Liputan6.com, Jakarta - Meninggalnya Prof. Dr. Ichlasul Amal pada 14 November 2024 membawa kesedihan yang mendalam. Pak Amal bersama Amien Rais dan almarhum Yahya A. Muhaimin, adalah dosen-dosen muda di era tahun 1970-an. Mereka cerdas dan sangat dekat dengan kami mahasiswa.
Pada tahun 1971 saya mengikuti ujian masuk Jurusan Hubungan Internasiol, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Ketika itu kampusnya masih berlokasi di Pagelaran, Kraton Yogyakarta. Di situlah saya mengenal Pak Amal pada waktu tahap wawancara, setelah ujian tertulis.
Bersama calon mahasiswa dari Makassar, Wartawan Masri, kami dihadapkan dengan Pak Amal dan Pak Amien Rais, di ruang dosen yang sempit dan sederhana. Pak Amien menyuruh membaca koran berbahasa Inggris dan menterjemahkan artikel berjudul Debats and Discussions.
Advertisement
Selanjutnya giliran Pak Amal mewawancarai saya. Setelah saya dinyatakan lulus, dia menanyai saya “berapa kesanggupan saya menyumbang untuk fakultas?” Saya terdiam sejenak. Terbayang oleh saya betapa kesulitan yang dihadapi ayah sebagai pensiunan untuk menyumbang. Di samping itu masih juga membiayai adik-adik.
Minta bantuan pada kakak, juga tidak mungkin. Akhirnya dengan suara perlahan, saya balik bertanya “apakah kalau tidak sanggup menyumbang, berarti tidak dapat diterima?”. Dengan tersenyum Pak Amal menjawab tidak apa-apa …. tetap diterima. Dan ternyata kemudian ada pemberitahuan resmi bahwa saya diterima. Alhamdulillah.
Kenangan kedua, sebagai Ketua HMI di fakultas, saya harus berusaha mencari dana membiayai kegiatan organisasi. Kesempatan memperoleh dana muncul pada saat calon mahasiswa sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk UGM. Yang paling dicari adalah contoh-contoh bentuk ujian tahun sebelumnya.
Tidak mengherankan banyak penjual diktat bertebaran di sekeliling kampus Bulaksumur. Kami pun memanfaatkan peluang itu dengan membuka lapak penjualan contoh soal untuk ujian masuk FISIPOL.
Rupanya Pak Amal mengikuti kegiatan kami ini. Pak Amal heran, bagaimana kami mendapatkan contoh-contoh soal yang sangat lengkap. Saya tertawa lalu menjelaskan bahwa kami membeli dari yang orang sudah lebih dulu menjual dan kemudian dikemas dan distensil lebih bagus.
Pada zaman itu foto copy belum begitu dikenal. Pak Amal juga tertawa mendengar penjelasan. Wah, pintar juga kamu Ibrahim, katanya.
Itulah secuil kenangan dengan Pak Amal selama saya sebagai mahasiswa di Yogyakarta. Banyak hal yang diucapkan memberi inspirasi bagi saya. Pembawaannya yang ramah dan banyak senyum selalu melekat dalam hati. Selama jalan menuju keabadian Pak Amal.
Penulis: Ibrahim Ambong/ Alumni Hubungan Internasional FISIPOL UGM.