Liputan6.com, Palembang - Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera Selatan (Sumsel) pada 27 November 2024 mendatang, penyebaran kampanye hitam dan negatif di media massa dan media sosial (medsos) kian masif.
Komisioner Bawaslu Sumsel Bidang Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Massuryati mengatakan, ada perbedaan mendasar antara kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign).
Kampanye hitam merupakan strategi tidak etis dan dilarang dalam pemilu karena menyebarkan informasi negatif yang berupa fitnah atau tuduhan palsu, dengan tujuan merusak reputasi seseorang.
Advertisement
“Informasi ini biasanya disebarkan oleh sumber anonim dan menggunakan data yang tidak sahih. Ini adalah serangan terhadap calon dengan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan,” ujarnya, Jumat (22/11/2024).
Baca Juga
Sedangkan kampanye negatif lebih menyoroti kelemahan lawan politik dengan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Kampanye tersebut bertujuan mengungkap rekam jejak yang dinilai buruk, seperti dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi, namun masih dalam batas etika yang wajar.
Bawaslu Sumsel terus memantau praktik kampanye hitam dan negatif yang dilakukan para calon kepala daerah, baik di lokasi kampanye, media massa maupun media sosial.
“Sebagai langkah pencegahan, kita terus mengimbau tim kampanye dan masyarakat untuk menghindari praktik-praktik tersebut. Ada juga mengadakan pelatihan dan sosialisasi yang melibatkan masyarakat sebagai pengawas partisipatif,” katanya.
Jelang Pilkada Sumsel, Bawaslu Sumsel banyak menerima laporan dugaan kampanye hitam dan negatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dari laporan tersebut, sebagian besar telah diselesaikan, meskipun ada beberapa laporan yang masih dalam tahap kajian awal.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) Martini Idris berujar, kampanye hitam dapat merusak reputasi seseorang melalui fitnah, hoaks, atau informasi palsu yang sengaja disebarkan.
Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pelaku kampanye hitam dapat dikenai sanksi pidana hingga 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan sanksi berdasarkan KUHP, khususnya Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu.
“Namun, proses penegakan hukum tidak mudah, karena memerlukan bukti yang cukup serta saksi ahli dalam berbagai bidang,” ungkapnya.
Jangan Terpengaruh
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya, Haikal Hafafa menyoroti praktik kampanye hitam dan negatif dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik, yang seharusnya berlangsung transparan dan demokratis.
“Pemilih yang terpengaruh kampanye hitam sering membuat keputusan berdasarkan ketakutan atau kebencian, bukan pada program dan visi calon. Polarisasi masyarakat akibat kampanye hitam bisa menyebabkan perpecahan dan menurunkan kualitas partisipasi publik dalam pemilu,” ucapnya.
Pendidikan literasi media,lanjut Haekal, sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini, agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan menghindari jebakan berita sensasional.
Dia juga mengingatkan agar masyarakat tetap kritis dalam menerima informasi dan selalu memeriksa keabsahan berita sebelum menyebarkannya.
Advertisement