Sukses

Deretan Tokoh Bangsa yang Pernah Dipenjara Era Orde Lama, Mochtar Lubis hingga Buya Hamka

Beberapa tokoh penting, yang notabene pernah berjuang bersama Soekarno, harus merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi. Mengutip dari berbagai sumber, berikut adalah enam tokoh bangsa yang pernah dipenjara di era orde lama.

Liputan6.com, Yogyakarta - Perbedaan pendapat dalam politik seringkali berujung pada konflik. Pada masa pemerintahan Soekarno atau orde lama, perbedaan pandangan politik seringkali berujung pada penahanan dan pemenjaraan.

Beberapa tokoh penting, yang notabene pernah berjuang bersama Soekarno, harus merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi. Mengutip dari berbagai sumber, berikut adalah enam tokoh bangsa yang pernah dipenjara di era orde lama.

1. Mochtar Lubis

Mochtar Lubis, sosok jurnalis kenamaan Indonesia, harus merasakan pahitnya jeruji besi selama satu dekade penuh, dari tahun 1956 hingga 1966. Sebagai pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya, Mochtar dikenal lantang menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintahan Soekarno.

Sikap kritisnya yang tak kenal kompromi inilah yang membuatnya menjadi sasaran rezim. Penahanan panjang yang dialaminya menjadi bukti nyata bahwa kebebasan pers dan hak untuk menyampaikan pendapat dapat dengan mudah dibatasi dalam kondisi politik yang represif.

2. Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, juga turut merasakan getirnya represi politik pada masa Orde Lama. Melalui karya-karyanya yang sarat akan kritik sosial, Pramoedya berani menyuarakan ketidakadilan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.

Sikap kritisnya yang tak pernah surut membuatnya menjadi sasaran empuk rezim. Penahanan selama satu tahun menjadi bukti nyata bahwa kebebasan berekspresi melalui karya sastra pun dapat dibatasi oleh kekuasaan.

3. Mohammad Roem

Mohammad Roem, sosok diplomat ulung yang namanya harum dalam sejarah perundingan kemerdekaan Indonesia, juga harus merasakan pahitnya penahanan politik. Setelah berkontribusi besar dalam perundingan-perundingan penting seperti Linggarjati dan Renville, serta memimpin perundingan Roem-Royen yang berhasil mengakhiri agresi militer Belanda II, Roem justru harus mendekam di penjara pada masa pemerintahan Soekarno.

Sebagai salah satu tokoh sentral di Partai Masyumi, partai yang dianggap sebagai lawan politik oleh Soekarno, Roem menjadi sasaran penindakan. Penahanannya yang berlangsung selama lebih dari empat tahun, dari 1962 hingga 1966.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Kartosoewirjo

4. Kartosoewirjo

Kartosoewirjo, sosok yang pernah satu kos dengan Soekarno, memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan Indonesia. Jika Soekarno berjuang untuk mewujudkan negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila, Kartosoewirjo justru ingin mendirikan negara Islam yang terpisah.

Pemberontakan Darul Islam yang dipimpinnya merupakan manifestasi dari perbedaan ideologi ini. Meskipun gerakannya berakhir dengan kegagalan, namun pemikiran Kartosoewirjo tentang Islam dan negara terus menjadi bahan diskusi hingga saat ini.

Warisannya menjadi simbol perjuangan bagi kelompok-kelompok Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, juga memicu perdebatan sengit tentang batas-batas toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

5. Sutan Syahrir

Sutan Syahrir, sosok yang pernah memimpin Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan, harus mengakhiri hidupnya dalam kesunyian di pengasingan. Tuduhan keterlibatan dalam pemberontakan PRRI menjadi alasan penahanan dan pembubaran partainya, PSI.

Padahal, Syahrir adalah seorang tokoh yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Pemikirannya tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan transparan masih relevan hingga saat ini.

Meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan, semangat juang Syahrir tidak pernah padam. Ia terus memperjuangkan cita-citanya untuk membangun Indonesia yang lebih baik, meskipun harus mengorbankan kebebasan dan kenyamanan hidupnya.

6. Buya Hamka

Persahabatan antara Soekarno dan Buya Hamka pernah begitu erat, namun akhirnya kandas karena perbedaan pandangan politik. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang masa depan Indonesia.

Soekarno lebih condong pada nasionalisme yang inklusif, sementara Buya Hamka lebih menekankan pada nilai-nilai Islam. Perbedaan inilah yang pada akhirnya memicu konflik dan berujung pada penahanan Buya Hamka.

Meskipun begitu, warisan pemikiran keduanya tetap relevan hingga saat ini. Baik nasionalisme ala Soekarno maupun Islam ala Buya Hamka, keduanya merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia.

Penulis: Ade Yofi Faidzun