Liputan6.com, Jakarta - Komersialisasi energi nuklir (PLTN) di Indonesia terus terhenti di tahap penelitian, meskipun secara teknis, komersial dan lingkungan sudah memenuhi syarat. Gempuran geopolitik jadi momok progres.
Menghadapinya, Presiden Prabowo Subianto—sebagai menhan dan sekarang presiden—dalam kunjungannya ke mitra strategis internasional, termasuk Rusia dan AS, tegaskan dua sikap dan strategi geopolitik utama Indonesia.
Baca Juga
Pertama, Indonesia “Bebas Aktif” berkooperasi lintas blok ditengah kompetisi transnasional energi nuklir AS/Barat dan Rusia/BRICS+. Kedua, Indonesia transparan dan patuh pada protokol non-proliferasi, serta siap menyelaraskan visi kedaulatan energi nya dengan rambu rambu energi hijau.
Advertisement
Lantas bagaimana cara mengejawantahkan sikap politik ini dalam akselerasi visi nuclear-powered Indonesia dan ASEAN, sekaligus menavigasi konsekuensi geopolitiknya?
Terjerat aturan hijau
Suka atau tidak, teknologi nuklir memiliki potensi ganda: energi dan senjata. Preseden historis menunjukkan bahwa alih teknologi energi nuklir sering kali meningkatkan risiko pengembangan senjata nuklir.
Apalagi, Indonesia kaya SDA vital nuklir, transformasinya bisa makin moncer, dan tetangga logis takut terlindas jika Indonesia menyimpang dari protokol Non-Proliferation Treaty (NPT).
Kini makin nyata, duel diplomasi nuklir AS/Barat versus Rusia/BRICS+ bisa berujung pada perlombaan senjata. Matthew Fuhrmann dari Harvard bisa jadi benar: kooperasi energi nuklir (PLTN) adalah komitmen ratusan tahun, pakta militer vital jaga stabilitas pasoknya.
Dalam konteks transformasi nuklir, Indonesia tentu jadi rebutan: AS butuh otot militer baru sokong ekspansi NATO/SEATO/AUKUS di ASEAN, sedangkan Rusia butuh pasar baru sokong dominasi ekonomi nuklirnya di Asia. Jika visinya terintervensi, alih alih mandiri energi, Indonesia malah terseret ke perlombaan senjata dan jadi episentrum destruksi perang nuklir.
Menghadapi ekspansi ekonomi nuklir Rusia/BRICS+ ke ASEAN, AS fokus pada diplomasi politik via regulator internasional dan pakta anti-nuklir regional lainnya: International Atomic Energy Agency (IAEA), Non-Proliferation Treaty (NPT) dan Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (SEANWFZ).
Ya, perjanjian ini bertujuan mulia, namun rentan dipolitisasi AS/Barat. Faktanya, keterikatan ini jadi biang kerok mandeknya realisasi PLTN Rusia di Indonesia, meskipun Rusia peminat paling lama dan serius. Kartu politik AS: Rusia digambarkan sebagai ancaman keamanan regional dan bukan partner energi nuklir ideal.
Standar ganda IAEA, terutama dalam kasus AS, telah merusak kredibilitas NPT; yang mulai ditinggalkan anggotanya. Kebebasan AS dalam melanggar Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT), bahkan setelah kegagalan meratifikasi NPT dalam hukum domestik, menunjukkan bahwa NPT lebih berfungsi sebagai alat politik daripada mekanisme kontrol keamanan yang efektif.
Namun, AS cerdas manfaatkan institusi ini: selain isu keamanan—yang sudah tidak laku—isu lingkungan giliran jadi ujung tombak. IAEA bergerak sebagai “Polisi Hijau”, gebuk pihak yang tidak “seiman” dan tertutup tentang progres teknologi nuklirnya, dengan dalih tidak nurut aturan lingkungan.
Akibatnya, inspeksi lingkungan hanya jadi alat politik untuk mengepung potensi energi nuklir sipil, atau lebih parahnya justifikasi perang militaristik terhadap lawan politik (seperti perang Iraq dengan dalih keberadaan senjata biologis, dan perang Iran dengan dalih keberadaan senjata nuklir). Praktisnya, jika tidak nurut, Indonesia tidak akan punya reaktor nuklir sipil apapun.
Menavigasi tekanan geopolitik di ASEAN, Rusia cerdas fokus pada masalah utama regional: ketahanan ekonomi dan energi. Moskow sadar pendekatan dengan visi akhir militaristik gaya perang dingin AS itu kuno.
Pengaruh politik akan ikut berkembang kalau ekspansi ekonominya di ASEAN lancar, dan hal ini sudah mereka buktikan di Turki, China, India, Pakistan dan Bangladesh yang perlahan akrab dengan ekosistem mereka meski mesra dengan AS.
Inkorporasi Indonesia dan member ASEAN lainnya ke ekosistem bisnis BRICS+ jadi langkah strategis awal. Apapun bentuk provokasi militernya, Rusia tidak tertarik.
Indonesia harus apa?
Di tengah pertarungan para raksasa, Indonesia tak harus memihak. Dalam konteks kemitraan energi nuklir, visi kemakmuran dan keselamatan bangsa berjalan beriringan. Siapapun partnernya, Indonesia harus berdaulat tanpa membiarkan visi energinya terdistorsi oleh kepentingan politik militer eksternal yang destruktif.
Transparansi dan konsistensi arah kebijakan energi nasional menjadi kunci dalam memitigasi dampak geopolitik dari program nuklir ini.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu diambil. Pertama, transparansi operasional kunci dukungan domestik dan internasional. Siapapun investornya, negara harus terbuka dengan IAEA, dan audit eksternal lainnya. Akuntabilitas ini mitigasi ketakukan masyarakat dan hindari isolasi geopolitik internasional.
Transparansi jaga peluang kooperasi intrablok tetap terbuka dan hindari praktek monopoli pasar oleh blok tertentu. Ya, kapasitas nuklir Rusia besar dan dapat akselerasi ketahanan energi dan transisi hijau nasional, tapi progres alih teknologinya harus tetap tunduk protokol non-proliferasi. Suka atau tidak, NPT dan IAEA masih upaya terbaik cegah perang nuklir.
Kedua, Indonesia perlu integrasi vertikal dan institusionalisasi kebijakan sektor energi nuklir, untuk jamin kesinambungan visi negara-bisinis, stabilitas rantai pasok dan keberlanjutan program layaknya China dan Rusia. Perampingan dan penguatan regulasi juga diperlukan untuk kurangi politisasi program ini, yang kerap muncul tiap siklus pergantian kekuasaan.
Ketiga, alih teknologi nuklir harus bersifat holistik. Investor harus terlibat pembangunan ekosistem industri hulu-hilir—dari tambang hingga komersialisasinya—untuk menjamin kemandirian industri jangka panjang dalam membangun kapasitas domestiknya.
Kerjasama juga harus mencakup pengembangan SDM melalui beasiswa, pelatihan, dan integrasi praktisi nuklir dari investor ke dalam universitas-universitas nasional.
Sebagai pemimpin ASEAN, Indonesia punya peran kunci menyelaraskan visi kemakmuran dengan keamaan regional. Bermitra dengan siapapun, AS/Barat atau Rusia/BRICS+, tidak masalah asalkan visi nasional dan regional terjembatani.
Jika serius berkomitmen untuk mewujudkan masa depan energi yang mandiri, Presiden Prabowo Subianto mesti fokus menjaga keseimbangan kebijakan politik luar negerinya.
Netralitas politik penting dalam alih teknologi nuklir, namun harus dibarengi komitmen tegas serta kerangka regulasi yang mendukung kerjasama internasional yang konstruktif dan berkelanjutan.
Penulis: Fasyeh Hamid/ Pengamat Geopolitik Energi, Alumnus Gubkin Russian State University of Oil and Gas
Advertisement