Liputan6.com, Yogyakarta - Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia memiliki cara dalam menyelesaikan konflik yang pernah ditanganinya seperti konflik GAM di masa lalu. Konflik GAM yang disangka konflik sara ternyata karena ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat dalam pengelolaan sumber daya alam.
“GAM di Aceh, dimulai tahun 1976. Kita tahu semua, juga tidak puas kepada pusat. Kenapa? Aceh, Aceh itu kaya dengan sumber daya alam, gas buminya. Tapi kenapa yang Aceh dapat sedikit? Tidak maju Aceh, padahal gasnya luar biasa di Lhokseumawe itu. Jadi banyak orang mengatakan itu ingin syariah itu tidak. Tidak puas kepada kebijakan,” jelas Kalla saat menjadi menyampaikan pidato kunci dalam Seminar Nasional dengan tajuk “Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Kamis 28 November 2024.
Dalam resolusi konflik vertikal seperti di Aceh menurut JK, pemerintah harus memandang pihak yang berkonflik sebagai pihak yang setara, bukan sebagai musuh dari negara. JK mengatakan konflik dan resolusi konflik yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia perlu mendapat perhatian untuk pembelajaran bagi pembangunan perdamaian dan pengembangan demokrasi di masa depan. “Perundingan harus menghormati satu sama lain itu harus,” ujar Kalla.
Advertisement
Baca Juga
Hamid Awaluddin yang saat itu salah satu merancang resolusi konflik di Aceh bersama Kalla setuju jika konflik di Aceh dari awal bukanlah karena agama namun dari ketidakadilan yang mereka alami. “Salah satu anggota perundingan saya mengatakan “Apa lagi yang anda inginkan. Kita sudah kasih syariat Islam kan, waktu Gusdur? Mereka dari juru runding GAM mengatakan 'Anda salah. Kami tidak pernah minta syarat Islam tetapi Anda yang berikan, ya kami terima'. Jadi, bukan soal agama. Soal ketidakadilan,” ungkap Hamid.
Sementara itu Rektor Universitas Gadjah Mada Ova Emilia, menyampaikan pentingnya pengalaman menyelesaikan konflik dan hubungan antara pilihan strategi resolusi konflik sebagai upaya membangun perdamaian dan pengembangan demokrasi.
Selain dari pidato dari Jusuf Kalla di Seminar kali ini juga diadakan sebuah Bincang Perdamaian antara dua tokoh ternama yang sering berkontribusi dalam penyelesaian konflik yaitu Sosiolog UGM Lambang Trijono, dan Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei, Yogyakarta, A. Elga J. Sarapung.
Di sesi ini kedua pembicara membahas cara menyelesaikan konflik yang paling efektif. Lambang yang mendengar pernyataan JK juga menyetujui apa yang disampaikannya. Terutama soal resolusi konflik kita harus memandang pihak yang berkonflik secara saling menghormati dan mengikutsertakan mereka dalam proses penyelesaian konflik yang bersifat partisipatoris.
“Mereka pihak-pihak yang berkonflik itu juga dilibatkan dalam menentukan proses serta hasilnya. Kalau boleh dikatakan, pendekatan seperti itu disebut yang sudah umum ya disebut partisipatoris atau pendekatan yang demokratis. Mereka merasa memiliki, dan mereka itu ada kemandirian dan keberlanjutan atau disebut dalam bahasa Inggris self sustaining peace process,” ujar Lambang
Elga mengatakan dalam penyelesaian konflik maka perspektif keadilan harus ada dan sangat penting. Untuk menggapai resolusi konflik itu haruslah netral dan tidak memihak, apapun alasannya.
“Cara efektif itu tentu soal pendekatan transformatif, bagaimana pemerintah seharusnya memperhatikan keadilan. Itu sangat penting. Tidak berpihak faktor apapun alasannya. Nah itu saya kira di situ kebijakan-kebijakan harus terjadi di samping pengembangan pendidikan,” ujar Elga.