Liputan6.com, Semarang - Tumbangnya jagoan PDI Perjuangan di Pilgub Jateng dianggap menjadi penanda bahwa provinsi ini tak lagi menjadi kandang banteng. Meskipun di sejumlah daerah PDIP masih sukses menempatkan jagonya sebagai bupati/wali kota.
Kalangan santri menilai kemenangan Ahmad Luthfi - Taj Yassin Mamoen lebih disebabkan elektabilitas Gus Yassin yang tinggi. Menurut Abdul Wachid Roesdy, dari ponpes Saung Berkah Nusantara, saat ini sudah tidak relevan berbicara santri dan non-santri.
Baca Juga
"Jika dahulu memang ada semacam pertarungan ideologi santri dan non-santri. Religius dan pragmatis," katanya.
Advertisement
Namun, untuk kondisi saat ini, nyaris semua menjadi pragmatis, termasuk kaum santri.
"Bedanya, pragmatisme yang dipraktekkan kaum santri memiliki dasar ideologi. Kemudian ukhuwah antar-santri juga masih kuat, makanya Gus Yassin menjadi penentu kemenangan," kata Abdul Wachid.
Kekuatan kaum santri menjadi kunci sekaligus parameter bahwa gaya santri sudah mewarnai kehidupan berpolitik. Kiai Nawawi dari komunitas Santri Gayeng menyebut nilai-nilai santri yang santun, kalem sangat melekat pada Gus Yassin.
"Itulah yang menyebabkan beliau disukai semua kalangan, termasuk para kader partai manapun. Kemenangan ini mutlak penentunya adalah Gus Yassin. Beliau bukan sekadar membonceng, dalam pemilihan DPD kemarin ia juga meraih suara yang tinggi kan?" kata Kyai Nawawi.
Tak berbeda jauh, Ahmad Khotib dari pondok pesantren Terboyo Semarang menyoroti kiprah Gus Yassin dalam lima tahun terakhir mendampingi Ganjar. Saat itu Gus Yassin benar-benar bisa mencuri hati masyarakat termasuk pendukung Ganjar.
"Gus Yassin bukan tipe pemimpin yang meledak-ledak. Beliau kalem dan banyak humor khas santri. Bisa kita lihat dalam debat, beliau menguasai persoalan," katanya.
Lalu benarkah saat ini kandang banteng sudah berubah menjadi markas santri?
"Saya kira tak baik menyematkan label-label seperti itu. Kami kaum santri sangat menghormati kawan-kawan PDIP yang memiliki ideologi. Kami juga memiliki ideologi. Saatnya harus bekerjasama menghadapi pragmatisme membuta yang meninggalkan kesantunan, etika, moral, kepantasan," kata Ahmad Khotib.