Liputan6.com, Yogyakarta - Enam belas warga terdampak pembangunan wahana wisata Obelix di Pantai Sanglen, Desa Kumandang, Kecamatan Tepusari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta mengadu ke Kraton Ngayogyakarta, Kamis (21/11/2024). Didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta, mereka mengadu kehilangan mata pencaharian.
Tiba pukul 13.00 WIB, enam orang sebagai perwakilan bertemu dengan Panitikismo, lembaga agraria, Kraton Ngayogyakarta. Pertemuan berakhir pukul 14.27 WIB. “Kita tadi menghadap terkait dengan keberlanjutan pembangunan di Pantai Sanglen seperti apa? Informasinya ada Peraturan Gubernur (Pergub) yang berubah. Yaitu adanya perjanjian antara desa, investor dan kasultanan di sana,” kata perwakilan paguyuban ‘Sanglen Berdaulat’, Andra Ahmad Bustiawan.
Advertisement
Baca Juga
Andra menyatakan di perjanjian itu ketiga pihak akan membangun kawasan wisata terpadu dan bentuk baru pola kepariwisataan yang diwujudkan melalui Obelix. Keberadaan Obelix, yang dinilai merupakan wujud ekonomi eksklusif dan privat mematikan mata pencaharian warga yang mengandalkan berdagang. Mereka melayani wisatawan ke Pantai Sanglen untuk berkemping di akhir pekan. “Kami telah menyatakan keberatan atas hal itu, namun dijawab dengan adanya kesepakatan yang di mana kami tidak pernah tahu sama sekali,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan satu pembuka lahan Pantai Sanglen di awal 2015, Sarman. Menurutnya selain digunakan warga untuk lahan pertanian, kawasan Pantai Sanglen juga menjadi tujuan wisata berkemah pada akhir pekan. “Dulu setiap Sabtu-Minggu ada ribuan pengunjung yang datang. Jika ramai, setia pekannya saya bisa mendapatkan pemasukan Rp500 ribu,” katanya dalam bahasa Jawa.
Pendamping dari WALHI Yogyakarta, Abi Yoga, menyatakan penutupan Pantai Sanglen sudah dimulai sejak 2022 lalu. Namun karena ada pembiaran, akhirnya warga memanfaatkan kembali pada tahun 2023 dan pada Juli 2024 ditutup permanen. “Warga ini sudah turun-temurun beraktivitas di Pantai Sanglen. Tetapi sekarang mereka tergusur dengan maraknya pariwisata eksklusif dan privat yang marak di pesisir pantai selatan Gunungkidul. Warga tengah menghadapi situasi ekonomi yang sangat mengkhawatirkan,” ucap Abi.
Alasan dari adanya penutupan Pantai Sanglen dikatakan pihak Desa agar tidak terjadi konflik antara warga dengan Obelix. Selain itu juga warga dianggap tidak memiliki izin untuk menempati Pantai Sanglen. Pada September lalu, Deputi Direktur WALHI Yogyakarta, Dimas Perdana menyampaikan kehadiran wisata modern Obelix bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan mengenai fungsi dalam pertanahan pasal 32 ayat 5.
Berdasarkan tentang Undang-undang tersebut diterangkan bahwa ‘Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah kasultanan dan tanah kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat’.
“Artinya, sektor bisnis pariwisata privat tidak dapat berada di atas tanah tersebut. Justru produksi ekonomi yang dilakukan oleh warga termasuk ke dalam kategori kesejahteraan masyarakat yang termaktub di dalam aturan tersebut,” tulisnya pada rilis saat itu.
Dilansir dari berbagai berita, pembangunan pariwisata privat Obelix akan menggunakan tanah kas desa (TKD) seluas 3 hektare (ha) dan Sultan Ground (SG) 2 hektare. Penggunaan TKD itu direncanakan untuk pintu masuk, taman, dan tempat parkir. Adapun SG digunakan untuk bangunan utama. Dalam programnya, kawasan ini obyek akan menjadi percontohan tata kelola SG dari kraton dengan melibatkan masyarakat setempat.