Liputan6.com, Jakarta - Pada zaman kolonial Belanda, aktivitas perekonomian di Jakarta masih sangat terbatas. Tidak seperti saat ini ketika pasar dan pusat perbelanjaan lainnya menjamur di mana-mana.
Pemerintah Belanda saat itu membuka pasar hanya pada hari-hari tertentu, berpindah-pindah, serta di lokasi yang tersebar. Inilah yang menyebabkan nama pasar di Jakarta berdasarkan nama hari, yaitu hari ketika pasar itu dibuka.
Baca Juga
"Memang pasar sebagai tempat keramaian untuk jual beli ditetapkan sesuai hari pasar buka. Ini orang-orang yang berwenang yang memutuskan itu, memang diatur begitu," ujar pengamat Kebudayaan Betawi yang juga Ketua Bidang Pelestarian Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Yahya Andi Saputra kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Pembukaan pasar ini, lanjut Yahya, memang ditujukan memberikan kemudahan kepada masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, bagi para produsen, pembukaan pasar ini juga bisa dijadikan lahan untuk mencari nafkah.
"Ya meskipun mereka (masyarakat) berusaha mencari kehidupan, tetapi tetap disesuaikan (dibatasi) karena pasarnya dibuka pada hari-hari tertentu dan jauh-jauh," jelas dia.
Melihat dari sejarah ini, tentu kita meyakini seharusnya ada tujuh pasar yang eksis hingga saat ini yang menggunakan nama hari. Pasar Senen, pasar yang terletak di Jalan Letjen Suprapto-Kramat Bunder, DKI Jakarta, Jakarta Pusat. Pasar Rebo terletak di Jalan Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Pasar Kemis terletak di wilayah Tangerang, Pasar Jumat lokasinya ada di dekat Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sedangkan Pasar Minggu ada setelah Kalibata, Jakarta Selatan.
Lalu, di mana Pasar Selasa dan Pasar Sabtu? Bukannya tidak ada, tetapi nama pasar ini kalah terkenal dengan nama aslinya yang menggunakan nama hari. Nama ini sudah berganti menggunakan lokasi tempat pasar itu berada.
Pasar Selasa kini dikenal dengan nama Pasar Koja di Jakarta Utara, sedangkan Pasar Sabtu, tidak lain adalah pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara, yaitu Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat.
Lantas apa yang menyebabkan kedua pasar itu terkenal dengan nama lain. Yahya menyebutkan adanya anggapan di tengah warga asli Jakarta bahwa hari Selasa dan Sabtu tidak baik berdagang.
"Pemahaman di masyarakat tidak baik penghitungan untuk cari rejeki. Kalau mau buka dagang bukan pada hari Selasa dan Sabtu. Nanti bisa 'ketule' kata orang Betawi, bisa mendapat bala atau kecelakaan yang tidak diinginkan karena tidak menghormati petuah orang tua," papar dia.
Namun, tambah Yahya, karena para pedagang tidak hanya dari warga asli Jakarta, maka pasar tetap buka pada hari Selasa dan Sabtu.
"Kan pedagang ada dari orang China, dia juga buka pada hari Selasa dan Sabtu. Nah, pedagang lokal akhirnya ikut jualan, tetapi menamakan pasar itu bukan nama hari, melainkan nama lokasi," tutup Yahya.