
Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No.135/M/2023 tentang Sistem Zonasi Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional Muarajambi, mengatur, industri tambang batu bara dan sawit dilarang beroperasi di zona inti dan penyangga.
Bila di tumpang susun dengan peta zonasi KCBN Muarajambi menunjukkan, PT RUM, Nan Riang dan Bukit Tambi beroperasi di zona inti. SAP dan TGM di zona penyangga.
Tumpukan ratusan ribu ton “emas hitam” yang menggunung dengan aktivitas alat beratnya di beberapa titik lokasi menjadi ancaman serius terhadap pelestarian cagar budaya. Karena lokasi stockpile batu bara yang begitu dekat, Borju mengungkapkan kekhawatiran debu batu bara bisa mempercepat pelapukan bangunan candi.
Alasan kekhawatiran Borju masuk akal. Sebab jarak timbunan batu bara dengan situs hanya terpaut puluhan meter. Borju melihat sendiri ancaman dari kerusakan situs bangunan candi itu. “Kalau hujan, genangan air bercampur batu bara merembes ke situs, batu bata candi jadi hitam. Kalau ini dibiarkan terus, maka pengeroposan bata-bata candi semakin cepat,” kata Borju.
Ngotot Masuk Warisan Dunia UNESCO
Teranyar Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon mengatakan, keberadaan KCBN Muarajambi menjadi aset sejarah dan kebudayaan yang begitu besar. Pemerintah telah merevitalisasi tinggalan purbakala itu. Revitalisasi KCBN Muarajambi kata Fadli Zon, sebuah proyek kebudayaan. Pihaknya akan menambah peran dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan tersebut.
Usai membuka perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di Jambi, Fadli berkomitmen akan mengangkat KCBN Muarajambi untuk diakui sebagai warisan dunia dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). “Kita harus komitmen mengangkatnya menjadi satu warisan dunia. Ini target jangka pendek bahwa KCBN Muarajambi harus diakui UNESCO. Target jangka pendek tahun depan bisa kita ajukan lagi. Kita akan percepat persyaratan-persyaratannya,” kata Fadli Zon.
Politikus Gerindra itu juga sempat mengomentari persoalan industri batubara di kawasan cagar budaya peringkat nasional itu. Menurut Fadli dibutuhkan kerjasama antar pemerintah daerah supaya keberadaan industri batubara tidak mengganggu cagar budaya. “Kalau itu mengganggu artinya pelanggaran, karena sudah kita tetapkan sebagai KCBN, jadi ada persyaratan tertentu untuk menjaga ekosistem yang ada di situ,” kata Fadli Zon.
Kawasan Cagar Muarajambi telah masuk daftar tunggu untuk ditetapkan UNESCO. Sejak 2009 diusulkan dan bernomor registrasi 5.695, Cagar Budaya Muarajambi tak kunjung ditetapkan menjadi warisan budaya dunia atau world heritage. Upaya mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai warisan dunia bisa gagal kalau pemerintah daerah tidak mampu memindahkan stockpile batubara di dalam komplek percandian.
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Agus Widiatmoko dalam menghadapi persoalan yang terjadi di wilayah situs Muarajambi, pihaknya selalu berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat. Ketika ditemui di sekitaran Candi Koto Mahligai, Agus tak menampik bahwa keberadaan stockpile batubara jadi ancaman serius situs Candi Muarajambi. Struktur candi dari batu bata mudah lapuk dan rapuh akibat zat asam batu bara.
“Tugas kami melakukan pemugaran sudah selesai, sekarang tinggal tugas pemda. Kami juga udah komunikasi dengan Pemprov Jambi, ada kemajuan. Informasinya izin-izin di kawasan itu tidak akan diperpanjang. Sudah ada komitmen soal itu,” kata Agus, 13 Juli 2024.
Advertisement
Narasi Kisah Muarajambi
Berada di tepi aliran Sungai Batanghari--sungai terpanjang di Sumatera yang melewati Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, banyak tinggalan peradaban tua masih tersisa. Bangunan candi-candi di Muaro Jambi itu tersebar dari barat ke timur sepanjang 7,5 kilometer mengikuti aliran Batanghari.
Arsitektur purba berupa bangunan candi-candi terpendam berabad-abad silam. Sebagian reruntuhan bangunan telah dipugar dan dibuka untuk wisatawan. Sementara masih ada puluhan gundukan tanah yang di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno.
Keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi pertama kali diketahui dari laporan S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris dalam sebuah lawatannya ke Hindia Timur pada 1820. S.C. Crooke mendapat laporan dari warga sekitar yang menemukan struktur bangunan candi dan benda-benda purbakala.
Dalam buku Muaro Jambi Dulu, Sekarang, dan Esok yang diterbitkan Balai Arkeologi Sumatera Selatan (2009:30) menggambarkan, satuan ruang geografis Kawasan Percandian Muarajambi merupakan tinggalan kebudayaan klasik masa Sriwijaya dan Melayu Kuno.
Kawasan tersebut juga menjadi pusat pendidikan agama Buddha abad VII-XIII, yang terluas di Indonesia dan Asia Tenggara. Dahulu pada tahun 671 Masehi, seorang pengelana asal Tiongkok I-Tsing atau Yi Jing mencatat, ribuan biksu dari Thailand, India, Srilanka, Tibet, Cina, datang ke Muarajambi untuk memperdalam ilmu sebelum ke Nalanda.
Peradaban Muarajambi ratusan abad silam memang sudah kesohor. Dalam sejarahnya sebagaimana ditulis Swarnadwipa Muarajambi (Sudimuja), Mahaguru Buddha Atisa Dipamkara Shrijnana pernah tinggal dan belajar di Candi Muarajambi, Sumatera, selama 12 tahun lamanya atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.
Atisa adalah seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme dari Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhis, yakni Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti.
Selama menghabiskan waktunya di Muarajambi, Atisa belajar kepada gurunya Serlingpa Dharmakirti tentang Boddhi Citta (batin pencerahan) yang berdasarkan cinta kasih dan welas asih.
“Atisa Dipamkara Shrijnana membawa pengaruh yang sangat besar dalam sejarah keagamaan di Tibet dan dunia pada umumnya. Ini merupakan salah satu ajaran universal Budhadharma yang paling berpengaruh di dunia hingga saat ini," tulis Sudimuja.
KCBN Muarajambi memiliki 115 situs percandian dan merupakan situs Buddha terbesar di Asia Tenggara. Kalangan ilmuwan memperkirakan perdadaban di Muarajambi berdiri sejak abad ke-6 hingga abad 13.
Saat ini sudah ada beberapa bangunan telah dipugar, seperti Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Tinggi I, Candi Kedaton, dan Candi Teluk I.
Kini ditengah persoalan yang terus dihadapi warisan leluhur, tinggalan purbakala di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi seyogyanya bersih dari ekspansi industri yang hanya untuk kepentingan segelintir orang.
Peninggalan peradaban masa lampau pun seharusnya dilestarikan untuk memajukan kebudayaan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.