Sukses

Mantan Pimpinan BNI Cabang Bengkalis Minta Bebas Usai Dituntut 10 Tahun Penjara

Terdakwa korupsi BNI Cabang Bengkalis minta dibebaskan oleh majelis hakim karena menilai perbuatannya tidak merugikan negara.

Liputan6.com, Pekanbaru - Mantan Pimpinan Cabang Bank Negara Indonesia (BNI) Bengkalis Romy Rizki 10 tahun 6 bulan di Pengadilan Tindak Pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dia menjadi terdakwa korupsi kredit usaha rakyat tahun 2020 hingga 2022.

Selain penjara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menuntut majelis hakim yang diketuai Zefri Mayeldo membayar denda Rp50 juta. Jika tidak dibayar, terdakwa diwajibkan menjalani hukuman 5 bulan kurungan.

JPU menilai perbuatan terdakwa merugikan negara serta memperkaya orang lain. Namun menurut kuasa hukum terdakwa, Harinal Setiawan, perbuatan Romi Rizki bukanlah tindak pidana korupsi.

"Perbuatan terdakwa tidak memperkaya diri sendiri ataupun orang lain serta tidak merugikan keuangan negara," kata Harinal dalam pembelaannya atau pledoi terhadap kliennya, Kamis petang, 5 Desember 2024.

Harinal menjelaskan, pasal yang diterapkan JPU mencederai rasa keadilan bagi kliennya. Menurutnya, hal ini terungkap dari fakta persidangan terkait proses pencairan kredit.

Harinal menyatakan, terdakwa tidak terbukti menikmati aliran dana dari kerugian BNI dari pencairan kredit. Pencairan dinilainya kesalahan prosedural dan tidak disebabkan perbuatan kliennya.

"Terdakwa telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan SOP, sementara dana pencairan kredit dikuasai dan digunakan oleh pihak ketiga sementara terdakwa tidak mengetahui hal tersebut," jelas Harinal.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Dinikmati Pihak Ketiga

Penilaian ini berdasarkan hasil audit dan kesalahan diduga dilakukan oleh bawahan terdakwa. Fakta sidang juga mengungkapkan proses pencairan kredit terjadi pada bagian analis kredit dan penyelia pemasaran.

Bawahan terdakwa tidak melakukan prosedur secara komperhensif sehingga terjadi penyimpangan penyaluran kredit. Seperti tidak melakukan survey agunan tapi dinyatakan bawahannya sudah disurvey.

"Saksi audit juga menyatakan pimpinan berdasarkan aturan BNI tidak diwajibkan ke lapangan karena merupakan tugas analis kredit dan penyelia pemasaran," ulas Harinal.

Di sisi lain, kredit yang cair dinikmati oleh pihak ketiga sehingga terjadi kerugian negara seperti tersangka Joko, Sarly, Anji, Suyoko dan Sahdarun. Hal ini diperkuat kesaksian nama-nama tersebut.

"Kemudian tidak ada niat jahat atau mens rea sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor yang dilakukan terdakwa," kata Harinal.

Terdakwa sebelum kredit cair, tambah Harinal, juga berkoordinasi dengan atasannya di BNI Cabang Dumai. Hal itu juga diatur Putusan Mahkamah Agung No. 1046 K/Pid.Sus/2009.

"Mahkamah Agung menegaskan bahwa meskipun bank milik negara mengalami kerugian dalam pemberian kredit yang bermasalah, kerugian tersebut bukan kerugian negara selama tidak terbukti ada penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum yang merugikan negara," terang Harinal.

Dengan fakta sidang dan fakta hukum itu, Harinal menilai unsur merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara tidak terpenuhi dan tidak dapat diterapkan kepada kliennya.

"Kemudian ada pemalsuan anggunan yang terlihat asli karena dikeluarkan kepala desa, lalu adanya peminjaman nama nasabah oleh pihak ketiga untuk mendapatkan pencairan kredit tersebut," jelas Harinal.

Usai pledoi ini, sidang dilanjutkan dengan agenda tanggapan dari JPU pada pekan berikutnya.

3 dari 3 halaman

654 Debitur

Kasus bermula ketika bank cabang di Kota Dumai mengolah data kredit unit kerja di Kabupaten Bengkalis pada Juni 2023. Melalui pemeriksaan acak terhadap 16 debitur, ditemukan pemberian fasilitas KUR tidak sesuai ketentuan. 

Audit internal menemukan 654 debitur yang identitasnya disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain. Adapun total penyaluran KUR mencapai Rp65,2 miliar dari Oktober 2020 hingga Juni 2022. 

Pengawasan kurang ketat dari verifikasi debitur dan aset jaminan oleh karyawan BNI merugikan negara Rp46,6 miliar. Seharusnya, masing-masing debitur mendapatkan Rp100 juta untuk membeli kebun kelapa sawit tapi digunakan untuk kepentingan pribadi ataupun usaha lain.

Dalam kasus ini, tersangka Joko Setiono diduga mengajukan 196 nama fiktif dengan nilai kredit Rp19,6 miliar. Jumlah tidak disalurkan sesuai ketentuan dan digunakan untuk kepentingan pribadi tersangka.

Berdasarkan audit dari BPKP Provinsi Riau, kerugian negara mencapai Rp46,6 miliar. Angka ini mencakup subsidi bunga pemerintah sebesar Rp908 juta yang diduga salah sasaran