Liputan6.com, Semarang - Kasus penembakan siswa SMK di Semarang menyisakan banyak pertanyaan serius tentang prosedur dan etika penegakan hukum di Indonesia.
Pakar hukum, Prof Dr Henry Indraguna SH menilai, apa yang dilakukan polisi terlalu berlebihan dan melanggar protokol.
Menurutnya, penembakan yang dilakukan Aipda RZ terhadap korban anak SMK Negeri Kota Semarang terjadi di tengah situasi yang tidak mengindikasikan adanya ancaman terhadap nyawa sang polisi.Â
Advertisement
"Kalaupun ada dugaan bahwa korban terlibat dalam kelompok tertentu yang disebut kawanan gangster, tetap tak bisa dibenarkan," katanya.
Baca Juga
Ia menambahkan bahwa tindakan oknum polisi yang menembak ke arah pinggul, bukan kaki, jelas tidak sesuai dengan prosedur yang mengharuskan tembakan peringatan terlebih dahulu.
"Ini jelas kesalahan oknum, bukan polisi secara kelembagaan. Saya khawatir Kapolrestabes Semarang telah dibohongi anak buahnya. Saya melihat kalau pembelaan oleh Kapolrestabes Semarang itu karena mendapatkan informasi yang salah dan dilakukan lebih dari satu orang," kata Henry.
Ditambahkan, tidak ada dasar hukum yang jelas untuk tindakan tersebut, terutama jika mengacu pada standar operasi prosedur (SOP) kepolisian.Â
“Jika korban melawan, seharusnya ada upaya untuk melumpuhkannya terlebih dulu. Bukan langsung menembak untuk mematikan," katanya.
Anggota Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) meminta agar peristiwa ini menjadi momen introspeksi kepolisian untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem serta prosedur yang ada.Â
"Perlu ada tes psikologi ulang bagi polisi yang memegang senjata, serta perlunya distribusi senjata yang lebih ketat dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan temperamen anggota," katanyaÂ
Menurutnya, jika terjadi kesalahan anggota maka pimpinan harus segera memberikan sanksi tegas. Law enforcement harus dijalankan dan transparansi pengusutan harus dilakukan secara fair.
“Slogan ‘Presisi’ yang diusung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus diterapkan dengan nyata, bukan hanya sekedar kata-kata. Percayalah peristiwa ini tidak mungkin karena atas perintah atasan. Akan tetapi karena oknum yang menyalahgunakan diskresi atau wewenang yang melekat padanya," katanya.
Â