Sukses

Serba-serbi Kolintang, Alat Musik Tradisional dari Minahasa

Kolintang memiliki panjang dan pendek bilah beragam. Ukurannya disesuaikan dengan nada yang ingin dihasilkan.

Liputan6.com, Minahasa - Kolintang adalah kelompok perkusi bernada khas Minahasa, Sulawesi Utara. Alat musik ini memiliki bentuk unik berupa serangkaian bilah kayu yang disusun di atas sebuah rak dengan ukuran bilah yang semakin mengecil.

Mengutip dari indonesiakaya.com, kolintang memiliki panjang dan pendek bilah beragam. Ukurannya disesuaikan dengan nada yang ingin dihasilkan.

Dalam sebuah rak kolintang terdiri dari dua baris bilah nada kayu. Setiap nada, baik di rak atas maupun rak bawah, memiliki tinggi nada yang berbeda. Semakin banyak bilah, maka semakin lebar jangkauan nada yang dihasilkan.

Kolintang merupakan alat musik berbahan dasar kayu. Umumnya, jenis kayu yang digunakan adalah kayu telur, bandaran, wenang, kakinik, atau jenis kayu lain.

Kayu yang dipilih adakah kayu ringan dan bertekstur padat. Selain itu serat kayunya tersusun rapi membentuk garis-garis horizontal.

Cara memainkannya adalah dengan dipukul menggunakan pemukul berupa stik. Saat dipukul, kolintang akan menghasilkan bunyi-bunyi yang nyaring dan merdu hingga dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah.

Terkait penamaannya, kata kolintang berasal dari bunyi yang dihasilkan oleh alat musik ini. Bunyi-bunyi tersebut adalah tong untuk nada rendah, ting untuk nada tinggi, dan tang untuk nada tengah.

Masyarakat Minahasa zaman dahulu biasanya mengajak bermain kolintang dengan kalimat 'Mari kita ber-tong-ting-tang' atau dalam bahasa daerah Minahasa disebut maimo kumolintang. Dari kebiasaan tersebut, kemudian muncul istilah kolintang.

Awalnya, alat musik ini hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya. Para pemainnya pun hanya duduk di tanah dengan posisi kedua kaki lurus ke depan.

Seiring berjalannya waktu, penggunaan kaki pemain diganti dengan dua batang pisang. Adapun peti resonator mulai digunakan sejak kedatangan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya untuk menjalani pengasingan di Minahasa pada 1830 yang membawa seperangkat gamelan. Peti resonator biasanya menggunakan kayu keras, seperti jati atau mahoni.

Bagi masyarakat setempat, pemakaian kolintang erat kaitannya dengan kepercayaan tradisional, seperti pada upacara-upacara pemujaan arwah leluhur. Namun saat ini, hal tersebut mulai ditinggalkan. Kolintang kini biasa dimainkan untuk mengiringi musik, tari tradisional, maupun penyambutan tamu.

Penulis: Resla

Simak Video Pilihan Ini: